Archive for the ‘Uncategorized’ Category

Proposal Pengabdian Kepada Masyarakat Usulan Kepada Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi (MK), DPD (MPR) dan Menko Pembangunan Manusia (Presiden RI) Gub. Propinsi Maluku dan Walikota Ambon Gub. Propinsi Jawa Timur dan Walikota Surabaya PEMBENTUKAN Komisi Pendampingan Penghayatan Pengamalan Pancasila (KP4) Pengganti BP7: Dalam rangkan Revolusi Mental Membangun Masyarakat Berkepribadian dalam Budaya sendiri berlandaskan kegotong-royongan untuk mendukung terwujudnya Kedaulatan di bidang Politik dan Berdikari di bidang ekonomi (Tricakti) Mewujudkan Keadilan Sosial dan Masyarakat Madani di Indonesia

Juli 25, 2018
  1. PENDAHULUAN

Masalah utama bangsa Indonesia saat ini adalah krisis kepemimpinan dan kebersamaan (leadership and togetherness crisis) dalam kondisi multikultural atau masalah kesatuan dan persatuan bangsa dalam mewujudkan Bhineka Tunggal Ika. Yaitu kondisi krisis nilai-nilai di masyarakat yang diformulasikan oleh para founding fathers dalam cara pandang fenomenologi secara intense dan intersubyective serta existencial pada masa perjuangan kemerdekaan yang dirumuskan ke dalam suatu sistem nilai yang disebut Pancasila sebagai Philosophische Gronslag dan Weltanschauung bangsa Indonesia.

Sebab utamannya adalah sejak pidato Ir. Sukarno 1 Juni 1945 yang diakui sebagai hari lahirnya Pancasila perkembangan pemikiran tentang filsafat dan ideologi nasional tersebut banyak terjadi pembelokan dan tidak berdasarkan sejarah yang benar (a historis). Pada era penjajahan dan menjelang kemerdekaan para founding fathers yang arif bijaksana, gagah berani dan kompak bersatu membangun hubungan intersubjective dalam memperjuangkan kemerdekaan yang menghasikan ego transcendental dalam pidato Ir. Sukarno 1 Juni 1945. Pada era kemerdekaan mereka justru harus saling bersaing dalam kehidupan politik dan terfragmentasi ke dalam partai-partai politik dengan ideologi dan versi sejarahnya masing-masing (Feith dan Castle, 1996).[1]

Setelah 1 Juni 1945 di mana isi Pidato yang secara aklamasi diterima oleh sidang BPUPKI untuk dasar mempersiapkan lebih lanjut kemerdekaan bangsa Indonesia dengan membentuk panitia 9 yang dipimpin oleh Ir. Sukarno sendiri. Sejak saat itu ternyata para founding fathers sudah terperangkap ke dalam pemikiran-pemikiran politik yang predatorik terhadap Pancasila. Sebelum proklamasi kemerdekaan Piagam Jakatar merupakaan salah satu produk cara berfikir a historis tersebut. Namun dengan semangat demi persatuan bangsa Piagam Jakatar dapat direvisi dan dijadikan Preambul UUD 1945 sebagai konstitusi negara modern (liberal)[2] Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Akan tetapi hingga era reformasi sekarang ini konstitusi yang sudah diamandemen menjadi lebih “swaarwichtig” atau njlimet seperti diamanatkan di Pidato 1 Juni 1945 dan dibentuk Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menjaga proses implemenntasinya ternyata belum mampu mewujudkan negara dan bangsa Indonesia yang berdaulat secara politik, mandiri di bidang ekonomi dan berkepribadian berdasarkan nilai-nilai budaya sendiri – Trisakti. Pasca proklamasi atau setelah melewati “jembatan emas” kemerdekaan sebagai perwujudan negara demokrasi/liberal berdasarkan UUD 1945, para founding fathers terpecah ke dalam sistem kepartaian yang berkembang di bawah pengaruh ideologi-deologi eksternal dengan back ground historis masing-masing.

Pengaruh eksternal pertama adalah konstelasi politik dunia pasca PD II yaitu Perang Dingin antara paham kapitalisme liberal dan sosialisme komunis dengan cara dan strateginya masing-masing dalam mencari sphere of influence. Cara berfikir liberal mempengaruhi kehidupan politik bangsa Indonesia melalui Maklumat X Wakil Presiden 1945. Negara Republik Indonesia menganut sistem multi partai dan menyelenggarakan pemilu dalam membentuk pemerintahan. Sedangkan paham sosialisme komunis diperjuangkan Partai Komunis Indonesia (PKI) pertama kali tahun 1948 dengan melakukan pemberontakan yang terkenal dengan Peristiwa Madiun. Tahun 1959 setelah Dekrit Presiden akibat Konstituante tidak mampu mejalankan tugasnya, PKI memanfaatkan Demokrasi Terpimpin dan jiwa revolusioner presiden Sukarno membawa politik Indonesia sangat dekat dengan blok komunis dalam perang dingin dan berakhir dengan G 30 S PKI 1965 yang berdarah-darah (alhamdulillah gagal).[3]

Pengaruh eksternal kedua adalah dari pemikiran yang embrionya sudah kelihatan pada sidang-sidang BPUPKI adalah tentang konsep negara agama dan federalisme kedaerahan yang juga mempunyai konsep alternatif terhadap Pancasila. Perjuangan terbentuknya negara agama yaitu Islam tentunya merujuk pada pengalaman negara-negara di Timur Tengan seperti keberadaan Hizbut Tahrir, Al Qaeda, ISIS dengan berdasarkan pertimbangan bahwa mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam direpresentasikan dengan adanya gerakan DI, NII, TII, JI, Kelompok Santoso di Poso. Sedangkan konsep negara federasi kedaerahan mendasari pemikiran separatisme seperti dukungan terhadap berdirinya negara RIS, RMS, PRRI – Permesta, Aceh merdeka, Papua Merdeka.

Pengaruh-pengaruh tersebut satu sama lain menyebabkan bangsa Indonesia salah arah di dalam mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila dan juga UUD 1945 terutama dalam rangka membangun etika dan moral kepemimpinan dan kebersamaan sebagai bangsa sehingga lupa tentang jatidirimya.[4] Sejarah yang benar kiranya  adalah bahwa dalam pidato pada sidang hari ke 3 BPUPKI 1 Juni 1945 tersebut (satu-satunya pidato) yang diterima secara aklamasi oleh forum menjadi dasar persiapan lebih lanjut kemerdekaan bangsa Indonesia. Dalam Pidato disebutkan Pancasila mempunyai dua konsep lainnya yang seharusnya diwujudkan ke dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia selain UUD 1945 (konstitusi) yaitu Trisila (pelaku ekonomi) dan Ekasila atau Gotong-royong (bangunan masyarakat). Defini konsep  Gotong-royong dalam pidato 1 Juni 1945:

“…Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, danyang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan “gotong-royong”. Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong royong! Alangkah hebatnya! Negara Gotong Royong!

“Gotong Royong” adalah faham yang dinamis, lebih dinamis dari “kekeluargaan”, saudara-saudara! Kekeluargaan adalah satu faham yang statis, tetapi gotong-royong menggambarkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan, yang dinamakan anggota yang terhormat Soekardjo satu karyo, satu gawe. Marilah kita menyelesaikan karyo, gawe, pekerjaan, amal ini, bersama-sama! Gotong-royong adalah pembantingan-tulang bersama, pemerasan-keringat bersama, perjoangan bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Holopis kuntul baris buat kepentingan bersama! Itulah Gotong Royong!

Prinsip Gotong Royong diatara yang kaya dan yang tidak kaya, antara yang Islam dan yang Kristen, antara yang bukan Indonesia tulen dengan peranakan yang menjadi bangsa Indonesia.

Pancasila menjadi Trisila, Trisila menjadi Eka Sila.”

 

Namun konsep Gotong-royong setelah 1 Juni 1945 tidak disinggung lagi dalam wacana persiapan kemerdekaan dan berlanjut hingga sekarang. Tentang hal tersebut Franz Magnis-Suseno mengatakan:

Kesediaan untuk saling menerima dalam perbedaan itulah merupakan komitmen inti bangsa Indonesia dalam Pancasila. Di sini izinkan sebuah catatan. “Pemerasan Pancasila” oleh Soekarno menjadi “Ekasila”, yaitu “gotong royong”, disalahpahami seakan-akan “gotong royong” sudah cukup, lalu tak perlu selalu menyebut lima sila. Kiranya yang dimaksud Soekarno adalah yang kebalikan: “Gotong royong” atau kebersamaan kita sebagai bangsa Indonesia bisa justru menjadi nyata karena kita memberikan komitmen kepada lima sila Pancasila”.[5]

 

Pemberian tiga nama tersebut sejajar dengan cara berfikir Karl Marx dalam Manifesto Communist untuk berdirinya negara komunis sebagai dasar penyusunan konstitusi negara totaliter satu partai, ekonomi dikuasai negara, masyarakat sama-rasa sama-rata; atau tiga serangkai Thomas Jeferson, Thomas Pine dan George Washington dalam Declaration of Independence Amerika Serikat sebagai dasar penyusunan konstitusi negara liberal, ekonomi kapitalis/swasta, masyarakat individualis, yang disebutkan dalam pidato 1 Juni 1945 sebagai pembanding.[6]

Isi pidato 1 Juni 1945 kiranya layak untuk menjadi “declaration dan/atau manifesto kemerdekaan bangsa Indonesia” di mana nilai-nilai Pancasila diwujudkan ke dalam tiga produk. Yaitu pertama, Pancasila sebagai dasar dalam menyusun Konstitusi dasar hukum tertulis menjadi landasan legal-rasional negara modern Indonesia yang mengejawantah dalam UUD 1945. Kedua, Trisila sebagai dasar menetapkan pelaku ekonomi yang terdiri dari swasta, BUMN dan koperasi. Ketiga, Eka Sila sebagai dasar wujud masyarakat yang harus dibangun yaitu Masyarakat Gotong-royong berdasarkan etika dan moral masyarakat dengan kearifan lokal (local wisdom) serta nilai-nilai agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Tiga perwujudan Pancasila tersebut dijelaskan lebih lanjut setelah 19 tahun Presiden Sukarno memimpin kemerdekaan bangsa Indonesia ketika menghadapi krisis kepemimpinan dan kebersamaan pasca Dekrit 5 Juli 1959 dalam pidato berjudul Tavip (Tahun vipere pericolosotahun menyerempet-nyerempet bahaya) pada 17 Agustus 1964 sebagai tiga konsep dasar yang disebut Tricakti. Dalam terminologi fenomenologi politik Tricakti adalah: bebas untuk menentukan diri (berdaulat) di bidang politik sebagai basis ideologis-struktural (Pancasila-UUD 1945/Konstitusi), berdiri di atas kaki sendiri (tidak tergantung) di bidang ekonomi sebagai basis ekonomis-material (Trisila/tiga pelaku ekonomi) dan berkepribadian dalam budaya sendiri (act locally) di bidang kebudayaan sebagai basis etis-spiritual utuhnya suatu negara (Ekasila/Masyarakat Gotong-royong).

Dalam cara pandang fenomenologi, dengan memakai kriteria ketiga basis tersebut krisis yang dialami bangsa Indonesia saat ini yang juga disebut krisis multi dimensi adalah sebagai:

“… krisis struktural politis (hukum) dan material ekonomis (kesejahteraan) bersumber dari adanya krisis di tingkat lebih mendasar namun sering dilupakan, yaitu: krisis etis spiritual (moral) … berkenaan dengan: 1) kegagalan untuk menetapkan arah tujuan ke masa depan (krisis orientasi), 2) ketidak mampuan menegaskan diri sebagai entitas komunal spiritual yang khas (krisis identitas)”.[7]

 

Itulah sebabnya walaupun UUD 1945 sudah diamandemen menjadi lebih detail untuk mencapai rasionalitas yang maksimal sebagai konstitusi moderen dan dijaga oleh MK, ternyata bangsa yang dianugerahi tanah air kaya raya (subur makmur, gemah ripah, loh jinawi) ini proses pembangunan dan penegakan hukum dalam mewujudkan keteraturan sebagai arah tujuan ke masa depan yaitu menjadi masyarakat toto tentrem karto raharjo masih ‘jauh panggang dari api’ (krisis orientasi). Karena etika dan moral kepemimpinan  dan kebersamaan yang berkembang yaitu kemampuan menegaskan diri sebagai entitas komunal spiritual yang khas berdasarkan nilai-nilai Pancasila belum terbangun jatidiri bangsa yang bermental positif (krisis identitas).[8]

Globalisasi telah mencerabut nilai-nilai budaya asli yang luhur bangsa Indonesia dan digantikan oleh nilai-nilai budaya asing baik yang dominan yaitu  liberalisme (westernisasi) maupun pecundangnya (sektarianisme-radikalisme, primordialisme) yang menjebabkan bangsa Indonesia bermental negatif (krisis orientasi). Sehingga sejak reformasi, selain konsumerisme dan hedonisme yang ditumbuhkan oleh paham kapitalisme liberal pada gilirannya berkembang perilaku koruptif, konflik-konflik horizontal, terorisme, kekisruhan dan kerusuhan di masyarakat yang selalu merongrong kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia dalam mencapai masyarakat yang adil dan makmur.

Dalam hal ini diperlukan komitmen pemerintah dalam membentuk perilaku bangsa Indonesia berkarakter luhur dan bermental positif dalam kepemimpinan/individual dan kebersamaan/kolektif agar mampu keluar dari krisis identitas dan menentukan orientasi ke masa depan  berdasarkan nilai-nilai Pancasila/Gotong-royong.[9]

 

  1. PEMBANGUNAN HUKUM: Mewujudkan Keadilan Sosial

Telah disinggung di muka cara pandang fenomenologi politik menjelaskan bahwa bangsa Indonesia tidak lagi berkepribadian dalam budaya sendiri akibat krisis di bidang spiritual kebudayaan dan pada gilirannya menyebabkan krisis di bidang struktural politis dimana bangsa Indonesia tidak bebas untuk menentukan sendiri atau berdaulat dalam menegakkan UUD 1945/Konstitusi serta krisis di bidang material ekonomis karena tidak terjadi sinegi antara tiga pelaku ekonomi untuk mampu membawa ekonomi bangsa Indonesia berdiri di atas kaki sendiri.

Menurut Plato sebuah negara ideal akan bersandar pada empat sifat baik: kebijakan, keberanian, keprihatinan, dan keadilan. Para founding fathers pada era perjuangan dan awal kemerdekaan sangat sarat dengan sifat baik tersebut dalam kepribadiannya baik individu maupun kolektif sehingga dengan mudah membangun kepemimpinan dan kebersamaan dalam mencapai tujuannya yaitu Indonesia merdeka. Namun apa yang hingga sekarang sedang dikejar barulah usaha menciptakan keadilan di bidang ekonomi dan belum keadilan seperti diamanatkan sila ke 5 Pancasila yaitu keadilan sosial. Sampai dengan era reformasi ini, terutama dibawah pengaruh prinsip-prinsip liberalisme yang semakin dalam merasuki jiwa bangsa Indonesia akibat prinsip keterbukaan selama ini, baik perilaku individual maupun kolektif para pemimpin dan masyarakat Indonesia membawa jatidiri dan kepribadian atau karakter bangsa Indonesia menjadi tanpa arah. Padahal telah disepakati pidato 1 Juni 1945 dimana disebutkan definisi konsep kepemimpinan dan kebersamaan adalah Gotong-royong.

Dalam jiwa para pemimpin bangsa dan masyarakat telah berkembang penyakit pragmatisme yang akut di mana berlaku prinsip “yang penting bukan kebenaran objektif (tujuan mulia) dari politik, pembangunan dan pendidikan melainkan bagaimana kegunaan praktis dari ketiga bidang kepada individu-individu atau kelompok” sehingga masalah kebersamaan sebagai bangsa dikesampingkan.

Penambahan kata sosial pada kata keadilan dalam Sila ke lima Pancasila adalah untuk membedakan keadilan sosial dengan konsep keadilan dalam hukum positif. Keadilan sosial merupakan bagian dari Sila ke lima dalam Pancasila dengan tambahan kata-kata “bagi seluruh rakyat Indonesia”. Keadilan sosial yang harus terjadi dengan jiwa “kekeluargaan yang dinamis … antara yang kaya dan tidak kaya, antara yang Islam dan Kristen (antara umat beragama) serta antara bukan Indonesia tulen (nonpribumi) dan peranakan (pribumi)” sesuai yang diamanatkan pidato Lahirnya Pancasila. Pidato yang menunjukkan kesadaran akan kondisi multi kultural bangsa Indonesia dari para founding fathers. Oleh sebab itu Pancasila sebagai Philosophische Gronslag dan Weltanschauung dan merupakan  sumber dari segala sumber hukum bangsa dan negara Indonesia harus menjadi “realitet” dalam kehidupan bangsa Indonesia yang modern dan dengan jiwa Gotong-royong sesuai yang didefinisikan dalam pidato 1 Juni 1945.

Jadi ada dua jenis hukum yang dikandung dalam pidato 1 Juni 1945 bagai dua sisi dari mata uang yang sama. Pertama, hukum tertulis yaitu konstitusi dalam hal ini adalah UUD 1945 sebagai dasar hukum positif atau perundang-undangan di Indonesia. Kedua, hukum tak tertulis dalam bentuk norma-norma moral dan sopan santun/etika yang ada dalam nilai-nilai budaya, tradisi dan agama di Indonesia yang sangat bhineka sebagai basis etis-spriritual. Satu sama lain merupakan bagian dari faktor-faktor yang menentukan dalam pembangunan atau mencetak karakter bangsa Indonesia sehingga keadilan sosial dapat dicapai.

Pengertian keadilan sosial memang jauh lebih luas daripada keadilan hukum. Keadilan sosial berbicara tentang kesejahteraan seluruh rakyat dalam negara merdeka. Keadilan hukum berbicara tentang keadilan dalam arti tegaknya peraturan perundang-undangan atau hukum tertulis dan tentang penghukuman terhadap pelanggar peraturan dan pelaku kejahatan. Keadilan sosial berbicara lebih luas tentang hak dan kewajiban warganegara yang menyangkut etika dan moral yang terkandung dalam nilai-nilai budaya dan agama yang berlaku dan dianut oleh masyarakat yang bersangkutan.

keadilan sosial dalam sila ke 5 Pancasila adalah keadaan dalam mana kekayaan dan sumberdaya di Indonesia didistribusikan secara adil kepada seluruh rakyat baik pribumi maupun nonpribumi dengan mempertimbangkan etika dan moral yang terkandung dalam nilai-nilai budaya dan agama yang dianut oleh masyarakat Indonesia. Dalam keadilan sosial, dengan kekayaan dan sumberdaya alam dari Sabang sampai Merauke dan dari pulau Miangas hingga pulau Rote setiap orang berhak atas “kebutuhan manusia yang mendasar”. Untuk mencapai itu antara lain harus dilakukan penghapusan kemiskinan secara mendasar, dan kesamaan kesempatan bagi perkembangan pribadi dan sosial. Inilah tugas yang harus dilaksanakan negara.

Kedudukan Sila ke 5 terletak paling akhir dibandingkan sila-sila lainnya karena ‘keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia’ adalah tujuan dari Negara Indonesia, sebagai output dari sistem Pancasila. Akan tetapi mengingat bahwa Sila ke 5 adalah tujuan yang ingin dicapai melalui sila-sila sebelumnya, maka Sila ke 5 menjadi batasan atau panduan dari sila-sila sebelumnya agar fokus terhadap tujuannya.

Jadi dalam menjalankan fungsinya negara harus mencapai tujuan utama tersebut berdasarkan hukum positif/tertulis dalam bentuk konstitusi yaitu UUD 1945 dan hukum tidak tertulis dalam bentuk konvensi berupa norma-norma moral dan sopan santun yang terkandung di dalam nilai budaya dan agama di masyarakat dari kota-kota besar hingga desa-desa terpencil. Sila ke 5 menjadi tolok ukur keberhasilan dari para pengelola negara di dalam mengimplementasikan kedua jenis hukum tersebut untuk mewujudkan masyarakat di mana setiap orang mendapatkan haknya atas “kebutuhan manusia yang mendasar”.

Akan tetapi setelah lebih setengah abad melewati jembatan emas kemerdekaan dengan wetenscap pasca PD II yang dipelajari dari negara-negara barat terutama sejak 1965 seperti halnya para founding fathers[10], hingga era reformasi pemerintah baru memfokuskan pembangunan pada aspek fisik melalui empat kali amandemen UUD 1945. Pemerintah (DPR dan Eksekutif/Presiden) melaksanakan pembangunan fisik disegala bidang termasuk struktur fungsi kenegaraan dengan pendekatan penegakan hukum dan keamanan (security aproach).  Selain pembangunan infrastruktur untuk menggalakkan investasi dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi, juga dibangun kelembagaan politik dan pemerintahan disesuaikan kepntingan dalam mewujudkan Good Geverment dan demokrasi. Disamping itu juga dibentuk badan-badan dan komisi-komisi antara lain Mahkamah Konstitusi (MK), Komisi Yudisial (KY), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan komisi-komisi lainnya serta reorganisasi fungsi TNI dan Polri dan keberadaan Densus 88, BNN adalah untuk mengawasi dan mengevaluasi ketaatan hukum masyarakat serta kinerja struktur dan fungsi kelembagaan negara yang terbangun (state building).

Pertanyaannya adalah bagaimana pembangunan masyarakat berdasarkan hukum tidak tertulis yang sangat erat hubungannya dengan nilai-nilai budaya yang lebih inklusif-emosional demi terwujudnya bangsa Indonesia yang berkepribadian atau berkarakter berlandaskan nilai-nilai gotong royong yang mendasari tumbuhnya kepemimpinan dan kehidupan kebersamaan dalam masyarakat yang bermental positif dan berkeadilan sosial (nation building)?.

 

  1. PEMBANGUNAN KARAKTER: Peranan Pendidikan Tinggi (PT)

Nation building termasuk dalam 8 misi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 yang  diatur dalam UU No. 17/2007 tentang RPJPN dengan Visi: Terwujudnya Indonesia yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian berlandaskan gotong royong. Yaitu di dalam misi utama “pembangunan karakter nasional” dan misi ketujuh “membangun masyarakat yang berkepribadian dalam kebudayaan”.

Pada Kabinet Kerja Presiden Jokowi Nation building  tercakup dalam komitmen  nasional Trisakti dan Nawacita. Dalam Nawacita ke 8 “Melakukan revolusi karakter bangsa” dan ke 9 “Memperteguh kebhinekaan dan memperkuat restorasi sosial” dengan Program Aksi Berkomitmen mewujudkan pendidikan sebagai pembentuk karakter bangsa, dan memperteguh kebhinekaan Indonesia dan memperkuat restorasi sosial.[11]

UU No. 12/2012 tentang PT untuk pertama kalinya sejak reformasi negara mewajibkan Pendidikan Pancasila di dunia pendidikan. Karena sejak UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas sudah lebih 15 tahun negara tidak memfasilitasi pendidikan Pancasila sebagai bagian dari kurikulum pendidikan karakter di dunia pendidikan termasuk di PT. Akibatnya generasi muda terdidik dan apalagi yang tidak terdidik bangsa Indonesia tidak memahami dengan benar Pancasila sebagai pandangan hidup dan dasar negara. Jadi keberadaan UU No. 12/2012 dapat dijadikan momentum Program Aksi mewujudkan pendidikan sebagai pembentuk karakter bangsa dengan dipelopori dan didampingi masyarak PT. Artinya bahwa mulai tahun 2012 generasi muda yang berpendidikan tinggi diharapkan mampu menanamkan nilai-nilai Pancasila dalam diri sendiri kemudian membentuk perilaku, baik individual maupun kolektif. Perilaku berkarakter luhur serta membangun kepemimpinan/individual dan kebersamaan/kolektif yang mendasari mental positif mewujukan keadilan sosial di Indonesia. Mewujudkan keadilan sosial berdasarkan nilai-nilai gotong-royong yang jujur, cerdas, tangguh, dan peduli di kampus sebagai bagian dari pendidikan karakter generasi muda  Indonesia.[12] Kemudian setelah lulus nanti baik dilingkungan kerja/masyarakat maupun sebagai kepala keluarga, lulusan PT mampu menjadi pelopor dan menjadi fasilitator pembangunan karakter kebersamaan dan kepemimpinan yang mendasari mental positif bangsa Indonesia.

UNESCO menyebutkan pendidikan mempunyai 4 tujuan utama yaitu how to know, how to do, how to be, dan how to life together. Tiga tujuan pertama selama ini sudah dengan serius dilaksanakan di dunia pendidikan umumnya dan PT khususnya untuk mencapai kecerdasan dan profesionalisme lulusan secara maksimal. Namun pada tujuan ke 4 akibat pengaruh masuknya nilai-nilai asing yang deras tanpa lembaga[13] yang berfungsi sebagai filter sekaligus katalisator di dunia pendidikan berkembang perilaku individualis, eksklusivivisme, konsumeris-hedonis.

Masalahnya adalah, akibat sudah demikian lamanya Pancasila dikesampingkan dan bahkan dilupakan dalam proses pembangunan khususnya di bidang pendidikan, sehingga tidak terasa nilai-nilai ideologi predator Pancasila melalui protagonis-protagonisnya sudah tertanam demikian kuat di masyarakat, kalangan pemerintahan dan birokrasi termasuk di dunia pendidikan. Implementasi pendidikan karakter umumnya dan pendidikan Pancasila khususnya di dunia pendidikan dan di masyarakat dalam rangka pembangunan karakter bangsa menjadi tanpa arah. Sedangkan prinsip-prinsip dan nilai-nilai liberalisme justru semakin berurat-berakar dan mendarah-daging di dalam jiwa masyarakat Indonesia.[14] Apalagi era pasca perang dingin berkembang proxy war di dunia internasional di mana megara-negara mengembangkan prinsip dan strategi “dalam menguasai-melumpuhkan kedaulatan ekonomi-politik suatu bangsa pertama-tama adalah menguasai-melumpuhkan cara berfikirnya”.[15]

Masyarakat kampus saat ini sebagai bagian penting di dalam usaha mencerdaskan bangsa dapat dikatakan justru tak berdaya dan tenggelam dan menjadi bagian dari masyarakat yang individualis-konsumeris-hedonis. Bahkan selama ini karena sebagai masyarakat yang dianggap paling berpendidikan dalam beberapa hal PT menjadi referensi gaya hidup. Karena masyarakat kampus terutama tenaga pengajarnya sejak 1965 adalah mereka-mereka (kita para dosen) yang dididik melalui program pembangunan dengan mendapat bantuan (pinjaman) pembangunan (developmentalism neo-lib ) di bidang pendidikan ilmu pengetahuan modern dari negara-negara kapitalis liberal walaupun religius – penganut teisme – namun sifat imperialisnya tentunya masih menjadi karakternya. Bahkan para pendahulu yang kemudian menjadi bagian dari pembuat kebijakan awal yang mendasari sistem Orde Baru (teknokrat) adalah mereka tokoh-tokoh ilmuwan PT yang pernah hidup lama di (mendapat beasiswa dari) masyarakat kapitalis liberal dan pola demikian masih berlangsung sampai sekarang sehingga tidak terasa bahwa bangsa Indonesia dalam kondisi terkooptasi.

Sejak tidak difungsikannya BP7 dan terbitnya UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas yang tidak menganggap penting Pendidikan Pancasila berbagai saresehan, seminar dan kongres telah diselenggarakan. Dalam saresehan yang diselenggarakan di UGM bersama Lemhanas dan LIPI dengan UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas yang tidak memfasilitasi pendidikan Pancasila dinilai merupakan bagian tak terpisahkan dari proses “colonization of the mind” bangsa Indonesia  oleh kebudayaan asing. Kondisi tersebut membawa pendidikan bangsa Indonesia semakin ”salah asuhan” yang sangat mempengaruhi perkembangan kepribadian dan berkehidupan bermasyarakat generasi muda bangsa.

Pendidikan di Indonesia semakin lebih menghayati paradigma ilmu milik budaya bangsa lain karena keberhasilan penetrasi global neoliberal yang semakin gencar khususnya setelah berakhirnya Perang Dingin. Oleh sebab itu harus dilakukan revitalisasi dan reaktualisasi serta rejuvenasi Pancasila melalui dunia pendidikan sebagai sektor strategis dalam pembangunan IPTEK, IMTAQ dan karakter bangsa. PT sebagai komponen bangsa dan institusi yang mempunyai tugas mencerdaskan kehidupan bangsa harus proaktif berpartisipasi menyelamatkan ideologi bangsa yang sedang dalam bahaya. Yaitu menjadikan Pancasila sebagai paradigma ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) nasional. Agar produk PT tidak hanya menjadi cerdas dan pandai di bidang ilmu masing-masing (hard skill) namun juga berperilaku baik individual maupun kolektif sesuai dengan nilai-nilai budaya dan jatidiri bangsa (soft skill).[16]

Diterbitkannya UU No. 12/2012 tentang PT merupakan suatu celah yang membawa secercah sinar terang tentang kebijakan pendidikan yang terkait dengan pembangunan karakter, akhlak mulia dan moral bangsa berdasarkan nilai-nilai Pancasila khususnya di PT. Namun demikian melihat sudah demikian luasnya masyarakat yang sudah “lupa” tentang Pancasila tentunya masih tergantung pada perjuangan para pejuang Pancasila dalam implementasinya lebih lanjut.

Karena walaupun UU No. 12/2012 secara eksplisit sudah mencantumkan tentang Pendidikan Pancasila di kurikulum pendidikan Tinggi (Pasal 35 ayat 3b), kenyataan yang dihadapi adalah para protagonis-protagonis paham-paham pecundang dan predator Pancasila selama lebih 15 tahun sudah berkembang terlalu kuat. Buktinya penyelenggaraan Lokakarya yang terkait dengan pembangunan dan pendidikan karakter dan Pancasila di PT yang diselenggarakan di UB Malang 12 Desember 2015 yang lalu menunjukkan masih rendahnya komitmen pemerintah pusat dalam hal ini Menristek Dikti mengimplementasikan pasal 35. Oleh sebab itu perjuangan untuk diadakannya pendidikan Pancasila masih perlu dilanjutkan.

Karena para pelaksana pembuat keputusan di lapangan terutama para pimpinan lembaga pendidikan banyak yang sudah terinfeksi akut tiga jenis “virus” predator Pancasila seperti yang telah disebutkan. Mereka banyak yang ragu-ragu terhadap keberadaan ideologi Pancasila dengan melecehkan dan bahkan banyak yang memuji ideologi bangsa lain. Disamping itu mereka juga masih lekat dengan paradigma sentralisme dan paradigma Orde Baru tentang Pendidikan Pancasila dan belum terbiasa dengan suasana desentralisasi dan otonomi daerah dan masyarakat untuk berinisiatif menjabarkan kebijakan nasional dalam rangka pembangunan karakter bangsa dari daerah. Akibatnya implementasi di lapangan yaitu penjabaran dalam kurikulum tentang pendidikan Pancasila terasa lamban, ragu-ragu dan tidak maksimal. Hal tersebut menunjukkan bahwa para pembuat kebijakan masih setengah hati tentang pendidikan karakter dan pendidikan Pancasila dan hal tersebut tentunya sangat menguntungkan bagi kaum predator Pancasila.

Dengan semakin kuat pengaruh prinsip-prinsip liberalisme[17] sekaligus sektarianisme dan primordialisme maka akan sulit terjadi integrasi masyarakat. Dalam kondisi mayoritas masyarakat dengan “darah daging” yang sudah sangat kental dengan nilai-nilai liberalisme bercampur dan bersaing dengan feodalisme, sektarianisme, primordialisme maka keperluan Pendidikan Pancasila yang komprehensif harus terus didengungkan bahkan lebih keras lagi. Apalagi di era globalisasi pasar bebas di mana MEA sudah mulai berlaku 1 Januari 2016 semangat nasionalisme dan sikap dan perilaku patriotis juga harus tertanam secara sistematis dalam jiwa generasi muda.[18]

Oleh sebab itu dengan diterbitkannya UU No. 12/2012 melalui PT hal-hal yang terkait dengan usaha pengembangan kepribadian (MPK) sebagai bagian dari pembangunan karakter bangsa Indonesia dengan membangun jiwa kepemimpinan, kebersamaan, mental posotif menuju terwujudnya keadilan sosial dalam diri mahasiswa perlu difasilitasi lebih komprehensif dan sistematis. Kesadaran tentang pembangunan karakter bangsa yang benar dan sistematis serta terintegrasi dalam mewujudkan masyarakat Gotong-royong sebagai bagian dari visi dan misi RPJPN dan Nawacita dan program Aksi Kabinet Kerja Presiden Jokowi idealnya dipelopori oleh dan dimulai dari PT serta bersinergi dengan departemen-departemen lain termasuk Depdikbud.[19]

 

  1. PYLOT PROJECT: Propinsi Jawa Timur dan Propinsi Maluku

 

Pengaruh nilai-nilai liberalisme dengan struktur masyarakat Indonesia yang majemuk/plural menyebabkan lemahnya kepemimpinan dan semangat kebersamaan serta mental negatif dan pada gilirannya menjadikan perilaku bangsa kita serba kebablasan yang menguras energi. Dengan demikian apa yang diamanatkan dalam RPJPN 2005-2025 konsep Gotong-royong yang harus segera dioperasionalkan agar bangsa Indonesia segera mempunyai negara yang hebat adalah definisi konsep Gotong-royong dalam Pidato 1 Juni 1945.

Jadi salah satu tugas dan kewajiban negara republik Indonesia untuk mencapai tujuannya adalah membangun (mencetak – Yudi Latif) karakter kepemimpinan dan kebersamaan Gotong-royong sebagai implementasi nilai-nilai Pancasila dalam perilaku masyarakat Indonesia. Perilaku dalam tataran etika dan moral berdasarkan nilai-nilai budaya sendiri untuk menjadi negara yang hebat dalam struktur dan fungsi kenegaraan modern dan masyarakat yang bermental positif dengan membentuk kelembagaan yang melaksanakannya. Dalam hal ini sangat relevan dengan pendapat Yudi Latif yang mengatakan: “Seperti kemajuan India lewat karakter swadesinya, China dengan kolektivismenya, dan Amerika Serikat dengan individualismenya, trayek kemajuan Indonesia adalah karakter gotong royongnya” di mana karakter ketiga negara sudah terbentuk dan dikembangkan dengan sistematis sehingga menciptakan mental positif sementara pembangunan karakter bangsa Indonesia masih berjalan di tempat (kompas.com, 2009) [20].

Kondisi ketidak adilan sosial akibat krisis mulidimensi yang mengejawantah dalam krisis kepemimpinan dan kebersamaan serta mental negatif yang dialami bangsa Indonesia menciptakan perilaku pragmatis dan konflik masyarakat  yang bertentangan dengan hak asasi manusia (HAM) yang terjadi hampir merata di seluruh wilayah Indonesia. Berikut ini dua propinsi yang menghadapi masalah HAM yang dapat menjadi pylot project.

Pertama, pada Kongres Pancassila VI diselenggarakan di Unpatti 31 Mei-1Juni 2014 terasa harapan masyarakat Ambon khususnya dan Maluku umumnya agar konflik Ambon 1999 tidak terjadi lagi dikemudian hari. Dari kongres diharapkan dapat ditemukan cara bagaimana peristiwa saling bantai antar saudara hanya karena perbedaan agama tersebut  tidak terjadi lagi selamanya. Peristiwa Ambon yang sangat mencederai HAM tersebut mengispirasi seniman musik Franky Sahilatua (alm.) sebagai nyong Ambon namun juga arek Surabaya. Franky kemudian menciptakan lagu secara intens dan penuh harapan tentang Pancasila dengan judul “Pancasila Rumah Bangsa Indonesia[21] yang syairnya sebagai berikut:

Pancasila rumah kita,

Rumah untuk kita semua,

Nilai dasar Indonesia,

Rumah kita selamanya

 

Reff.

Untuk semua puji namaNya,

Untuk semua cinta sesama,

Untuk semua rasa bersatu,

Untuk semua bersambung rasa,

Untuk semua saling membagi,

Untuk semua insan, sama dapat – sama rasa,

Oooooh Indonesia.

 

Lagu yang diciptakan oleh nyong Ambon dan sekaligus arek Surabaya tersebut dengan lirik demikian tentunya bukan tanpa tujuan. Pengalaman traumatik konflik berdarah-darah  antar saudara di tanah leluhurnya telah menyentuh hati nuraninya sebagai seniman. Menurutnya Pancasila sebagai Philosophische Gronslag dan Weltanschauung seharusnya menjadi rumah bersama bagi bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia memang belum tuntas menghadapi masalah kebersamaan dalam kondisi plural-multikultural atau membangun kesatuan dan persatuan bangsa mewujudkan Bhineka Tunggal Ika sekaligus menanamkan semangat nasionalis serta sikap dan perilaku patriotis dalam menghadapi globalisasi.

Membangun rumah bersama untuk satu keluarga dengan mengimplementasikan dan mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila. Dalam makalahnya di Kongres Pancasila VI 1 Juni 2014 di Unpatti mantan gubernur Maluku 2 periode 2003-2013 Karel Alberth Ralahalu mengatakan:

“Katong Samua Orang Basaudara yang ber-Bhinneka Tunggal Ika … kedua ciri utama ke-Malukuan-an itu telah menjadi sebuah acuan khusus dalam membangun visi dan misi pembangunan Maluku guna mengantarkan Maluku mengakhiri konflik dan membangun perdamaian sejati di bumi Maluku”.

 

Pada kesempatan yang sama untuk melanjutkan apa yang telah direncanakan dan dimulai oleh gubernur pendahulunya tersebut Said Assegaff sebagai gubernur baru menegas akan menjadikan propinsi Maluku sebagai Laboratorium Perdamaian.[22]

Kedua, propinsi Jawa Timur dan kota Surabaya sebagai propinsi industri dan kota metropolitan juga mempunyai permasalahan HAM. Pengungsi Sampit, konflik Sampang, tawuran suporter sepak bola, illegal logging dan paling hangat adalah yang dihadapi kota Surabaya tentang kebijakan pengemis dan prostitusi di mana masalah yang disebut terakhir kota Surabaya dengan keberadan komplek lokalisasi “Dolly” memperoleh predikat kota prostitusi terbesar se Asia Tenggara. Pak De Karwo selalu mendambakan terbangunnya masyarakat gotong-royong semetara walikota Surabaya ibu Tri Rismaharini ingin kota Surabaya bebas dari citra negatif dan tentunya dengan soslusi berdasarkan nilai-nilai Pancasila.

Sehari sebelum kongres Pacasila di Unpatti, dalam rangka memperingati hari lahirnya Pancasila 1 Juni 1945 Gubernur Jawa Timur Sukarwo (Pakde Karwo) menjadi pembicara pada Seminar Nasional “Trisakti Bung Karno dan Implementasinya di Era Globalisasi” 31 Mei 2014 di UGM. Dikatakan Trisakti harus diperkuat oleh sistem penegakan hukum dalam menghadapi globalisasi. Akibat globalisasi di bidang politik berkembang budaya trasaksional (wani piro) dan dibidang ekonomi penguasaan swasta dan luar negeri dengan budaya persaingan bebas yang menindas rakyat kecil. Solusinya diperlukan regulasi yang demokratis dan partisipatoris dalam pengambilan kebijakan yang melibatkan rakyat yang benar-benar tepat sasaran dan membawa dampak seluasnya bagi masyarakat. Dikatakan “… bahwa globalisasi memang bagus di efisiensi, tetapi tidak bagus untuk keadilan bagi rakyat kecil. Maka keadilan tersebut harus diambil alih oleh negara melalui regulasi yang memihak rakyat kecil …. Ketua panitia seminar mengatakan “salah satu penyebab bangsa ini mengalami degradasi kepribadian adalah globalisasi. Bangsa ini bisa bangkit dan menjadi lebih bermartabat, untuk itu diperlukan penguatan dan pemahaman konsep Trisakti Bung Karno dalam menghadapi era globalisasi.” “ … Pancasila merupakan kekuatan progresif dan revolusioner (Dr. J. Kristiadi) untuk … mewujudkan negara kebangsaan yang berdasarkan Pancasila, Trisakti merupakan strategi dan arah (Prof. Dr. H. Soedijarto, MA) dalam … membendung imperialisme modern yang mengancam tiga komponen dasar Trisakti itu sendiri (Prof. Dr. Tadjuddin Noor)”.[23]

Apa yang diangankan para kepala daerah tersebut tak lain adalah membangun masyarakat Pancasila seperti diangankan oleh Franky Sahilatua dalam  kehidupan kolektif dengan konsep “sama dapat – sama rasa” (komunisme sama rasa – sama rata) melalui sosialisasi nilai-nilai Pancasila yang terkandung di dalam Pidato 1 Juni 1945 membangun masyarakat Gotong-royong yang definisi konsepnya telah disebutkan di depan. Propinsi Maluku dan pulau/kota Ambon serta Propinsi Jawa Timur dan kota Surabaya kiranya dapat menjadi studi kasus dan pylot project serta Program Aksi yang ideal untuk mewujudkan masyarakat gotong-royong berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Sosialisasi dengan pendekatan pendidikan (education) dan pembangunan masyarakat (comunity development) serta memberdayakan masyarakat (community empowement) mewujudkan masyarakat Pela Gandong – Gotong-royong yang betul-betul aktual.

 

 

 

  1. KELEMBAGAAN: Komisi Pengganti BP7

Sejak awal reformasi Pancasila sebagai falsafah dan ideologi berbangsa dan bernegara Indonesia semakin menyurut kepentingannya sebagai subyek pendidikan. Hal ini akibat pengaruh dari ”penyelewengan” BP7 di dalam melaksanakan tugas mulianya mensosialisasi nilai-nilai Pancasila oleh Orde Baru. Sejak saat itu tidak ada lagi  lembaga yang bertugas mensosialisasikan nilai-nilai Pancasila dan menjadi filter bagi masyarakat Indonesia terhadap nilai-nilai asing dalam arus globalisasi. MPR-DPR-DPD dan Eksekutif serta lembaga-lembaga tinggi negara hanya sibuk mereformasi struktur dan fungsi lembaga-lembaga negara melalui 4 amandemen UUD 1945 dengan berbagai lembaga dan komisi yang dibentuk seperti MK, KPU, KPK, KY (state building).

Sedangkan pendidikan Pancasila menjadi prioritas terakhir atau sudah dianggap bukan masalah lagi. Sehingga Orde Reformasi dijadikan momentum bagi ideologi-ideologi yang sejak dahulu merupakan predator Pancasila untuk lebi leluasa melaksanakan misinya. Dihembuskan pemikiran bahwa Singapura tanpa Pancasila bisa maju, Amerika maju tanpa Pancasila mengapa kita getol dengan Pancasila. Dalam kondisi masyarakat Indonesia yang majemuk dan tingkat pendidikan dan kesejahteraan ekonomi tidak merata, dengan tanpa lembaga yang berfungsi menjadi wahana pembangun kerukunan dan penjaga nilai-nilai budaya bangsa (nation buiding), gerakan para predator Pancasila akan lebih leluasa mengacaukan mental masyarakat Indonesia dalam berbangsa dan bernegara. Oleh sebab itu dengan berdasarkan UU 17/2007 tentang RPJPN dan UU 12/2012 tentang PT perlu keberadaan satu KOMISI yaitu lembaga independen yang bertanggung jawab atas pendidikan dan pembangunan karakter bangsa secara sistematis.

Mudah-mudahan uraian ini dapat menjadi trigger, khususnya untuk MPR/DPR/DPD – RI, Eksekutif dan lembaga-lembaga tinggi negara lainnya[24] untuk hadir mengkaji lebih komprehensif dalam akan perlunya kelembagaan dalam Program Aksi mengimplementasikan falsafah dan ideologi nasional sehingga dapat bermakna bagi perubahan bangsa khususnya dalam kehidupan kebersamaan (togetherness) hubungan SARA dan antara pusat dan daerah dalam menghadapi globalisasi.

 

  1. DASAR PEMIKIRAN

Dalam rangka merumuskan bagaimana idealisme dan pemikiran dari para founding fathers yaitu Philosophische Gronslag dan Weltanschauung bangsa Indonesia Pancasila yang dibangun dengan wetenscap sebelum PD II menjadi realitet. Khususnya bagaimana konsep karakter yang diidealkan yaitu Gotong-royong diimplementasikan dan disosialisasikan dalam Program Aksi membangun karakter dalam kepemimpinan, kebersamaan menjadi bangsa yang bermental positif serta berkeadilan sosial dilaksanakan.  Mengapa perlu dibentuk suatu komisi sebagai wujud kehadiran negara dengan dunia pendidikan sebagai leading sector. Untuk itu diperlukan landasan toritik dari wetenscap pasca PD II untuk sebagai pisau analisis.

Kajian menggunakan teori sederhana tentang kebijakan publik dalam pembangunan masyarakat dengan metode historis dan standard intelektual C. Wright Mills serta cara pandang fenomenologi. Standard intelektual C. Wright Mills mengajarkan untuk bersikap kritis terhadap mode penelitian sosial yang banyak dipakai dan mendominasi awal ilmu sosial pasca perang Dunia II di Amerika. Mills menyerukan kebangkitan kembali tradisi ”klasik” analisis sosial.[25] Bentuk analisis ini ”melawan ilmu sosial sebagai seperangkat teknik birokrasi yang menghambat penyelidikan sosial dengan ’pretensi metodologis’, yang bekerja dengan menghimpun konsep-konsep yang tidak jelas, atau yang menjadikannya sebagai sesuatu yang remeh dengan menaruh perhatian terhadap masalah kecil yang tidak berhubungan dengan isu-isu publik yang relevan”.

Mills melihat ilmu sosial sebagai upaya kritis dan berakar historis. Ia mendorong para sarjana untuk ”menggunakan bukti-bukti sejarah dan penalaran komparatif untuk mengeksploitasi hubungan antara kekuasaan dan proses-proses perubahan sosial. Para ahli harus memperdebatkan hipotesis, teori, dan teknik, bukan untuk kepentingan mereka sendiri, tetapi dalam kaitannya dengan pertanyaan substatif yang penting”. Audiens utama bagi penyelidikan sosiologis haruslah ”pelajar dan publik yang berfikir, bukan manajer yang hanya mencari untuk membuat status quo lebih efisien”. Ia bersikap kritis terhadap penelitian yang lebih dipandu oleh keperluan administratif dari pada perhatian intelektual. Jadi, nasihatnya bagi para sarjana masa depan adalah untuk mengejar penelitian dan menangani pertanyaan yang menarik secara moral dan relevan dengan kondisi manusia, baik dulu dan sekarang.”[26]

Sedangkan cara pandang fenomenologi sebagai alternatif terhadap cara pandang modernism yang menghasilkan “mode penelitian sosial” yang selama ini menjadi main stream dalam konteks keberadaan bangsa Indonesia dan manusia di dunia. Cara pandang fenomenologi membongkar segala artifisialitas konstruksi sistem ilmu pengetahuan (yang rasional, obyektif dan sistematis) sebagai cara pandang masyarakat kapitalisme liberal yang mendehumanisasi dan mendepolitisasi manusia. Fenomenologi adalah filsafat “kembali ke primordialitas dunia-kehidupan yang mendasarinya” dengan konsep “back to the things themselves”. Dalam konteks keberadaan bangsa Indonesia adalah kembali ke pemikiran-pemikiran yang tercipta pada momen krusial pada kehidupan suatu bangsa yaitu memahami lebih dalam proses dan hasil sidang BPUPKI di mana semua pemikiran para founding fathers tercurah sebagai proses intersubyective dalam mempersiapkan peristiwa penting kemerdekaan bangsa Indonesia yang bermuara pada ego trancendental Ir. Sukarno dalam Pidato 1 Juni 1945 yang disebut sebagai pidato lahirnya Pancasila.

  1. Pembangunan Demokrasi dan Nation and Karacter Building

Pengkajian ini tercakup di dalam analisa kebijaksanaan umum (public policy analysis) khususnya tentang pelaksanaannya (implementation). Karena minat terhadap studi mengenai pelaksanaan kebijaksanaan saat ini semakin meningkat terutama dido­rong oleh mendesaknya perlunya pengetahuan tentang hasil-hasil pembangunan yang telah dilaksanakan (Edward III, 1980), dan kelembagaan yang terbentuk atau analisis kelembagaan (institutional analysis) (Manheim, 1981).

Pada era Orde Baru pembangunan nasional yang bertema pembangun manusia Indonesia seutuhnya berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dengan dasar ilmu pengetahuan dan bantuan pembangunan ekonomi dari negara-negara barat liberal yang mempersyaratkan stabilitas politik, berkembanglah sistem politik dengan infrastruktur politik yang diatur atau direkayasa sesuai dengan tuntutan pembangunan yang dipreskripsikan oleh negara-negara barat. Stabilitas politik ditegakkan demi mengutamakan pembangunan ekonomi, dan ternyata yang terbangun adalah sistem politik otoriter. Pendidikan Pancasila ketika itu ternyata dalam rangka membangun sistem politik demikian.

Struktur kekuasaan yang terpusat atau sentralistis dengan GOLKAR harus menjadi partai tunggal dominan di antara dua partai yang dikerdilkan merupakan bentuk konkrit warna otoriter Orde Baru di mana BP7 merupakan lembaga yang melaksanakan pendidikan Pancasila yang sesuai dengan kelangsungan pemerintahan otoriter.  Dalam hal ini Prof. Pye seorang teoritisi (liberal) pembangunan politik di negara-negara berkembang mengatakan: “Dalam  tahap-tahap  pertama  waktu  kebudayaan modern diperkenalkan kepada suatu  masyarakat tradisional dalam wujud pembangunan infrastruktur dan supra struktur modern,  proses  ini   dapat diperlancar dengan menerapkan sistem otoriter”.

Jadi menurut Pye  untuk  membangun suatu  infrastruktur sebuah  negara modern melalui metode  demikian merupakan cara yang dapat diterima. Namun beliau juga mengingatkan bahwa:

“Pelaksanaan  metode tersebut ada batasnya  dan akhirnya  harus dikembangkan metode  demokratis dalam menyalurkan kepentingan semua pihak  yang semakin  meningkat  kesadarannya  dalam  proses politik sebagai hasil dari  pembangunan  agar sistem politik mempunyai  kemampuan beradaptasi dalam menghadapi kondisi-kondisi  dinamis  dan berubah-ubah”. (Pye, 1978: 71 – 88;  Budiardjo, 1975: 97 – 215)

 

Dengan latar belakang warisan struktur politik Orde Baru khususnya dalam rangka “membendung” paham komunisme dan paham-paham predator Pancasila lainnya, sistem  politik  Orde Baru pada awalnya memang harus membangun berbagai supra dan infra struktur politik yang sesuai dengan tuntutan jaman sebagai landasan  untuk menjadi sistem kehidupan bangsa modern yang kuat dan stabil khususnya untuk menjamin pembangunan ekonomi nasional.

Pada era reformasi apa yang sudah dirintis pada era Orde Baru yang sudah baik dapat diteruskan dan dikembangkan (antara lain kebijakan anti paham komunisme yang anti Tuhan dan membangun demokrasi) sedangkan yang menyimpang diperbaiki (antara lain memberantas KKN). Dalam hal ini melalui amandemen konstitusi yaitu UUD 1945 sebagai hukum positif tentang struktur fungsi negara sudah diperbaiki bahkan secara kelembagaan ada yang mengawasi yaitu dengan adanya Mahkamah Konstitusi (MK) (state building). Namun pembangunan mental dan moral berdasarkan falsafah dan ideologi Pancasila justru belum ditangani secara komprehensif termasuk masih adanya lembaga masyarakat yang secara terang-terangan atau terselubung tidak mencantumkan  Pancasila dalam anggaran dasar organisasinya.

Dalam hal ini amandemen UUD 1945 yang sudah ke 4 kalinya hanyalah kebijakan tentang pembangunan struktur dan fungsi negara yang  memang sudah ketinggalan jaman. Amandemen konstitusi, ternyata baru memfokuskan pada pembangunan fisik baik struktur dan fungsi kelembagaan pemerintah maupun infrastruktur sosial dan ekonomi. Sementara pembangunan non fisik khususnya di bidang mental dan moral bangsa dengan falsafah dan ideologi Pancasila belum mendapatkan perhatian secara serius. Ketika jaman Orde Baru adanya lembaga BP7 yang sangat erat dengan bidang pendidikan namun berkembang menjadi lembaga alat politik pemerintah karena menjadi bagian dalam rangka mempertahankan sistem politik otoriter.

Hasilnya saat ini ternyata semakin kuat dan menyengat aroma liberalisme sekaligus sektarianisme dan primordialisme di kehidupan berbangsa dan bernegara. Kapitalisme liberal  yang terkenal dengan konsep the survival of the fitest dan free figh competition yang berkembang subur sejak era Orde Baru berkembang perilaku fragmatisme dan keserakahan yang menyebabkan kesenjangan sosial. Penyimpangan-penyimpangan dalam kehidupan masyarakat khususnya akibat dari kesenjangan ekonomi mengarah pada disintegrasi bangsa. Perilaku masyarakat yang sangat erat dengan kerusakan mental dan moral dalam berbangsa dan bernegara, hanya ditangani melalui pendekatan lama dengan penegakan hukum dan keamanan yang represif seperti pembentukan Desus 88, atau UU Intelijen dan lain-lain.

Dengan kondisi latar belakan bangsa Indonesia yang majemuk dan multi kultural serta warisan kondisi terpecah belah akibat kebijakan kolonial devide at impera dengan kesenjangan dalam kesejahteraan, maka timbul pertanyaan bagaimana ideologi nasional selama ini disosilaisasikan untuk dipahami dan dijadikan pedoman hidup bersama sebagai suatu bangsa. Ideologi Pancasila yang menjadi ideologi resmi bangsa Indonesia sejak 1945 adalah faktor penting terwujudnya persatuan bangsa yang harus disosialisasikan di masyarakat Indonesia secara sistematis dalam rangka nation and karacter building.

Dengan menggunakan pendekatan analisis kelembagaan, maka kelembagaan yang bagaimana yang harus dibentuk dalam melaksanakan kebijakan sosialisasi ideologi Panca-sila merupakan faktor penting. Searah dengan landasan konsep yang telah dibahas, kajian ini akan memfokuskan pada studi kebijakan umum tentang proses formulasi kebijakan tentang sosialisasi filsafat dan ideologi Pancasila agar nilai-nilai Pancasila menjadi predisposisi baik di masyarakat maupun para implementornya. Menggunakan  bahasa analisa kebijaksanaan umum maka yang  menjadi mengedepan adalah bagaimana dengan “public resources”  yang sama, masyarakat mampu merumuskan tujuan pembangunan dengan menggunakan “logical  processes to explore the best way to reach their goal” dengan jalan “careful analysis of the advantages and disadvantages  of each course of action” (Stokey, Zechauser: 1978, ix, 1 – 7; Dye, 1981; Edwards  III, 1980).

  1. Otonomi Daerah dan Peranan Sektor Pendidikan Tinggi

Dasar pemikiran ini juga menggunakan pendekatan desentralisasi dan otonomi daerah. Suatu pendekatan yang sangat erat dengan keberadan Dewan Paerwakilan Daerah (DPD) di MPR. Karena salah satu isu utama reformasi adalah tuntutan penggeseran paradigma pembangunan dari sentralisasi menjadi desentralisasi dan otonomi daerah serta sangat erat dengan pemberdayaan daerah dan masyarakat. Untuk itu propinsi Maluku (propinsi seribu pulau) di mana masyarakat maupun para pimpinan daerah (implementor) sudah seiya-sekata untuk membangun perdamaian abadi setelah mengalami konflik yang menumpakan darah atar saudara sendiri.

Oleh sebab itu juga menjadi pertimbangan asas desentralisasi dan otonomi menghendaki pemerintah pusat untuk lebih memberi kesempatan kepada daerah mengembangkan otonomi, memberi keleluasaan (discreation) kepada daerah untuk mengambil prakarsa dan keputusan dalam merencanakan pemanfaatan sumber daya baik yang berasal dari daerah sendiri maupun dari pusat.

Hal tersebut merupakan kebutuhan penyelenggaraan pembangunan daerah sesuai dengan kondisi, potensi serta karakteristik wilayah yang memerlukan keikutsertaan masyarakat dan keterlibatan serta dorongan kemampuan dan tanggung jawab perangkat pemerintah daerah. Otonomi daerah sebagai landasan konsep desentralisasi dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan dan pembinaan hubungan antara pemerintah pusat dan daerah tercantum dalam pasal 18 UUD’45 dan perubahan-perubahannya yaitu pada perubahan II. Dalam kaitanya dengan pembangunan ideologi Pancasila pemerintan daerah juga harus mempunyai ide dan inisiatif memfasilitasi proses sosialisasi dan pendidikan ideologi bangsa Indonesia. Landasan asas desentralisasi dan otonomi daerah adalah UU No. 22 dan No. 25 tahun 1999 dan UU No. 22 direvisi dengan UU No. 32 tahun 2002.

Bertolak dari semangat seperti yang telah diuraikan untuk mengimbangi kemajuan kehidupan konstitusional, di era globalisasi dan dalam kemajuan teknologi informasi, komunikasi dan transportasi di mana bangsa Indonesia mengalami krisis moral yang akut yang mempengaruhi kepemimpinan dan kebersamaan yang menimbulkan ketidak adilan sosial sehingga membahayakan persatuan bangsa, sektor pendidikan khususnya PT mempunyai posisi strategis. PT merupakan salah satu hasil pembangunan di bidang pendidikan di mana IPTEK di proses untuk kesejahteraan bangsa bukan hanya fisik namun juga mental dan moral. Dalam hal ini dapat diartikan bahwa PT di Indonesia sebagai elemen bangsa yang mempunyai kompetensi pendidikan paripurna dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dalam menghadapi masalah fisik maupun moral (Kaelan, 2010).

Dengan terbitnya No. 12/2012 memantabkan posisi strategis PT yang mempunyai tugas membangun SDM dan pemikiran yang mampu  mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila baik di bidang hukum dan kostitusi maupun dalam kehidupan budaya yang mendasari perilaku sehari-hari baik di proses pemerintahan maupun di masyarakat baik di pusat maupun daerah agar bangsa Indonesia mampu keluar dari krisis dan tidak menjadi obyek tak berdaya di era globalisasi.

Krisis seperti telah disebut di muka sebagai krisis kepemimpinan dan kebersamaan disebabkan oleh “…. hilangnya saling percaya dan rasa empati atau tepa selira … yang mengakibatkan berkembangnya eksklusivisme dan saling tidak percaya antar individu (individualisme), antar bidang kehidupan dan agama (eksklusivisme dan sektarianisme),  antar kelompok dan golongan ras dan suku (primordialisme) yang terkenal dengan masalah SARA sebagai penyebab utama dari krisis”. (Sindunata, 1999)

  1. Membangun social capital bangsa

UU No 12/2012 merupakan kebijakan hasil perjuangan tentang pendidikan Pancasila yang perlu mendapat apresiasi, improvisasi dan perhatian serius dalam implementasinya. Dengan kondisi dan situasi demikian PT diharapkan dapat menyusun model dan strategi bagaimana membangun kepemimpinan dan kebersamaan bangsa Indonesia, seperti telah dilakukan oleh para perintis dan pejuang kemerdekaan yang kemudian melahirkan ideologi bangsa Indonesia yaitu Pancasila, memproklamasikan dan mempertahankan kemerdekaan, bersama-sama rakyat sebagai social capital (Fukuyama, 1999) ketika menghadapi kaum penjajah yang ingin kembali menikmati kekayaan alam dan kerendahan hati bangsa Indonesia. Oleh sebab itu dari rangkaian pengalaman yang ada dapat diharapkan mampu membangun kepemimpinan dan kebersamaan yang sesuai dengan jatidiri bangsa Indonesia. Dengan kepemimpinan dan kebersamaan yang solid bangsa Indonesia akan mampu survive sekaligus menjadi subyek dengan kecerdasan kritis dan berfikir konstruktif[27] membangun “narasi alternatif tentang globalisasi” yang mempunyai akar histories menghadapi globalisasi (Steger, 2005: 22).

Social capital tidak lain adalah kondisi sosial (bukan fisik atau SDM) suatu organisasi yang dapat menjadi faktor penting bahkan utama dari suatu organisasi dalam mencapai tujuan secara optimal dengan konsep operasionalnya adalah mutual trust (saling percaya) dan kemampuan bekerja sama (networking).  Menurut Putnam, Social capital as ‘feature of social organization such as networks, norm and social trust that facilitate coordination and cooperation for mutual benefit’ …“Kepercayaan (trust) tidak tercapai dengan sendirinya. Perlu proses untuk membangun kepecayaan secara terus menerus.[28]

Lebih operasional lagi bagaimana masyarakat PT Indonesia dengan UU No 12 tahun 2012 secara bersama-sama dengan kepandaian kritisnya mampu menciptakan model sosialisasi ideologi Pancasila bagi bangsa dan negara. Agar bangsa Indonesia mampu menghadapi proyek-proyek neo/liberal yang walaupun sudah dibungkus dengan nilai HAM, namun jiwanya tetap kolonial. Mengkonstruksikan kebersamaan dengan mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila.Yaitu kebersamaan sebagai faktor kohesif yang dapat mengeliminir efek negatif dari keterbukaan dan otonomi sebagai prinsip utama paham neo/liberalisme, prinsip yang sangat rentan terhadap disintegrasi bangsa. Kebersamaan yang dapat menjadi social capital dalam memaksimalkan potensi bangsa untuk tidak menjadi loser tetapi menjadi gainer dalam proses globalisasi (Fukuyama, 1999: 11-14).[29]

Huntington mengatakan bahwa pada era pasca perang dingin identitas-identitas budaya dan kebudayaan mampu membentuk pola kohesif atau perekat yang mengakomodasi adanya pluralitas masyarakat atau juga sebaliknya menyebabkan disintegrasi. Oleh sebab itu apabila tidak ada kesadaran untuk mengembangkan budaya politik yang kohesif negara nasional yang plural di bidang etnis dan budaya akan menghadapi kekuatan distruktif (Huntington, 2000: 5).

Menurut Putnam nilai perekat yang fungsional dalam masyarakat ditunjukkan pada adanya pola-pola interaksi yang membantu masyarakat dan negara dapat memahami satu sama lain. Yaitu kondisi masyarakat  sebagai social capital yang seharusnya terbangun bersamaan dengan pembangunan fisical capital dan human capital. Putnam mendefinisakan social capital sebagai institusi sosial yang melibatkan jaringan nilai, norma-norma dan kepercayaan sosial yang mendorong pada sebuah kerjasama sosial yang saling menguntungkan untuk kepentingan bersama yaitu kemampuan untuk membentuk sistem pemerintahan yang bersih, efektif, efisien, responsif, akomodatif terhadap aspirasi rakyat sebagai prasyarat terbentuknya civil society. Suatu sistem politik yang mengalami perkembangan negatif atau defisit social capitalnya rentan terhadap krisis (Putnam, 1995). Artinya sistem politik yang surplus Social capital akan terintegrasi secara kokoh. Menurut Fukuyama, Social capital dapat ditumbuhkan (cultivated)  dan social capital mempunyai fungsi positif terhadap kehidupan ekonomi dan politik suatu negara (Fukuyama: 1999, 1).

Berdasarkan asumsi-asumsi di atas bangsa Indonesia mengalami pasang surut atau surplus – defisit social kapital. Surplus Social capital pertama bangsa Indonesia adalah kemauan bersama untuk merdeka yang telah menghasilkan kemerdekaan atau mendeligitimasi pemerintah kolonial bersamaan dengan lahirnya ideologi Pancasila sebagai konsep perekat kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia merdeka. Namun setelah kemerdekaan tercapai, implementasi ideologi Pancasila sebagai konsep perekat dalam mengisi  kemerdekaan ternyata tidak begitu saja dapat diimplementasikan dalam pembangunan masyarakat Pancasila yang dicita-citakan proklamasi. Karena seperti yang telah diuraikan pemikiran tentang Pancasila selama ini tidak berdasarkan sejarah yang benar alias a historis.

Bangsa Indonesia kemudian disibukkan oleh konflik-konflik politik baik dalam dimensi domestik yang diwarnai nilai-nilai budaya tradisional dan sektarian sisa-sisa struktur masyarakat kolonial maupun dimensi structural konflik internaional khususnya pengaruh perang dingin. Ancaman sparatisme, sektarianisme dan persaingan ideologi perang dingin mencapai puncaknya pada ancaman dari ideologi komunisme terhadap ideologi Pancasila menyusul terjadinya G30S PKI sebagai  titik terendah kadar social capital bangsa Indonesia.

Setelah G30S PKI dalam rangka membangun kekuasaan, pemerintah Orde Baru mengembangkan sejarah tentang Pancasila dan mensosialisasikannya menurut versi dan caranya sendiri. Antara lain dalam rangka mendeligitimasi presiden Sukarno disusunlah sejarah yang mengecilkan peranannya dalam proses kelahiran Pancasila. Mungkin itu salah satu makna pidato Bung Karno pada masa-masa akhir jabatannya – Jasmerah – jangan sesekali melupakan sejarah.[30]

Dengan asumsi demikian maka ada bagian sejarah yang hilang atau sengaja dihilangkan tentang Pancasila yang sangat substantif untuk kepentingan ideologi-ideologi predator Pancasila. Yaitu dengan mengabaikan konsep-konsep Trisila dan Ekasila atau Gotong-royong dengan tidak memakai lagi Pidato 1 Juni 1945 sebagai rujukan untuk mengembangkan lebih lanjut nilai-nilai Pancasila untuk menjadi perekat bangsa Indonesia. Definisi Konsep gotong-royong yang disebutkan di depan terkandung di dalam isi pidato 1 Juni 1945.

Oleh sebab itu salah satu tugas pemerintah ke depan adalah membangun masyarakat Pancasila atau Gotong-royong mengoperasionalkan definisi yang ada di dalam pidato 1 Juni 1945 ke dalam  civil society dan masyarakat madani berkelanjutan dengan menumbuhkan kesatuan dan persatuan yang kokoh.

Bangsa Indonesia ke depan perlu social capital dengan mengembangkan nilai-nilai Pancasila sebagi nilai perekat yang mampu mengendalikan dinamika kelompok yang mengandung potensi konflik baik terbuka maupun tertutup dengan menumbuhkan jiwa kegotong-royongan untuk menjadi dasar Social capital baru dengan nilai-nilai kerukunan dan saling percaya untuk mewujudkan kesatuan dan persatuan bangsa yang sejati (Aminah, 2002).

Sampai dengan era reformasi saat ini di mana bangsa kita mencapai situasi krisis pada stadium kritis yaitu tingkat krisis motivasi yang menciptakan situasi revolusioner dan mengancam eksistensi ideologi Pancasila. Sekarang justru perilaku liberal sekaligus radikal yang sangat nyata merasuki jiwa masyarakat Indonesia dan justru banyak di antaranya kaum terpelajar. Oleh sebab itu melalui PT, ideologi Pancasila harus segera diselamatkan sekaligus direvitalisasi dan diimplementasikan sebagai proses pemberdayaan  untuk mewujudkan masyarakat (dengan kepemimpinan, kebersamaan, mental positif dan keadilan sosial) gotong-royong melalui pendekatan pendidikan.

 

 

 

 

 

  1. G. IMPLEMENTASI: Peranan DPD-MPR-RI

Apabila uraian di atas disetujui yaitu Pancasila adalah ideologi ilmiah yang ”lahir” dari kandungan proses dialektis intensional, existential, intersubyective komunitas terpelajar berpendidikan modern dengan tiga karakter yaitu Pancasila, Trisila dan Ekasila atau Gotong-royong, maka isi pidato 1 Juni 1945 sebagai ego transcendental dan situasi yang melingkupinya kiranya layak dijadikan qitoh atau manifesto kemerdekaan bangsa Indonesia.

Konstitusi hasil kerja pertama para founding fathers melalui Panitia 9 sebagai pengejawantahan ideologi Pancasila yaitu UUD 1945, sekarang telah diamandemen empat kali dengan wetenscap pasca PD II dan sedang diusulkan oleh inisiatif Dewan Perwakilan daerah (DPD)-MPR RI amandemen ke lima, namun ternyata sebagian besar masih merupakan usaha penyempurnaan terbangunnya struktur dan fungsi negara  modern.[31]

Sedangkan dasar etika dan moral kehidupan kebersamaan berbangsa dan bernegara untuk mewujudkan atau terbangunnya nilai-nilai bersama sebagai dasar persatuan dan kesatuan bangsa termasuk hubungan pusat-daerah dalam rangka melaksanakan otonomi daerah untuk tegaknya hukum berdasarkan UUD 1945, kokohnya NKRI dan terwujudnya Bhinega Tunggal Ika belum mendapatkan perhatian secara serius sehingga diperlukan keberadaan suatu KOMISI sebagai pengganti BP7.

Dalam hal ini anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD-MPR RI) yang mewakili  daerah masing-masing pada tempatnya terlibat dalam pemberdayaan Pancasila terutama mewujudkan masyarakat Gotong-royong di daerah-daerah. Dengan didukung oleh dunia pendidikan umumnya dan PT khususnya mewadahi kearifan lokal di daerah agar bangsa Indonesia dengan kebinekaannya mampu mempersatukan setiap daerah dalam rangka membangun social capital dan soft power  bangsa. Rasanya dengan kutipan pemikiran Bung Karno pada buku Info Memo Perubahan Kelima UUD 1945 DPD-MPR RI yang mengatakan:

 

“Tuan-tuan tentu semuanya telah mengerti bahwa Undang Undang Dasar yang kita buat adalah Undang-Undang Dasar sementara. Kalau boleh saya memakai perkataaan: ini adalah Undang-Undang Dasar kilat. Nanti kalau kita telah bernegara dalam keadaan tenteram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dapat membuat Undang-Undang Dasar yang lebih sempurna dan lebih lengkap” (Ir. Soekarno, Presiden RI – 18 Agustus 1945)

 

Apa yang diucapkan Presiden Pertama tersebut kiranya sudah terwujud di era reformasi ini oleh para politisi dan pakar melalui amandemen UUD 1945 di mana DPD mendapatkan batu pijak keberadaanya. Saat ini  kemandirian dan spesialisasi DPD sebagai wakil rakyat masih menjadi masalah karena kelihatan hanya mengikuti irama kerja DPR yang selama ini memfokuskan pada pembangunan struktural fungsi (structutal funcsional) negara modern. DPD sebaiknya mempunyai pradigma tersendiri dalam pembangunan/penyadaran masyarakat Pancasila yang hampir/sudah tenggelam kedalam arus globalisasi yang didominasi oleh prinsip-prinsip liberalisme. Merealisasikan semangat dari para petinggi bangsa, paling tidak ketua MPR, Presiden dan ketua MK dan beberapa tokoh nasional yang sudah mulai memberi perhatian pada pelaksanaan pendidikan Pancasila. Kesepakatan para pemimpin bangsa pada peringatan hari lahirnya Pancasila 1 Juni 1945 pada 1 Juni 2011 dalam usaha pembangunan ideologi bangsa untuk menjadi perilaku masyarakat perlu adannya suatu kelembagaan. Untuk itu diinstruksikan oleh presiden SBY agar Kemendikbud menjadi koordinator dengan lembaga-lembaga terkait artinya dunia pendidikan harus menjadi leading sector.[32]

Lembaga yang berfungsi pembangunan fungsi kultural (cultural funcsional) dalam perilaku bangsa Indonesia berdasarkan nilai-nilai Pancasila yang berasal dari nilai-nilai budaya dan agama. Dengan pendekatan demikian pembangunan masyarakat gotong-royong searah dan dengan dan melengkapi terhadap konsep belajar seumur hidup bangsa Indonesia dan searah pula dengan tujuan kebijakan 20% APBN/APBD untuk anggaran pendidikan sehingga pendidikan tidak hanya di sekolah (pedagogi) untuk orang-orang muda namun juga di luar sekolah untuk orang-orang dewasa dan tua (andragogi) sebagai proses pemberdayaan masyarakat (community empowerment) sebagai bagian dari pembangunan jatidiri bangsa.

Jadi dalam melaksanakan rencana aksi nasional para pemimpin bangsa tersebut adalah proses sosialisasi nilai-nilai Pancasila dalam rangka melengkapi pelaksanaan konstitusi, mempertahankan NKRI dan mewujudkan Bhineka Tunggal Ika dengan pendekatan pendidikan. Pendidikan dalam rangka membangun masyarakat gotong-royong tentunya perlu dibentuk suatu lembaga secara formal  dan profesional agar proses sosialisasi berjalan lebih sistematis. Sebagai proses pendidikan hasil kegiatan  sosialisasi nilai-nilai Pancasila adalah learning outcome (LO) dengan memfasilitas masyarakat agar mampu menjadi bagian dari bangunan masyarakat gotong-royong.

Oleh sebab itu dalam semangat reformasi idealnya proses sosialisasi nilai-nilai Pancasila diselenggarakan oleh sebuah komisi sebagai lembaga pelaksana proses twin tolerance (Stepan) dan democratic bargaining (Hashemi)[33] di bawah koordinasi dan pengawasan DPD-MPR memfasilitasi masyarakat melalui fasilitator-fasilitator atau pendamping profesional dengan proses rekruitmen melalui seleksi dan sertifikasi.  Sedangkan masyarakat guru dan dosen menjadi inti sumber daya fasilitator (mempunyai ilmu dan ketrampilan pendidikan) namun juga dapat direkrut dari masyarakat umum dengan criteria yang sama yang lulus seleksi dan sertifikasi.

 

  1. DEFINISI OPERASIONAL GOTONG-ROYONG: Pengembangan DNA

 

Pemerintah Orde Baru mengembangkan pemikiran tentang Pancasila dan mensosialisasikannya melalui BP7 menurut versi sejarah dan caranya sendiri. Dalam rangka mendeligitimasi presiden Sukarno sejarahwan Orde Baru menafikan tentang Pidato 1 Juni 1945 sebagai lahirnya Pancasila. Pidato yang dibangun secara intens-eksistensial dalam situasi penjajahan dan menjadi ego transcendental hasil proses intersubyective antara founding fathers melalui “lidah” Ir. Sukarno. Pidato yang secara aklamasi diterima dan disetujui oleh 68 para founding fathers anggota BPUPKI di mana dasar Negara Indonesia mempunyai 3 tiga karakter yaitu Pancasila, Trisila dan Ekasila atau Gotong-royong. Konsep gotong-royong yang didefinisikan dalam Pidato disebutkan sebagai produk budaya “tulen” Indonesia hingga perlu menemukan definisi operasional yang compatible dengan apa yang dimaksud oleh Pidato 1 uni 1945.

Konsep Gotong-royong kiranya masih merupakan genus dari berbagai “spesies” perilaku-perilaku kepemimpinan dan kebersamaan yang pernah dibangun oleh nenek moyang bangsa Indonesia. Ibarat cerita tentang usaha menghidupkan kembali binatang purba dalam film Jurasic Park, dinosaurus adalah genus dari spesies Tirex, Tiranosaurus, Brontosaurus dan lain-lain spesies yang berbeda wujud dan perilakunya. Dalam poject  Jurasic Park berbagai spesies dihidupkan kembali dari DNA yang terdapat dalam fosil darah nyamuk yang menggigit masing-masing spesies sehingga ada DNA dinosaurus predator buas pemakan daging dan DNA pemakan tumbuh-tumbuhan menjadi penghuni pulau terpencil tersebut.

Konsep gotong-royong di bawah naungan filsafat Pancasila yang sifatnya pembelaan terhadap yang tertindas, yang didefinikan dalam Pidato 1 Juni 1945 adalah kata dari bahasa Nusantara “tulen” masih merupakan genus bangunan masyarakat jaman dahulu dengan bermacam-macam spesies. Oleh sebab itu harus ditemukan DNA spesies terbaiknya dari khasanah antropologi dan sejarah bangsa yaitu berkarakter kepemimpinan dan kebersamaan yang mampu mengakomodasi spesies-spesies gotong-royong di masyarakat majemuk Indonesia sehingga dapat membentuk mental positif dan mewujudkan kadilan sosial. DNA gotong-royong yang dapat dikembangkan menjadi pola bangunan masyarakat yang dicita-citakan oleh founding fathers di jaman kemerdekaan menjadi bangsa hebat (tidak menjadi masyarakat yang saling memangsa seperti di Jurasic Park).

Dalam kehidupan masyarakat Indonesia lama ditemukan 2 jenis “fosil” DNA “tulen” budaya kepemimpinan dan kebersamaan yang baik dan satu jenis DNA dari luar Indonesia namun menjadi relevan dengan keberadaan bangsa Indonesia modern. Ketiga DNA satu sama lain dapat disintesiskan menjadi karakter dan jatidiri bangsa Indonesia sehingga mampu mengantar bangsa dan negara Indonesia sukses dan hebat di era globalisasi.

DNA tulen pertama, adalah DNA dalam kepemimpinan yang ada pada khasanah sejarah dan budaya bangsa yang telah digali dan diajarkan oleh Ki Hajar Dewantoro yaitu ajaran tiga pilar kepemimpinan bangsa Indonesia Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso dan tut wuri handayani. Jiwa kepemimpinan tersebut sudah ada pada nenek moyang dan pendahulu bangsa dari jaman prasejarah, jaman Sriwijaya, Mojopahit, Mataram sesuai dengan jamannya dan oleh para founding fathers bangsa Indonesia ketika berjuang dalam mencapai kemerdekaan serta setelah merdeka mampu menggalang Konfernsi Asia Afrika dan gerakan Non Blok.

DNA tulen kedua, adalah DNA dalam kebersamaan gotong-royong dari data antropologi dan sejarah bangsa Indonesia pada masa sebelum kedatangan agama-agama di Nusantara. Ternyata nenek moyang kita telah mengembangkan sistem dalam memecahkan masalah krisis ekonomi dan kesenjangan/keadilan sosial dengan nilai-nilai dan norma-norma religius yang berlaku ketika itu. Dalam suasana kehidupan agraris tercipta beberapa konsep yaitu pertama, konsep paceklik sebagai padanan krisis ekonomi, konsep jimpitan sebagai padanan konsep riligius sodakoh (Islam), persepuluhan (Nasrani) danepunye (Hindu-Budha) dan angpao (Konghucu). Kemudian konsep lumbung deso padanan swadaya desa dan konsep rembug deso padanan musyawarah desa dalam rangkan memecahkan masalah yang timbulkan oleh paceklik. Dengan karunia Sing Murbeng Dumadi (Tuhan)  tanah air yang gemah-ripah, loh jinawi (tanah air yang subur dan alam yang kaya) prahara yang terjadi akibat paceklik melalui gotong-royong masyarakat kembali menjadi toto, tentrem, karto raharjo (tertata, aman tenteram dan berkeadilan sosial).

DNA dari luar, adalah DNA kepemimpinan dan kebesamaan masyarakat multi suku dan agama di kota Madinah yang sangat relevan dengan kehidupan multi kultural masyarakat Indonesia dengan penduduk mayoritas beragama Islam. Kpemimpinan Nabi Muhamad SAW sebagai pemimpin mayoritas masyarakat Madinah didukung kepemimpinan agama-agama lain yang ada di Medinah ketika itu telah membangun masyarakat yang rukun bersatu menghadapi ancaman bersama dari kaum kafir penyembah berhala dengan Piagam Madinah sebagai Philosophische Gronslag dan Weltanschauung sehingga masyarakat Madinah menjadi toto, tentrem, karto raharjo – yang terkenal dengan istilah Masyarakat Madani.

 

  1. PROGRAM AKSI: Revolusi Mental menuju Masyarakat Madani

Seperti diketahui setelah PD II dari kegiatan PBB yang terbentuk untuk bantuan pembangunan di negara-negara berkembang proses pembiayaan dan pelaksanaannya selalu terkait dengan Bank Dunia dan IMF serta WTO. Karena dana yang dipakai adalah “bantuan” dari negara-negara maju yang berideologi kapitalis liberal dan dalam implementasinya tentunya bukan tanpa tujuan dan persyaratan yaitu memakai preskripsi-preskripsi yang sesuai dengan kepentingan negara-negara maju. Bantuan negara-negara barat untuk Indonesia sejak Orde Baru memerlukan stabilitas politik dan pendekatan kebijakan topdown dan metode sosialisasi bersifat indoktrinasi dan mobilisasi itulah fungsi BP7.  Selain bantuan untuk industrialisasi juga mempunyai program pembangunan masyarakat desa dan masyarakat terpencil antara lain  melalui Inpres Desa Tertinggal (IDT). IDT mempersiapkan  fasilitator-fasilitator pelatih/penatar malalui TOT (training of trainer) untuk menguasai prinsip-prisip liberalisme dan kapitalisme dengan model Community Development (CD) dan Community Empowerment (CE) agar masyarakat desa lebih cepat menjadi individualis, konsumeris barang-barang industri dan hedonis meninggalan nilai-nilai budaya sendiri menyusul masyarakat kota yang sudah terlebih menjadi marjinal terhadap nilai-nilai budayanya sendiri.

Melalui model CD dan CE inilah dalam pelaksanaan IDT dan kemudian Program Pembangunan Kecamatan (PPK)[34] serta proses pemberdayaan masyarakat miskin akibat krisis ekonomi ternyata secara tidak langsung terjadi proses penetrasi sistematis penanaman nilai-nilai liberalism, kapitalisme dan individualisme ke dalam jiwa masyarakat desa untuk kepentingan (keuntungan) negara-negara donor. Model CD dan CE kiranya dapat diadopsi untuk pendidikan dan pembangunan karakter dalam rangka Revolusi Mental bangsa Indonesia. Karakter yang berkearifan lokal, mempunyai identitas dan orientasi ke masa depan, mandiri, dengan kepemimpinan dan kebersamaan Gotong-royong dengan mental positif  dalam menghadapi globalisasi dalam jiwa bangsa Indonesia sekaligus merawatnya.[35]

Untuk mensosialisasikan nilai-nilai Pancasila berdasarkan sejarah yang benar dalam rangka membangun dan memberdayakan masyarakat menjadi masyakat madani di Indonesia perlu keberadaan Komisi sebagai lembaga pengganti BP7. Komisi melalui fasilitator-fasilitator pendamping (bukan penatar) memfasilitasi dan mendampingi masyarakat Indonesia di desa-desa memahami (menghayati) dan menjadikan perilaku sehari-hari (mengamalkan) karakter bangsa berdasarkan nilai-nilai Pancasila baik di bidang politik, ekonomi maupun kebudayaan. Pendampingan dalam rangka terwujudnya bangunan masyarakat “sama dapat – sama rasa” sebagai identitas dan jatidiri bangsa Indonesia yang bermental positif. Dengan mencabut sampai akar-akarnya pengaruh nilai-nilai asing dan membangun kehidupan kolektif ala Indonesia sebagai proses Revolusi Mental dari bermental negatif menjadi bermental positif melalui pendekatan kebijakan sebaliknya yaitu bottom up dan metode sosialisasi pendidikan partisipatif (participative education) dengan mempersiapkan  fasilitator-fasilitator pendamping malalui TOF (training of fasilitator) yang menguasai prinsip-prisip Gotong-royong dengan model CD serta CE membentuk ”keikaan” di tengah ”kebhinekaan” yang betul-betul aktual.

Pendampingan yang mampu membawa bangsa Indonesia keluar dari jaman edan[36] jaman kolobendu dan menyongsong jaman kejayaan jaman Kolomukti datangnya Ratu Adil. Menurut HOS Tjokroaminoto Ratu Adil dapat merupakan “Sistem pemerintahan yang dijalankan yang mampu mengejawantahkan jiwa dan kemajuan politik dan ekonomi yang diangankan setiap orang” sebagai Heru Cakra.[37]

Tanah Ambon memang nun jauh di belahan timur Indonesia yaitu ibukota Propinsi Maluku propinsi maritim dengan hasil lautnya dengan semboyan kebersamaan Katong Samua Orang Basudara dengan konsep Pela Gandongnya dan Kota Surabaya dengan fasilitas pelabuhan yang sangat akrab dengan pembangunan bagian timur Indonesia, adalah ibukota Proponsi Jawa Timur propinsi industri dan perdagangan dengan semangat Gotong-royongnya. Mungkinkah tembang nyong Ambon yang juga arek Surobyo tersebut dapat terwujud?. Tergantung pada daya ingatan (eling) kita pada sejarah dan kewaspadaan (waspodo) kita terhadap nilai-nilai asing yang telah merasuki jiwa bangsa Indonesia.

Seperti syair lagu “Pancasila Rumah Bangsa Indonesia” sosialisasi nilai-nilai Pancasila berarti juga usaha membangun atau mewujutkan masyarakat sama dapat sama rasa sebagai “sistem pemerintahan yang dijalankan mampu mengejawantahkan jiwa dan kemajuan politik dan ekonomi yang diangankan setiap orang” dengan memuji namaNya, mencintai sesama, menumbuhkan rasa bersatu sebagai satu bangsa, saling bersambung rasa dan saling membagi rejeki. Membangun karakter masyarakat saling percaya (trust) dan rasa empati atau tepa selira demi terbangunnya kerukunan dan dialog sosial di masyarakat untuk saling tolong menolong dan bekerja sama[38] mewujudkan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

  1. 1. Revolusi Mental di Masyarakat dan di Kampus

I.1. 1. Revolusi Mental di Masyarakat

Sebagai bagian dari revolusi mental dan merupakan gerakan nasional dalam rangka membumikan nilai-nilai Pancasila agar menjadi perilaku dan kepribadian atau karakter kepemiompinan dan kebersamaan bangsa Indonesia yang mencintai sesama dan negaranya maka pembangunan karakter bangsa Indonesia sebaiknya dilaksanakaan dengan tiga pendekatan.

Pertama, sesuai dengan pemikiran Presiden, proses pembangunan karakter harus melalui sistem pendidikan di mana konsep ajaran tiga pilar kepemimpinan bangsa Indonesia ditanamkan oleh Ki Hajar Dewantoro yaitu Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso dan tut wuri handayan. Dalam hal ini diusulkan menggunakan pendekatan CD dan CE  dengan muatan kearifan dan budaya lokal yang berwawasan nasional  “dimulai dengan lingkungan keluarga dan lingkungan tempat tinggal serta lingkungan kerja dan kemudian meluas menjadi lingkungan kota dan lingkungan Negara”.

Kedua, untuk memecahkan masalah kesenjangan dengan menciptakan kebersamaan Gotong-royong maka sangat ideal apabila mengiplementasikan konsep-konsep paceklik, jimpitan,  lumbung deso, rembug deso. Suatu ketika nenek moyang bangsa Indonesia yang dikaruniai Tuhan tanah air yang subur, makmur, gemah ripah, lohjinawi menghadapi masa paceklik sebagai padanan krisis ekonomi. Masyarakat banyak yang jatuh miskin sehingga menghadapi kesulitan hidup dan banyak yang mengambil jalan pintas melanggar hukum mengganggu hak milik orang kaya untuk dapat hidup sehingga masyarakat menjadi tidak toto, tentrem, karto raharjo. Setelah dibicarakan bersama, karena berkenaan masalah kemanusiaan masyarakat miskin (tidak diberi Tuhan rejeki banyak) dan keberadaan masyarakat kaya (diberi Tuhan rejeki banyak), melalui rembug deso terjadi kesepakatan. Apabila panen berhasil masyarakat melakukan jimpitan atas rejekinya dalam rangka membangun lumbung deso untuk persediaan makanan dan logistik lainnya apabila terjadi paceklik agar masyarakat miskin tidak mengganggu yang kaya. Sebagai masyarakat yang percaya kepada Tuhan masyarakat kaya mau menyisihkan rezekinya demi kemanusiaan untuk yang miskin sehingga terjadi perdamaian dan persatuan antara yang kaya dan yang miskin. Karena suasana damai terbangun maka mudah terjadi dialog sosial (rembug)  atau Misyawarah. Dengan proses tersebut akan menjadi mudah terwujudnya keadilan sosial dan pada gilirannya masyarakat menjadi bersatu-padu dan produktif menyongsong panen berikutnya.

Sebagai proses implementasi nilai-nilai Pancasila di jaman di mana masyarakat menganut agama-agama yang berbeda, dengan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa proses jimpitan untuk mengadakan lumbung deso merupakan perintah setiap agama agar yang kaya (penganut agama apapun) berbagi rezeki dengan yang miskin  yaitu sodakoh (Islam), persepuluhan (kristen, Katolik), dane punye (Hindu, Budha) dan angpao (Konghucu) agar yang miskin (penganut agama apapun) punya harapan hidup sebagai dasar pelaksanaan sila kedua Kemanusiaan yang adil dan beradab. Dengan terbangunnya lumbung desa di mana masyarakat miskin dapat dipenuhi keperluan dasarnya (basic need) terutama sandang, pangan dan papan maka dapat menjadi alat pemersatu antara masyarakat dan desa yang miskin dengan yang kaya di seluruh Indonesia dan menjadi dasar semangat sila ketiga Persatuan Indonesia karena tidak ada gap yang tajam terutama di bidang ekonomi dan sosial antar wilayah. Dengan nilai-nilai ketiga sila tersebut proses rembug deso (dialog sosial) sebagai dasar rembug nasional sebagai semangat sila keempat Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan, sehingga akan menjadi mudah terwujudnya Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Ketiga, sebagai proses pembangunan yang merupakan kewajiban Negara untuk menfasilitasi pelaksanaan pembangunan dan pendidikan karakter, karena demikian komplek permasalahannya dan menyangkut lintas bidang demi efektivitas dan efisiensi dan oleh sebab itu memerlukan koordinasi, integrasi dan sinkronisasi (KIS) maka dalam pendidikan karakter negara perlu membentuk suatu komisi. Hal tersebut sesuai dengan amanat UU No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang 2005-2025 terutama dalam rangka mengefektifkan kebijakan 20% anggaran untuk pendidikan dan dana 1 milyard rupiah untuk desa serta program pengentasan kemiskinan. Komisi independen (seperti KPK, KPU, KY dan lain-lain) diusulkan bernama “Komisi Pendampingan Penghayatan Pengamalan Pancasila (KP4)” dengan komisioner-komisioner masyarakat yang memahami benar Pancasila dan program pembangunan karakter  bangsa yang dipilih melalui proses fit and propper test. Komisioner harus mempunyai “track record” kehidupan yang excelence with morlity yang mampu menjadi fasilitator-fasilitator di desa-desa dengan keteladanannya mendampingi masyarakat desa menjadi dirinya sendiri sebagai masyarakat desa dengan kekhasan adat istiadat masing-masing (local wisdom) sekaligus menjadi warga negara modern Indonesia yang sekarang sedang “terpontal-pontal” menghadapi globalisasi. Komisi menerbitkan sertifikat untuk masyarakat yang dinilai mampu menjadi bagian dari pembangunan kegotong-royongan berdasarkan Pancasila.

  1. 1. 2. Revolusi Mental di kampus

Di dunia pendidikan dalam hal ini PT, untuk mengantarkan mahasiswa menjadi manusia yang jujur, cerdas, tangguh, dan peduli[39]  implementasi pembangunan jiwa dan masyarakat Gotong-royong di antara mahasiswa dapat diintegrasikan ke dalam metode Student Centered Learning (SCL). Metode SCL dalam proses belajar mengajar di mana peserta didik lebih aktif dengan model CD dan CE. Dalam mempelajari setiap mata ajar metode SCL mengutamakan diskusi baik kelas maupun kelompok disertai tugas individual dan kelompok.  Dengan metode SCL peserta didik mendapat kebebasan untuk bersama-sama belajar, berdiskusi dan memiliki keleluasaan untuk: 1. mengembangkan segenap potensinya (cipta, karsa dan rasa), 2. untuk mengeksplorasi bidang yang diminatinya, dan 3. membangun pengetahuan serta mencapai kompetensinya secara aktif, mandiri dan bertanggung jawab melalui proses pembelajaran yang bersifat kolaboratif, kooperatif dan kontekstual serta difasilitasi oleh dosen yang menerapkan “Patrap Tri Loka” secara utuh (asah, asih, asuh). Dengan demikian metode SCL juga dapat menjadi sarana pengembangan jiwa demokratis[40] sedangkan dosen merupakan fasilitator yang menyiapkan bahan kuliah, memberi bimbingan dan evaluasi.

Pendidikan karakter di PT dimasukkan ke dalam kurikulum Mata Kuliah Wajib Umum (MKWU) dengan 4 Matakuliah Pendidikan Kepribadian (MPK) di mana dalam SK Dirjen Dikti 43/2006 masing-masing dihargai 3 sks (pasal 6) yaitu MPK Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan dan Bahasa Indonesia kemudian ditambah Pendidikan Pancasila (UU 12/2012), yang harus diselenggarakan pada semester awal. Metode SCL, terutama bagi peserta didik baru (mahasiswa baru) yang satu sama lain belum saling mengenal, merupakan arena untuk mengawali mengembangkan kepribadian dalam kepemimpinan dan kebersamaan di kampus. Melalui 4 mata kuliah MPK di mana kesopanan dan kesantunan berdasarkan nilai-nilai agama dan kearifan/budaya dan adat istiadat lokal dapat dibangun calon intelektual Indonesia baik dalam  berperilaku sebagai umat beragama, warganegara maupun dalam bertutur sapa dan data di bawah bimbingan dosen atau fasilitator. Dengan demikian dengan metode SCL pelaksanaan kurikulum MKWU merupakan proses pembangunan jiwa gotong-royong-kekeluargaan mahasiswa dalam memahami Pancasila (MPK Pendidikan Pancasila) dalam kehidupan beragama (MPK Pendidikan Agama), sebagai warganegara yang memahami negaranya (MPK Pendidikan Kewarganegaraan) dengan berbahasa Indonesia yang baik dan benar membangun masyarakat dengan melaksanakan nilai-nilai Pacasila (Praktikum Pembangunan/Pendidikan Karakter) di kampus.

Karena mahasiswa belum berproduksi materi, dalam metode SCL bukan proses pemberian materi dari yang kaya kepada yang miskin dalam arti rezeki namun semangat memberi tenaga dan pikiran bekal yang diperoleh di masa SMU dan hasil belajar masing-masing dalam proses diskusi, bekerjasama dan membangun kebersamaan.

Dalam proses diskusi dan kegiatan berkelompok sebagai bagian dari masyarakat yang percaya kepada Tuhan sesuai dengan agamanya masing-masing (MPK Pendidikan Agama) adalah pelaksanaan sila Pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, peserta didik mempunyai semangat memberi apa yang mereka punya/ketahui berdasarkan ajaran agama masing-masing (sodakoh, persepuluhan, dane punye, angpao).

Karena sudah menyadari bahwa teman-teman(baru)nya walupun berbeda suku dan agama adalah sesama warga negara Indonesia (MPK Pendidikan Kewarganegaraan) dalam berpartisipasi baik dalam diskusi maupun dalam pergaulan sehari-hari di kampus dengan semangat memberi sesuai dengan semangat agama yang telah disebutkan menampilkan dengan tulus ikhlas dan jujur (memberi) wajah tersenyum dan ramah serta sopan-santun sesuai adat istiadat dan budaya serta bertutur sapa dengan kaidah bahasa yang baik dan benar dalam menyampaikan informasi kepada teman-teman dan dosen (MPK Bahasa Indonesia) sehingga diskusi dan hubungan antar mehasiswa pada umumnya selain merupakan proses saling memberi informasi juga menjadi arena pengembangan kepribadian sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa.

Dengan demikian metode SCL bukan saja dalam pertukaran informasi berorientasi hasil kognisi atas MPK namun juga merupakan praktek dalam membangun jiwa – mental kemandirian dan kepemimpinan di antara mahasiswa berdasarkan nilai-nilai Pancasila dalam karakter Gotong-royong sehingga menjadi social capital.

Dalam kriteria sila-sila Pancasila sikap saling memberi antar mahasiswa sebagai umat beragama (sodakoh, persepuluhan, dane punye, angpao) adalah implementasi dari sila Pertama Ketuhanan Yang Maha Esa dan dengan sikap dan perilaku tersebut berarti merupakan proses saling memanusiakan sebagai implementasi sila Kedua Kemanusiaan yang adil dan beradab. Dengan sikap dan perilaku saling memanusiakan maka masing-masing perserta didik juga cepat terintegrasi karena saling mengenal dan menerima satu sama lain sebagai syarat  terwujudnya sila Ketiga Persatuan Indonesia. Dengan dasar nilai-nilai agama dalam rangka saling memanusiakan (toleransi) dan semangat persatuan maka akan mudah terjadi dialog sosial/musyawarah sebagai dasar implementasi sila Keempat Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dan permusyawaratan dan perwakilan. Dari keempat proses tersebut akhirnya terjadi rasa keadilan sosial intern dan antar  kelompok sesuai dengan sila Kelima Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Sesuai dengan pemikiran Presiden, di mana proses pembangunan karakter di PT harus melalui sistem pendidikan dengan menggunakan model CD dan CE  dengan muatan kearifan dan budaya akademik masing-masing departemen yang berwawasan nasional  “dimulai dengan pendidikan karakter di MKWU (tahun pertama). Kemudian dilanjutkan di departemen di mana mahasiswa belajar ilmu  pengetahuan modern  sesuai dengan jurusan keahlian dan fakultas masing-masing terutama dalam membangun kepemimpinan dan kebersamaan hidup dalam keberbedaan ras, suku dan agama.  Dalam rangka penghayatan dan pengamalan apa yang sudah dididikkan di MKWU tersebut dosen pembimbing akademik (sertifikat AA dan Pekerti) juga merangkap dosen pendamping/fasilitator pendidikan karakter (perlu sertifikat pendidikan karakter).[41]

Sebagaimana proses pembangunan dan pendidikan karakter di masyarakat, lembaga PT membentuk suatu komisi dalam rangka memfasilitasi pelaksanaan pembangunan dan pendidikan karakter nasional di kampus (kampus dapat menjadi komunitas gotong-royong mandiri dengan prodi sebagai desa, departemen sebagai kabupaten, fakultas sebagai propinsi dan universitas sebagai negara). Komisioner-komisioner yang terdiri dari dosen-dosen tentunya harus memahami benar Pancasila dan program pembangunan karakter  bangsa (sertifikat). Menjadi fasilitator-fasilitator di departemen-departemen (mendapatkan honor) mendampingi masyarakat kampus terutama mahasiswa menjadi dirinya sendiri sebagai mahasiswa Indonesia dari departemen masing-masing, menjadi warga kampus  sekaligus diproyeksikan menjadi warga negara modern Indonesia yang berkarakter gotong-royong Pancasila dalam menghadapi globalisasi dan MEA. Semoga bermanfaat bagi usaha pembangunan karakter bangsa Indonesia.

 

  1. METODOLOGI: Pendidikan Pancasila Partisipatif (P3)[42]

Seperti telah disebutkan bahwa Pakde Karwo untuk mewujudkan keadilan bagi rakyat kecil diperlukan regulasi yang demokratis dan partisipatoris, dan semangat gubernur Maluku  “Katong Samua Orang Basaudara yang ber-Bhinneka Tunggal Ika”, maka pendidikan Pancasila sebagai pemberdayaan diperlukan regulasi yang demokratis dan partisipatoris di daerah dan masyarakat yang termajinalisasi selama pemerintahan yang lalu yang sentralistik dan otoriter. Lebih operasional lagi adalah kegiatan melakukan fasilitasi atau pendampingan dan pemberdayaan terhadap masyarakat grass root/akar rumput yang marjinal tentang ideologi Pancasila yang dinamakan Pendidikan Pancasila Partisipatif (P3).

Sebagai langkah awal dari pendidikan alternatif P3 harus terus dikembangkan sesuai dengan realitas dan praktek-praktek pendidikan partisipatif di lapangan menuju masyarakat Bhineka Tunggal Ika yang dikonsepsikan sebagai perilaku Gotong-royong. P3 dipahami sebagai wahana masyarakat grass root untuk proses transformasi dari dalam dan oleh masyrakat grass root sendiri ke arah kehidupan kebersamaan yang Pancasilais tahan terhadap AGHT.

P3 pada hakikatnya juga proses pendampingan terhadap masyarakat grass root yang dilakukan melalui proses usaha pembangunan yang memberdayakan. Proses pendidikan demikian dipahami dalam arti proses belajar bersama dengan menggunakan metode yang partisipatif dalam merumuskan hidup kebersamaan mereka. Dalam menyelenggarakan proses pendidikan itu, maka pendidikan tersebut harus dibangun berdasarkan nilai-nilai yang berakar dalam masyarakat  sendiri.

Berdasarkan berbagai pengalaman dalam melakukan pendampingan terhadap kaum marjinal, ternyata metode pendidikan yang partisipatif tersebut telah ada di dalam kehidupan komunitas asli kita sendiri, yaitu musyawarah. Musyawarah (dialogue of life) dan karya bersama (gotong-royong) adalah nilai-nilai manusiawi yang sudah ada dan berakar pada komunitas sendiri; terutama di pedesaan. Musyawarah itu sendiri merupakan akar dan tradisi dari kehidupan demokrasi di masyarakat.

Ditinjau dari kebutuhan kaum marjinal, maka pendidikan dengan metode musyawarah sebenarnya adalah sebuah model pendidikan alternatif. Dari segi metodenya adalah sebuah model pendidikan partisipatif. Musyawarah, dialog rakyat atau dialog kehidupan (dialogue of life) merupakan ruh atau nyawa dari seluruh proses belajar bersama.

Ditinjau dari tujuan musyawarah dalam P3 adalah proses penyadaran bersama. Bila dilihat dari kondisi masyrakat grass root sebagai kaum marjinal yang serba kekurangan pengetahuan tentang ideologi nasional Pancasila dan terbatas serta posisinya yang terbelenggu oleh ajaran-ajaran lama dan bahkan ajaran-ajaran asing dari luar negeri baik langsung maupun melalui para protagonisnya di dalam negeri yang bertentangan dengan asas kehidupan bersama sebagai bangsa dan semangat Proklamasi Kemerdekaan 1945, maka proses musyawarah dalam P3 sebenarnya merupakan pendidikan yang membebaskan. Dengan demikian musyawarah dalam P3 pada hakekatnya adalah pendidikan demokrasi, pendidikan pembangunan transformatif, pendidikan politik rakyat, dan pendidikan yang membebaskan dari pengaruh nilai-nilai asing.

Misi utama P3 adalah penguatan komunitas (kaum marjina), yang meliputi penguatan kesadaran transformatif, penguatan organisasi, penguatan jaringan kerjasama, penguatan ekonomi dan penguatan advokasi. Misi tersebut satu sama lainnya merupakan kesatuan yang saling berkaitan.

P3 akan disempurnakan dari waktu ke waktu melalui pengkayaan dengan pengalaman praktek, masukan dari fasilitaor dan masyarakat dan bahan-bahan pembanding dari pengalaman lembaga-lembaga lain melalui bahan-bahan bacaan.

K.1. Pengertian  P3 sebagai Model Pendidikan Menjadi Manusia Indonesia

Apabila Pancasila sebagai ideologi berbangsa dan bernegara Indonesia diyakini oleh para founding fathers merupakan ideologi besar dunia dapat menjadi pedoman hidup manusia di seluruh dunia, maka P3 dapat diselenggarakan tidak hanya pada manusia Indonesia. Namun karena Pancasila digali di bumi Indonesia maka pemahaman dasar tentang hakekat menusia Indonesia menjadi penting dalam memahami hakekat P3 sebelum menjadi bagian dari bangsa-bangsa lain di mana bangsa Indonesia harus menjadi teladan.[43]

Manusia Indonesia dan manusia-manusia yang tergabung dalam ikatan kebangsaan di negara-negara lain di seluruh dunia pada hakekatnya adalah hasil karya yang paling sempurna dari Sang Pencipta. Karena kesempurnaannya itu, manusia dipercaya dan diberi tugas menjadi pengelola alam semesta atau sebagai subyek pembaharuan. Realitas yang sama, dalam hal ini hubungan sebagai sesama anggota suatu bangsa dan hubungannya dengan bangsa lain, mempertemukan manusia untuk melakukan musyawarah.

Musyawarah tentang kesadaran bersama manusia akan realitas merupakan inti terjadinya pembaharuan. Dan manusia selain sebagai anggota kelompok atau makhluk sosial adalah juga makhluk yang ditugasi sang pencipta untuk melestarikan alam semesta ini demi kelestarian kehidupan manusia itu sendiri. Dengan demikian manusia Indonesia adalah makhluk yang mempunyai jatidiri sebagai pribadi dan sebagai anggota suatu bangsa (identitas) dalam pergaulan antar bangsa di planit bumi.

Jadi P3 merupakan proses penyadaran manusia Indonesia sebagai anggota komunitas dari yang paling mikro yaitu keluarga, suku, pemeluk suatu agama hingga sebagai bagian dari makro kosmos yaitu sebagai anggota suatu bangsa dan makhluk di planet bumi dari alam semesta.

  1. 2. Pemahaman Dasar tentang Musyawarah dalam P3

Hakekat dasar dari musyawarah adalah: media pengambilan keputusan; sebuah metodologi dan alat; perwujudan kedaulatan dan potensi masyarakat; salah satu dasar negara; peserta musyawarah setara; materi musyawarah ditentukan bersama; dan realitas sebagai obyek musyawarah.

Pendidikan pada hakekatnya adalah proses yang tidak dibatasi oleh ruang, waktu dan umur; alam semesta dan pengalaman merupakan guru; sumber belajar dicari dan disepakti bersama; peserta pendidikan dari golongan yang homogen; dan materi pendidikan berdasarkan kebutuhan.

  1. 3. Hakekat Dasar P3

Hakekat dasar dari P3 adalah:

  • Meletakkan manusia sebagai subyek pendidikan Pancasila.
  • Meletakkan realitas sebagai obyek pendidikan Pancasila.
  • Tidak tergantung pada waktu dan tempat.
  • Berpihak pada kaum marjinal.
  • Mempermasalahkan masalah atau hadap masalah (Problem Possing).
  • Materi dan obyek pendidikan berdasarkan kebutuahan dan realitas.
  • Apa yang ada di alam sekitar merupakan sumber belajar.
  1. 4. Visi, Misi dan Prinsip-prinsip P3

Visi atau wawasan dari P3 adalah terwujudnya kehidupan komunitas yang Pancasilais.

Misi dari P3 adalah mewujudkan kehidupan komunitas yang Pancasilais dengan fokus membangun kegotong-royongan masyarakat Indonesia.

K.5. Prinsip-Prinsip Dasar P3.

  • Semua kegiatan harus bertitik tolak dari realitas komunitas yang ada.
  • Pendidikan harus berhasil membebaskan komunitas dari situasi keterbatasan, ketertutupan, dogmatisme dan menciptakan saling terbuka untuk dialog.
  • Semua proses harus bersifat dialogis (hubungan antara subyek-subyek yang setara dan saling terbuka untuk dia-log).
  • Kegiatan pendidikan tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, karena proses pendidikan berjalan sepanjang umur/seumur hidup. Kegiatan pendidikan pada dasarnya bisa dilakukan dimana saja (tidak harus didalam kelas atau didalam ruangan).
  • Dalam pendidikan ini tidak ada guru dan tidak ada murid.
  • Pelaksanaan Pendampingan di dunia pendidikan dan masyarakat.

 

  1. KESIMPULAN DAN SARAN

Bangsa Indonesia akan menghadapi kesulitan dalam MEA apabila Revolusi Mental tidak berhasil. Proposal ini menawarkan cara pandang fenomenologi tentang manusia dan alam yang selama ini didominasi oleh modernisme di mana dalam proses modernisasi, paham liberalisme dan kapitalisme menggeneralisir westernisasi dalam gelombang globalisasi. Fenomenologi percaya bahwa setiap bangsa mempunyai Weltanschauung masing-masing sebagai kepribadian/karakter. Pancasila adalah Weltanschauung bangsa Indonesia namun karena Pancasila sejak 1945 baru merupakan konsep dan baru UUD 1945 (konstitusi) yang dapat disusun, dengan serbuan paham-paham predator Pancasila yang sudah demikian canggih maka upaya mewujudkan masyarakat Pancasila – Gotong-royong (konnvensi) dapat dikatakan masih merupakan bagian dari perjuangan nasional.

Perjuangan yang harus dilakukan segenap bangsa Indonesia yang didukung oleh para wakil rakyat di MPR khususnya DPD dan Eksekutif dan dunia pendidikan terutama PT menjadi leading sector. Mewujudkan masyarakat Gotong-royong kekeluargaan berpilarkan UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika berfondasi nilai-nilai Pancasila. Untuk itu perlu lembaga yang berfungsi mensosialisasikan, katalisator sekaligus filter terhadap nilai-nilai asing. Kita perlu membangun kesepakatan bagaimana Weltanschauung Pancasila menjadi relited dilaksanakan. Disarankan perlu diadakan lokakarya, focus group discussion atau action planning lainnya lintas sektoral tentang proposal kami ini agar bangsa  bangsa Indonesia segera sadarkan diri dan bermental positif untuk mnenjadi gainer.

     D A F T A R   P U S T A K A

Achadi, M., (2013) Bung Karno Difitnah, Penerbit Palapa, Ygyakarta.

Aminah, Siti, Social Capital dan Pemberadaban Negara, dalam Masyarakat Kebudayaan dan Politik, FISIP Universitas Airlangga,Tahun XV, Nomor , Oktober 2002.

Anita Damayanti, Nyoman, Dr., Drg., MS., Membangun Kekuatan Modal Sosial (Social Capital) Universitas Airlangga Menuju World Class University, Pidato Ilmiah pada Sidang Dies Natalis ke 56 Universitas Airlangga 10 Nopember 2010.

Budiardjo, Miriam, Masalah Kenegaraan. PT.  Gramedia, Jakarta, 1976.

Budiardjo, Miriam, Pudjiastuti, Tri Nuke, Teori-Teori Politik Dewasa Ini, Rajawali Perss, Jakarta, 1996.

Buku Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa Tahun 2010-2025, Pemerintah RI, 2013.

Buku Naskah Akademik Pendidikan Karakter di Pendidikan Tinggi dari Dirjen Dikti Kemendikbud, 2013.

Candine, David (2013) The Undivided Past: Humanity Beyond Our Differences, Afred A. Knopf, New York.

Departemen Penerangan RI, Naskah Lahirnya Pancasila, 1945.

Direktorat Pembelajaran Dan Kemahasiswaan Dirjen Dikti, Depdikbud RI, 2013, Materi Ajar Mata Kuliah Pendidikan Pancasila.

Dye, Thomas R, Understanding Public Policy. Prentice  hall Inc., New York, 1981.

Edwards III, George C, Implementing Public Policy.  Congressional Quarterly Press, Washington, 1980.

Fukuyama, Francis, (1999) Social Capital and Civil Society, The Institute of Public Policy, George Mason University.

Hashemi, Nader (2011) Islam, Sekularisme, dan Demokrasi Liberal: Menuju Teori Demokrasi dalam Masyarakat Muslim, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Huntington, Samuel P., 2000, Benturan Antarperadaban dan Masa Depan Politik Dunia, terjemahan, Qalam, Yogya-karta.

Kaelan (2010) Pendidikan Pancasila, Paradigma, Yogyakarta, Edisi Reformasi.

Kleden, Ignas “Menerapkan Revolusi Mental”, Kompas, 25 September 2014.

Latif, Yudi, Merawat Bayangan Kekitaan, Kolom| 30-03-2009  http://cetak. kompas.com/ read/ xml/ 2008/ 12/ 02/ 00164648/ merawat. bayangan. kekitaan.

Latif, Yudi (2011) Negara Paripurna: Historisitas, Nasionalitas dan Aktualitas Pancasila, Gramedia Pustaka Utama (GPU), Jakarta.

Latif, Yudi (2014) Mata Air Keteladanan: Pancasila Dalam Perbuatan, Mizan, Jakarta.

Manheim, Jarol B.,Rich, Richard C., 1981, Empirical Political Ana-lysis: Research Methods in Political Science, Prentice-Hall, Inc., Rnglewood Cliffs, NJ,.

Pye, Lucian  W., 1966, Aspect of  Political  Development. Little, Brown and Company, Cambridge.

Prajna-Nugroho, Ito (2013) Fenomenologi Politik, Membongkar Politik Menyelami Manusia, Sanggar Pembasisan Pancasila, Purworejo.

Proceeding Simposium dan Saresehan Memperingati Hari Lahirnya Pancasila yang diselenggarakan Lemhannas, LIPI, UGM, tanggal 14-15 Agustus 2006: Pancasila Sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan dan Pembangunan Bangsa.

Putnam, Robert D, (2001) “Building Social Capital and Growing Civil Society, Paper on Winter Monday Night Lecture Series.

Rofiqi, A. Zaini (Ed.), 2005, Amerika dan Dunia, Yayasan Obor, Ja-karta.

Sinamo, Jansen, (2014), Revolusi Mental: Dalam Institusi, Birokrasi, dan Korporasi, Institut Darma Mahardika, Jakarta.

Sindhunata, “Krisis Kebudayaan Jawa”, Kompas, 10 Mei 1999.

Steger, Manfred B., 2005, Globalisasi: Bangkitnya Ideologi Pasar, La-fadl, Yogyakarta.

Stepan, Alfred, The State and Society in Comparative Perspec-tive, New Jersey : Princeton University Press, 1978.

Stokey, Edith and Zechauser, Richard, A Primer  for Policy Analy-sis. W.W. Norton dan Company Inc., New York, 1978.

Triharso, Ajar (2006) “Menyelamatkan Pancasila Dari  ‘Virus Ganas’ Neo Liberalisme”, di dalam Jurnal Karakter Bangsa, TPB Universitas Airlangga, Vol. 2.

Triharso, Ajar (2011) Keunikan Bangsa Jepang: Jatidiri Yang Act Locally And Think Globally Dalam Persaingan Internasional Dan Konsep Keiretsu”, CSGS Publisher, Surabaya.

Triharso, Ajar (2011), ‘Pendidikan Pancasila, Pembangunan Karakter Bangsa (Nation Building) dan Mewujudkan Masyarakat Gotong-royong? Kembali ke Qitoh 1 Juni 1945!’, dalam Jurnal LITERASI, Vol. 3,No. 3, November 2011.

Triharso, Ajar (2011) “Negara Pancasila = Negara Gotong Royong”, dalam Santoso, Listyono ed. Proceeding Kongres Pancasila III 31 Mei-1 Juni 2011, Airlangga University Press, 2012. (267-280)

Triharso, Ajar (2012) Pancasila: Antara Mitos Ratu Adil Dan Pendidikan Multi Kultural, Call Paper Kongres Pancasila IV 31 Mei-1 Juni 2012, Universitas Gajah Mada, 2012.

Triharso, Ajar (2012) Pendidikan Tinggi Dan Pembangunan Jatidiri Bangsa Di Era Globalisasi: Membangun Daya Saing Bangsa Melalui Revitalisasi Ideologi Nasional Mengembangkan Sosial Kapital Dalam Paradigma Indonesia Baru Menghadapi Persaingan Internasional, CSGS Publisher, Surabaya. Dicetak ulang dan direvisi dengan dana dari proyek Dirjen Dikti 2015 dengan Judul: Pendidikan Tinggi dan Intelektualisme: Revitalisasi Ideologi dan Menumbuhkan Modal Sosial Bangsa Menghadapi Persaingan Internasional dan Globalisasi.

Triharso, Ajar, (2013) “Politik Luar Negeri Bebas Aktif  Berjatidiri Pancasila: Pendekatan Fenomenologi Politik dan Post-Modernisme”, Proceeding Seminar 65 tahun Politik Luar Negeri Indonesia 1948-2013  – 2 September 2013 Institute of International Studies – Pusat Studi Pancasila UGM.

Tri Puspaningsih, Ni Nyoman; Santoso, Listiono (eds.), (2012) Airlangga Caracter, Direktorat Pendidikan UA.

UGM, KAGAMA, LIPI, LEMHANAS (2006) Proceeding Simposium dan Saresehan, Peringatan Hari Lahirnya Pancasila, Pancasila sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan dan Pembangunan Bangsa, 14-15 Agustus.

Wignjosoebroto, Soetandyo, Prof., MPA dan kawan-kawan (at al.), (2008) Pemuda dan Nasionalisme: Modal Sosial Bagi Pembangunan Provinsi Jawa Timur,  Dinas Kepemudaan dan Keolahragaan Provinsi Jawa Timur.

Zainuddin, Muhammad, Prof. Dr. H., at al., (2009) Melejitkan Soft Skill Mahasiswa, Direktorat Pendidikan Universitas Airlangga.

YOUTUBE: BUNGKARNO REVOLUSI KITA TINGGAL SELANGKAH

 

Dalam pidato 1 Juni 1945: “tidak ada satu Weltanschauung dapat menjelma dengan sendirinya, menjadi realiteit dengan sendiri-nya. Tidak ada satu weltanschauung dapat menjadi kenyataan, menjadi realiteit, jika tidak dengan perjuangan!”

 

          [1]Kosep intentional, existential, intersubyective, ego transcendental dan Weltanschauung merupakan konsep-konsep fenomenologi Hussrel, Heiderger dan Scmitt baca Ito Prajna-Nugroho (2013) Fenomenologi Politik, Membongkar Politik Menyelami Manusia, Sanggar Pembasisan Pancasila, Purworejo. (Buku 1 terlampir). Baca naskah Pidato Lahirnya Pancasila  1 Juni 1945; Ahli sejarah David Candine mengatakan di masa pembangunan demokrasi (pasca Perang Dunia II) banyak penguasa memerintahkan atau memaksa sejarahwan menulis sejarah seperti yang mereka kehendaki. Sejarahwan begitu besar pengaruh teks mereka. Mereka seharusnya tidak membantu mengkonstruksi realitas menurut versi yang salah. David Candine (2013) The Undivided Past: Humanity Beyond Our Differences, Afred A. Knopf, New York (Resensi majalah Tempo 2013).

[2]Nader Hashemi, (2011), Islam, Sekularisme, dan Demokrasi Liberal: Menuju Teori Demokrasi dalam Masyarakat Muslim, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

 

[3]Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 Presiden Soekarno membentuk  suatu panitia yang dipimpin oleh D.N. Aidit (ketua umum PKI) untuk memberi tafsir Pancasila sebagai satu kesatuan paham dalam doktrin  “Manipol/USDEK”. Yaitu materi pokok dari pidato Soekarno tanggal 17 Agustus 1959 berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita” yang kemudian menjadi Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). GBHN tersebut dikukuhkan dalam Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 1 tahun 1960 dan Ketetapan MPRS No. 1/MPRS1960 tentang GBHN yang disetujui oleh DPA pada tanggal 30 September 1959 sebagai haluan negara. Dominasi PKI sangat jelas dan G 30 S 1965 adalah bagian dari rencana PKI. Baca Buku Modul Pendidikan Pancasila Direktorat Pembelajaran Dan Kemahasiswaan Dirjen Dikti, Depdikbud RI, 2013, Materi Ajar Mata Kuliah Pendidikan Pancasila, hal. 10-11.

                      [4] Baca Artikel Ajar Triharso,  “Bangsa Kita Kesurupan?”, materi kuliah Pancasila MKWU Universitas Airlangga (Artikel 1 terlampir).

   [5]Franz Magnis-Suseno,Merayakan 70 Tahun Pancasila, Kompas,  05 Juni 2015.

                [6]Lebih lengkapnya disebutkan juga pemikiran Mahatma Gandhi India: Konstitusi Ahimsa, Ekonomi Satya Graha, Masyarakat Swadhesi; Jepang: Konstitusi Tennoo Koodoo Seishin dasar yang diliberalkan MacArthur setelah PD II, Ekonomi Zaibatsu/Shogo-Shosa/Japan  Incorporated, Masyarakat Bushido;  Pemikiran Sun Yat Sen  China: Demokrasi (Min Chuan), Nasionalisme (Mintsu), Sosialisme (Min Sheng).

[7]Ito Prajna-Nugroho, op.cit., hal. 111-114.

[8]Istilah mental positif dan negatif dirujuk dari pemikiran Presiden RI ke 7 Bapak Joko  Widodo (Jokowi) dalam artikel “Revolusi Mental”  yang dimuat pertama kali di harian Kompas,  10 Mei 2014 dan wawancara dengan kantor berita Antara di Makasar pada tanggal yang sama. Artikel diterbitkan dalam bunga rampai Jansen Sinamo, Revolusi Mental: Dalam Institusi, Birokrasi, dan Korporasi, Institut Darma Mahardika, Jakarta, 2014. Tentang mental positif Pak Jokowi memberi contoh bangsa Jerman dan Jepang.

[9]Yudi Latif, “Keharusan Revolusi Mental”, dalam Jansen Sinamo,op.cit., hal. 19-31. Kemendikbud, 2013, Buku Naskah Akademik Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi.

[10]Tentang wetenscap pasca PD II dan pengarunya terhadap cara berfikir bangsa Indonesia diuraikan dalam buku Drs. Ajar Triharso, MS, Pendidikan Tinggi dan Intelektualisme: Revitalisasi Ideologi dan Menumbuhkan Modal Sosial Bangsa Menghadapi Persaingan Internasional dan Globalisasi, Madani, Malang, 2015. (Buku 2 terlampir).

[11]Prof. Dr. Udin S. Winataputra. MA., Strategi Pembangunan Karakter Bangsa: Konteks Pendidikan Tinggi Tim Pendidikan Karakter Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi 2010-2015, disampaikan pada Lokakarya Pendidikan Karakter Pancasila Kerjasama Antara Mahkamah Konstitusi Dan Universitas Brawijaya Di Malang, Sabtu 12 Desember 21015. Baca Buku Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa Tahun 2010-2025, Pemerintah RI, 2013.

[12]Yudi Latif, “Keharusan Revolusi Mental”, dalam Jansen Sinamo,op.cit., hal. 19-31. Kemendikbud, 2013, Buku Naskah Akademik Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi. Mahasiswa tingkat akhir setelah digembleng jiwa kepemimpinan dan kebersamaanya melalui kuliah dan praktikun kurikulum MPK di kampus, melalui Kuliah Kerja Nyata (KKN) dapat membantu pendampingan pembangunan karakter nasional masyarakat di mana mereka KKN.

[13] Kemendikbud, 2013, Buku Naskah Akademik Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi, hal. 53.

[14]Joko Widodo, “Revolusi Mental”, op. cit..

[15]Ito Prajna-Nugroho, op.cit.. hal. 122.

[16]Proceeding Simposium dan Saresehan Memperingati Hari Lahirnya Pancasila yang diselenggarakan Lemhannas, LIPI, UGM, tanggal 14-15 Agustus 2006: Pancasila Sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan dan Pembangunan Bangsa (p.xlii-xliii). Setelah saresehan diselenggarakan bebera Kongres Pancasila yaitu Kongres I Pancasila di UGM (2009), Kongres II Pancasila di Udayana (2010) Kongres III di Universitas Airlangga (2011), Kongres IV di UGM (2012), Kongres V yang sedianya diselenggarakan di Unsri Palembang namun karena suatu hal diselenggarakan di UGM (2013), Kongres VI di Unpatti Ambon (2014) dan Kongres Pancasila VII di UGM (2015).

                      [17] Joko Widodo, “Revolusi Mental”, op. cit..

[18]Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, “Revitalisasi Pendidikan Karakter Pancasila di Perguruan Tinggi Guna Menumbuhkan Nasionalisme dan Toleransi”, Disampaikan pada Lokakarya Pendidikan Karakter Pancasila Kerjasama antara Mahkamah Konstitusi dan Universitas Brawijaya di Malang, Sabtu 12 Desember 21015. Program Bela Negara kiranya harus diapresiasi dan didukung oleh semua pihak dan masing-masing perlu memberi pemikiran dalam implementasinya karena bela begara bukan monopili kewajiban TNI.

      [19]Penyakit arogansi sektoral dengan salah satu gejalanya adalah lemahnya koordinasi, integrasi dan sinkronisasi (KIS) antar lembaga menjadikan pembangunan karakter tidak efektif dan efisien. Contoh paling akhir adalah pemisahan Pendidikan Tinggi dari Depdikbud dan program belanegara dari Dephankam dan masing-masing departemen secara terpisah melaksanakan revolusi mental dengan pendekatan dan anggaran masing-masing sebagai proyek (uang).

[20]Tentang karakter baca Tri Puspaningsih, Ni Nyoman, Santoso, Listiono (eds.), (2012) Airlangga Caracter, Direktorat Pendidikan UA (Naskah Terlampir). Yudi Latif kemudian menuliskan tentang karakter gotong-royong secara akademik dalam buku Yudi Latif (2011) Negara Paripurna: Historisitas, Nasionalitas dan Aktualitas Pancasila, Gramedia Pustaka Utama (GPU), Jakarta. Dalam buku Naskah Akademik Pendidikan Karakter di Pendidikan Tinggi dari Dirjen Dikti Kemendikbud, juga dicontohkan karakter bangsa Amerika Serikat yang individualis dan karakter bangsa Jepang dengan Bushidonya (Dirjen Dikti, 2013).

[21]Diapload di Youtube.

                [22]Kongres Pancasila VI dalam Subtema “Penguatan, Sinkronisasi, Harmonisasi dan Integrasi Pelembagaan dan Pembudayaan Pancasila dalam bidang Kebudayaan (Filsafat, Pendidikan, Ipteks, dan Media)” 31 Mei – 1 Juni 2014 di Universitas Pattimura.  Baca Ajar Triharso, “Ratu Adil Akan Datang Dari Timur? (Gagasan untuk anggota legeslatif dan presiden RI terpilih pada Pemilu 2014)”, Makalah Call Paper pada Kongres Pancasila VI. (Artikel 2 terlampir).

[22]

 

[23]Surya, Selasa, 3 Juni 2014.

                   [24]Dalam hal ini PSP UNAIR pernah dua kali memberi masukan kepada MPR. Pertama kepada Team DPD-MPR yang meminta masukan tentang peranan DPD di MPR tahun 2010 bagian masukan PSP ditulis dalam buku Ajar Triharso, Dewan Perwakilan Daerah sebagai “senat” di MPR-RI, CSGS, Universitas Airlangga, 2011. (Buku 3 terlampir). Kedua, kepada tim Sekretariat MPR yang mencari masukan tentang implementasi Pancasila dan UUD 1945 dalam pembangunan demokrasi di Indonesia  melalui tokoh dan organisasi kemasyarakatan di Jawa Timur yang dikoordinir Bakesbangpol Jatim tahun 2015. Ajar Triharso, “Melanjutkan Pembangunan Bangsa dan Negara Berdasakan Nilai-Nilai Pancasila Dengan Melaksanaakaan Revolusi Mental, Pembangunan Karakter dan Merawat Jiwa Bangsa Dengan Pendekatan Pendidikan: Masukan untuk Presiden, DPR Komisi X, DPD dan MPR – RI”. (Artikel 3 terlampir).

[25]Drs. Ajar Triharso, MS, Pendidikan Tinggi dan Intelektualisme: op. cit. hal. 10-12.

[26]Nader Hashemi “Islam, Sekularisme, dan Demokrasi Liberal: Menuju Teori Demokrasi dalam Masyarakat Muslim”, terjemahan Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Januari 2011, hal. XIV-XV.

[27]Muhammad Zainuddin, Prof. Dr. H., at al., Melejitkan Soft Skill Mahasiswa, Direktorat Pendidikan Universitas Airlangga, 2009,  hal. 31-36.

[28]Dr. Nyoman Anita Damayanti, Drg., MS., Membangun Kekuatan Modal Sosial (Social Capital) Universitas Airlangga Menuju World Class University, Pidato Ilmiah pada Sidang Dies Natalis ke 56 Universitas Airlangga 10 Nopember 2010, hal. 10, 17.

[29]Tentang modal social atau social capital dapat dibaca buku bunga rampai yang diterbitkan oleh Dinas Kepemudaan dan Keolahragaan Provinsi Jawa Timur tahun 2008, dengan penulis Prof. Soetandyo Wignjosoebroto, MPA dan kawan-kawan (at al.), berjudul Pemuda dan Nasionalisme: Modal Sosial Bagi Pembangunan Provinsi Jawa Timur. Robert D., Putnam, “Building Social Capital and Growing Civil Society, Paper on Winter Monday Night Lecture Series, 2001; Francis, Fukuyama, Social Capital and Civil Society, The Institute of Public Policy, George Mason University. http://www.imf.org/ external/pubs/ ft/seminar/ 1999/reform/ fukuyama.htm.Tentang modal sosial di Jawa Timur baca Prof. Soetandyo Wignjosoebroto, MPA dan kawan-kawan (at al.), Pemuda dan Nasionalisme: Modal Sosial Bagi Pembangunan Provinsi Jawa Timur, Dinas Kepemudaan dan Keolahragaan Provinsi Jawa Timur tahun 2008.

[30]M. Achadi, Bung Karno Difitnah, Penerbit Palapa, Ygyakarta, 2013, Hal. 184.; Peter Kasenda, 2013, Soeharto: Bagaimana Ia bisa Melanggengkan Kekuasaan Selama 32 tahun, Penerbit Buku Kompas,hal. 96-97.

[31]Ajar Triharso, Dewan Perwakilan Daerah sebagai “senat” di MPR-RI, Ibid.,  hal. 25-53.

[32]Kompas, Jawa Pos,/3/6/2011

        [33]Nader Hashemi “Islam, Sekularisme, dan Demokrasi Liberal: Menuju Teori Demokrasi dalam Masyarakat Muslim”, terjemahan Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Januari 2011. hal. 39-42.

                [34]Penulis pernah menjadi coordinator Fasilitator Kecamatan (FK) untuk PPK seluruh Jawa Timur tahun 2000.

                [35]A. Setyo Wibowo, “Merawat Jiwa dalam Demokrasi: Fenomenologi dan Politik Jan Patoka”, dalam Ito-Pratnya Nogroho, op.cit., hal. 141-170.

[36]Edan atau gila dalam hal ini adalah kondisi kejiwaan bangsa Indonesia ibarat seseorang yang sebetulnya sehat jasmani rahani namun kemasukan roh asing sehingga perilakunya cenderung merusak diri maupun orang lain dan menghabiskan energi diluar batas kemampuan dirinya. Ajar Triharso, “Ratu Adil Akan Datang Dari Timur? op.cit.; Ajar Triharso, Pancasila: Antara Mitos Ratu Adil Dan Pendidikan Multi Kultural, Call Paper Kongres Pancasila IV 31 Mei-1 Juni 2012, Universitas Gajah Mada, 2012. (Artikel 4 terlampir)

[37]Heru artinya besar, Cakra adalah pusaka panah yang ujungnya bulat bergerigi, dalam pewayangan pusaka tersebut dimiliki oleh Batara Kresna. Kegunaannya menumpas kekuatan angkara murka/pasukan setan. Senjata ini melesat kelangit dan auranya akan melingkupi Nusantara seperti payung yang dikembangkan guna menangkal serangan yang merusak moral bangsa manusia, dengan tertangkalnya serangan tersebut yang diharapkan manusia akan kembali kepada fitrahnya (baik). Gerakan Moral Pembaharuan Nusantara. http://lsm-gmpn.blogspot.com/.

[38]Sindhunata, “Krisis Kebudayaan Jawa”, Kompas, 10 Mei 1999.

                [39]Kemendikbud, 2013, Buku Naskah Akademik Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi.

                [40]“Rejim demokrasi mengharuskan kita berani terlibat mengasosialikan diri dengan ide orang-orang yang kita setujui, mengharuskan kita berani membuka diri (transparan) untuk dikritik orang lain, mengharuskan berani menghadapi problem. Sikap demokratis tidak lain adalah kesiapan untuk selalu dibuat bingung, di depan kenyataan yang sedang diperdebatkan secara kontradiktif. “berdiskusi dengan orang lain selalu merupakan diskusi dengan jiwa sendiri, dan perawatan jiwa terjadi dalam proses diskusi tersebut.” Ito Prajna-Nugroho, Op. cit., hal. 169-170.

                [41]Kondisi dan situasi masyarakat sekarang adalah lupa akan nilai-nilai Pancasila dan menjadi pragmatis hanya mementingkan kepentingan individu atau kelompok oleh sebab itu apabila tidak ada pembimbingan lebih lanjut setelah mengikuti mataajar MPK mahasiswa akan kembali kesituasi “normal” yang pragmatis tersebut.

                      [42] Drs. Ajar Triharso, MS, (2015) Pendidikan Tinggi dan Intelektualisme: op. cit. hal. 101-149.

[43]Proses pendidikan pada P3 menempatkan keteladanan sebagai faktor terpenting untuk mencapai learning outcome yang maksimal. Terutama pada para fasilitator dan aparatur negara dan tokoh-tokoh masyarakat. Karena tujuan akhir P3 adalah menjadikan kepemimpinan dan kehidupan bersama (leadership dan togetherness) bangsa Indonesia menjadi teladan (sung tulodo) di seluruh dunia sebagai perwujudan apa yang cita-citakan para founding fathers bahwa Pancasila dapat menjadi ideologi dunia. Tentang keteladanan perilaku yang merujuk pada nilai-nilai Pancasila perlu dibaca Yudi Latif (2014) Mata Air Keteladanan: Pancasila Dalam Perbuatan, Mizan, Jakarta.

 

GOTONG ROYONG ITU INDAH

Juni 22, 2012

Airlangga Amerta Inc.

Juni 12, 2012

Kami Melayani pelanggan untuk berhemat, mendapat keperluan yang tepat dan diantar sampai di tempat.Kami adalah usaha bisnis sivitas akademika Universitas Airlangga. Kami menjalankan prinsip-prisip bisnis sesuai dengan nilai-nilai yang seharus nya ditegakkan oleh masyarakat Indonesia, yaitu semangat Gotong – royong (nilai-nilai Pancasila), dengan memegang teguh kejujuran, keterbukaan dan multi-kultural agar kompak bersatu menuju masyarakat sejahtera jasmani dan rohani di era globalisasi. Bisnis kami memberi pelayanan kepada masyarakat baik di bidang edukasi, konsumsi, trasportasi dan komunikasi maupun rekreasi. Kami akan berusaha memberi pelayanan yang terbaik agar masyarakat dapat terpenuhi keperluanya secara hemat, tepat dan sehat.

melaluiAirlangga Amerta Inc..

PENDIDIKAN PANCASILA: MEMBANGUN MASYARAKAT GOTONG ROYONG MEWUJUDKAN MASYARAKAT MADANI INDONESIA

Mei 8, 2012

Oleh Ajar Triharso[1]

 

Konflik Ambon ke dua dan terakhir bom bunuh diri di kota Solo hari Minggu 25 September 2011 serta konflik-konflik yang telah terjadi sebelumnya antar suku, antar kampung, antar pelajar dan antar mahasiswa dan munculnya Negara Islam Indonesia (NII) menunjukkan bahwa usaha membangun kebersamaan atau dalam istilah populer dengan sebutan menciptakan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia berdasarkan ideologi Pancasila selama ini belum berhasil dengan baik. Ibarat gejala patologis dalam tubuh bangsa Indonesia, sumber konflik yang terjadi dalam hubungan antar agama, suku dan ras dapat dikatakan merupakan penyakit bawaan yang sudah sejak sangat awal disadari oleh para founding fathers namun selalu kambuh karena antibodi yang berupa nilai-nilai Pancasila tidak terimplementasikan dengan benar akibat usaha terapi kebijakan yang tidak menyeluruh alias hanya tambal sulam (incremental). 

Pancasila yang sudah diyakini bersama sebagai falsafah dan ideologi pemersatu bangsa, dengan meminjam kata-kata Yudi Latif merupakan “mutiara-mutiara pemikiran brilyan” yang terkandung dalam Pidato Ir. Sukarno 1 Juni 1945 yang disepakati oleh para founding fathers peserta sidang BPUPKI dalam rangka revolusi bangsa Indonesia. Revolusi dari bangsa terjajah menjadi bangsa merdeka. Pidato bersejarah tersebut secara kolektif di antara anggota BPUPKI adalah apa yang dalam terminologi Foucault sebagai hasil “tindakan epistemologis” dalam rangka formasi diskursus perumusan dasar negara Republik Indonesia.[2] Namun ternyata dalam implementasinya menghadapi berbagai kendala terutama dari ideologi-ideologi lain yang sejak semula juga sudah disadari untuk menjadi alternatif  bagi Pancasila.

 

RINDU PANCASILA

Selama era reformasi bangsa Indonesia telah mengalami berbagai fenomena kehidupan berbangsa dan bernegara yang problematis. Pembangunan demokrasi serba kebablasan, lemahnya penegakan hukum, merajalelanya korupsi dan kriminalitas, hingga kemiskinan dan berbagai masalah lainnya yang tidak sesuai dengan harapan dan cita-cita reformasi. Dalam arus deras gloalisasi, bangsa Indonesia juga disibukkan oleh beberapa fenomena: pertama, fenomena faham neoliberal dengan tuntutan tata-laku negatif individualisme, pasar bebas, konsumerisme, hedonisme dan ketimpangan ekonomi; kedua, fenomena faham primordialisme, dalam kondisi alami bangsa Indonesia yang multi etnis dan kultural, dengan tata-laku negatif daerahisme, sukuisme, rasisme dan separatisme; dan ketiga, fenomena faham sektarianisme dalam masyarakat multi agama dengan mayoritas beragama Islam, dengan tata-laku negatif eksklusivisme, radikalisme Islam seperti terorisme dan akhir-akhir ini yang cukup mengejutkan adalah munculnya fenomena Negara Islam Indonesia (NII) (Slide 1).[3]

Dengan munculnya isue NII, bagi bangsa Indonesia seperti tersadar oleh mimpi buruk dari tidur nyenyak dalam buaian ideologi kapitalisme dan demokrasi liberal yang menjadi ideologi dominan di dunia pasca perang dingin  seperti dituturkan oleh Fukuyama. Namun ternyata ramalan Huntington tentang benturam antara peradaban Islam dan Kristen juga menjadi terbuktikan dengan keberadaan gerakan radikal Islam seperti gerakan Osamah bin Laden dengan Al Qaedahnya di peringkat global dan Jamaah Islamiah (JI) NII di Asia Tenggara dan Indonesia. Keberadaan NII menjadi menyentak dan mengagetkan serta mencekam masyarakat di antara berbagai ekses dari jalannya reformasi yang tidak sempurna. Gerakan NII menjadi lebih mencekam dibanding terorisme, seperti bom Solo, yang lebih konkrit dan selama ini menjadi tugas Densus 88 untuk menanganinya. Gerakan NII ternyata lebih halus dan sistemik  dalam membentuk jaringan untuk menjadi alternatif (subversif) dan perpindahan kesetiaan masyarakat (hijrah) dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).[4]

Dalam era globalisasi pasca reformasi ternyata faham-faham dan ideologi-ideologi alternatif dan predator Pancasila yang patologis terhadap jatidiri bangsa Indonesia semakin hari semakin mendapatkan habitat subur di bumi Indonesia, karena samakin banyak masyarakat, khususnya generasi muda, yang termarjilasisasi dari ideologi negara dan nilai-nilai budaya bangsa akibat dari sistem pendidikan karakter atau kepribadian dan berkehidupan bermasyarakat dalam berbangsa dan bernegara yang kurang tepat. Sehingga kerinduan masyarakat kepada Pancasila semakin kuat dan muncul pertanyaan tentang proses pendidikan ideologi nasional Pancasila dalam rangka pengembangan kepribadian di masyarakat dan dunia pendidikan selama ini. Karena Pancasila sebagai ideologi pemersatu bangsa ternyata justru terpinggirkan dalam kurikulum pengembangan pendidikan kepribadian dan berkehidupan bermasyarakat dalam sistem pendidikan nasional.[5]

 

SOSIALISASI PANCASILA SECARA SISTEMATIS

Setelah reformasi 1998 BP7 sebagai lembaga yang berfungsi mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila sudah tidak difungsikan lagi. BP7 terkubur bersamaan dengan tumbangnya rezim Orde baru dan sejak saat itu pendidikan Pancasila di masyarakat dan di dunia pendidikan menjadi mengambang dan perlahan tetapi pasti mengantar bangsa Indonesia ke jaman Kerusakan (Kalabendu). Karena ideologi-ideologi dan paham-paham predator Pancasila mendapatkan momentum untuk kembali masuk ke dalam pemikiran bangsa Indonesia khususnya melalui bidang pendidikan. Hasilnya adalah UU nomor 20/2003 tentang Sisdiknas pendidikan Pancasila sebagai ideologi pemersatu bangsa tidak lagi diwajibkan di segala jenjang dan jenis pendidikan.

Dengan keberadaan UU 20/2003 situasi jatidiri bangsa Indonesia menjadi semakin parah karena generasi muda cenderung hanya menjadi obyek pendidikan pengetahuan keilmuan yang dikendalikan oleh kepentingan paham kapitalisme liberal dan paham-paham lain pecundangnya yang cenderung mengabaikan pendidikan ideologi bangsa sebagai dasar berkepribadian dan bermasyarakat dalam jatidiri bangsa Indonesia. Dengan demikian pendidikan Pancasila harus segera mendapatkan perhatian oleh semua pihak tidak hanya pemerintah.[6]

Setelah merebaknya issue NII, tuntutan perlunya pendidikan Pancasila secara sistematis segera mendapat tanggapan dari para penyelenggara negara. Paling tidak ada dua pertemuan penting antara pimpinan dan mantan pimpinan lembaga tinggi negara membicarakan tentang pendidikan atau sosialisasi nilai-nilai Pancasila. Pertama, pertemuan antara Presiden dan Ketua MPR serta beberapa pimpinan lembaga tinggi negara pada 24 Mei 2011 di kantor Mahkamah Konstitusi (MK). Pertemuan merekomendasikan rencana aksi nasional dengan membentuk suatu lembaga bertugas melakukan sosialisasi dan pembudayaan nilai-nilai Pancasila secara formal melalui pendidikan Pancasila serta konstitusi (Slide 1a,b). Dalam hal ini Ketua MPR meminta presiden membantu terlaksananya rencana aksi sebagai proses sosialisasi empat pilar kehidupan berbangsa yaitu Pancasila, NKRI, UUD 1945 dan Bhineka Tunggal Ika (Kompas, Jawa Pos, 25/5/2011).

Kedua, pertemuan dalam rangka peringatan hari lahirnya Pancasila dan pidato Bung Karno 1 Juni 2011 atas prakarsa pimpinan MPR seperti tahun lalu (2010) di Gedung Nusantara IV kompleks DPR/MPR/DPD Jakarta. Pertemuan menghadirkan Presiden SBY dan dua mantan Presiden RI yang masih hidup yaitu BJ Habibie dan Megawati Sukarnoputri untuk berorasi tentang Pancasila. Pada prinsipnya semua pihak sepakat diadakan kegiatan sosialisasi nilai-nilai Pancasila secara formal dan Presiden SBY sebagai pimpinan eksekutif mengistruksikan kepada menteri pendidikan nasional[7]  dan menteri-menteri terkait untuk melaksanakan (Kompas, Jawa Pos,/3/6/2011). Pertanyaannya adalah bentuk kelembagaan, materi serta metoda apa sosialisasi  empat pilar dan pebudayaan nilai-nilai Pancasila akan dilaksanakan.

 

PIDATO 1 JUNI 1945: QITOH KEMERDEKAAN BANGSA

Apabila pemikiran dari para pemimpin bangsa tersebut disetuji dan akan diwujudkan, untuk tidak mengulangi cara kerja BP7 pada jaman Orde Baru, penulis ingin mengingatkan sekaligus mengusulkan suatu pemahaman komprehensif tentang Pancasila dengan kembali mendalami isi pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945.[8] Pidato tunggal tentang dasar negara atau “weltanschauung” untuk Indonesia merdeka yang diucapkan (tanpa teks) oleh seorang pejuang kemerdekaan bangsa Indonesia berpendidikan modern yang dijalani sejak usia muda. Bagian dari gerakan kolektif para pejuang kemerdekaan atau founding fathers bangsa dengan ketulusan dan keikhlasan serta keberanian luar biasa di tengah pusaran pergolakan pemikiran kritis dan revolusioner terhadap kolonialisme dan harus menghadapi pemerintah kolonial Hindia Belanda.

Pidato  di depan sidang BPUPKI tersebut kiranya bukan sembarang pidato. Pidato di hadapan 67 anggota BPUPKI tokoh intelektual dan terpelajar  founding fathers bangsa Indonesia merupakan konstruksi pemikiran dalam kebersamaan yang berkembang selama pejuangan melawan kolonialisme dan imperialisme. Pidato dengan sambutan hebat (12 kali tepuk tangan) oleh forum dengan kualitas peserta seperti itu selain bersifat ilmiah (Taufik Abdulah) dan mempunyai kekuatan teleologis (Azumardi Azra) juga sangat komprehensif sebagai suatu manifesto. [9]

Oleh sebab itu isi pidato 1 Juni 1945 yang ilmiah dan mempunyai jangkauan jauh ke depan tersebut kiranya dapat merupakan qitoh atau manifesto kemerdekaan dari para founding fathers untuk menjadi sumber dari segala sumber hukum negara Indonesia merdeka. Artinya isi pidato merupakan bagian tak terpisahkan dengan makna sila-sila Pancasila yang ada dalam Pembukaan dan batang tubuh UUD 1945 sebagai ideologi dan filosofi berbangsa dan bernegara yang harus menjadi substansi dalam proses sosialisasi dan atau pendidikkan kepada masyarakat Indonesia.

Menghadapi permasalahan ideologis dan fenomena-fenomena paham patologis lainnya yang mengancam kebersamaan bangsa Indonesia dalam ketiga kategori paham-paham yang telah disebutkan, khususnya menghadapi adanya gerakan sektarian Islam radikal, terorisme dan NII, dalam pidato Bung Karno sebetulnya sudah diantisipasi ketika membicarakan prinsip ke tiga versi pidato atau sila ke empat versi UUD 1945, yaitu prinsip ‘Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan’ khusus untuk golongan Islam dengan menyebutkan:  

”Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara “semua buat semua”, “satu buat semua, semua buat satu”. Saya yakin syarat yang mutlak untuk kuatnya negara Indonesia ialah permusyawaratan perwakilan. Untuk pihak Islam, inilah tempat yang terbaik untuk memelihara agama. Kita, sayapun, adalah orang Islam, — maaf beribu-ribu maaf, keislaman saya jauh belum sempurna, — tetapi kalau saudara-saudara membuka saya punya dada, dan melihat saya punya hati, tuan-tuan akan dapati tidak lain tidak bukan hati Islam. Dan hati Islam Bung karno ini, ingin membela Islam dalam mufakat, dalam permusyawaratan. Dengan cara mufakat, kita perbaiki segala hal, juga keselamatan agama, ……”[10]

 

Sedangkan konsep bagaimana mewujudkan nilai-nilai Pancasila dalam perilaku bangsa Indonesia didefinisikan oleh Bung Karno sebagai berikut:

“Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya, satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan Gotong Royong. Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong-royong! Alangkah hebatnya! Negara Gotong-royong!”.

“Gotong-royong adalah paham yang dinamis, lebih dinamis dari “kekeluargaan” Saudara-saudara! Kekeluargaan adalah suatu faham yang statis, tetapi gotong-royong menggambarkan suatu usaha, suatu amal, suatu pekerjaan, yang dinamakan anggota yang terhormat Soekardjo satu karyo, satu gawe. Marilah kita menyelesaikan karyo, gawe, pekerjaan, amal ini, bersama-sama! Gotong-royong adalah pembanting tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan Bantu-binantu bersama. Amal semua buat semua. Holobis-kontul baris buat kepentingan bersama! Itulah Gotong –royong!

Prinsip Gotong-royong diantara yang kaya dan yang tidak kaya, antara yang Islam dan yang Kristen, antara yang bukan Indonesia tulen dengan peranakan untuk menjadi bangsa Indonesia.”[11]

 

 

 

 

METODA PERBANDINGAN

Dalam menjelaskan dasar negara yang diusulkan, pidato Bung Karno 1 Juni 1945 dengan tingkat perkembangan ilmu pengetahuan atau wetenschap  ketika itu, dengan memakai metoda perbandingan (comparative) disebutkan pengalaman beberapa negara yang sudah merdeka. Antara lain negara Amerika (Amerika Serikat-AS) yang terkenal dengan Declaration of Independence sebagai naskah dasar ideologi bangsa Amerika dengan paham politik liberalisme, paham ekonomi kapitalisme dan paham kemasyarakatan individualisme. Kemudian Soviet Rusia (Uni Soviet-US) dengan Leninisme sebagai implementasi Manifesto Communist Karl Marx menjadi pokok ajaran ideologi negara-negara komunis dengan paham politik diktator proletar, paham ekonomi sosialisme-komunis dan paham kemasyarakatan komunalisme.

Dalam pidato 1 Juni 1945 disebutkan pula pemikiran Dr. Sun Yat Sen untuk revolusi China (dari monarki ke republik) dengan konsep San Min Chu I  – Mintsu, Minchuan, Min Sheng atau nasionalisme, demokrasi, sosialisme dan ajaran Mahatma Gandhi untuk bangsa India yang terkenal dengan konsep  satiagraha, ahimsa dan swadeshi serta ajaran berdasarkan nilai-nilai Islam Ibnu Sa’ud untuk Arab Saudi (Slide 4) [12].

Dalam tahap perkembangan ilmu pengetahuan (kenegaraan) modern dan dengan metoda dan analisis perbandingan ideologis seperti itulah kiranya pidato 1 Juni 1945  meletakkan Pancasila, Trisila dan Ekasila atau Gotong-royong di dalam hierarkhi pembangunan tatanan hukum dan kemasyarakatan dalam rangka revolusi bangsa Indonesia dari bangsa yang terjajah menjadi bangsa merdeka (Slide 5).

Ketiga konsep tersebut dimaksudkan untuk menjadi konstruksi dasar jatidiri bangsa Indonesia sebagai pembeda dengan jatidiri bangsa-bangsa lain di seluruh dunia. Agar dari ketiga konsep dasar negara tersebut, setelah melalui “jembatan emas” kemerdekaan, menjadi sumber dari segala sumber hukum dan dari sana dapat disusun hukum dasar baik tertulis maupun tidak tertulis. Hukum dasar tertulis diwujudkan sebagai konstitusi dan hukum dasar tak tertulis diwujudkan sebagai apa yang biasa disebut konvensi.

Kedua macam hukum dasar dimaksudkan menjadi pondasi konstruksi bangunan baik fisik dalam wujud konstitusi maupun kejiwaan/budaya dalam wujud konvensi keberadaan jatidiri bangsa dan negara Indonesia. Dengan pemahaman demikian melalui PPKI yang diketuai oleh Bung Karno sendiri, telah tersusun konstitusi negara Indonesia merdeka yaitu Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945) dengan Preambul di mana terkandung sila-sila Pancasila. [13]  

Jadi apabila kita setuju bahwa pidato 1 Juni 1945 sebagai qitoh kemerdekaan bangsa Indonesia, maka perbincangan dan aktualisasi dasar dan ideologi negara selama ini ternyata masih berkisar tentang implementasi nilai-nilai lima sila Pancasila sebagai norma-norma hukum.  Yaitu penyusunan seperangkat aturan yang terkait dengan pembangunan struktur dan fungsi (structural functional matters) kelembagaan negara dan pemerintahan modern secara yuridis formal dalam konstitusi yang rasional dengan nilai-nilai etikanya.

Padahal, seperti telah diuraikan, masih ada dua konsep lainnya untuk nilai-nilai Pancasila yang disebutkan Bung Karno dalam pidatonya dan salah satunya adalah sebagai perilaku Gotong-royong dan kiranya sangat terkait dengan fungsi  nilai-nilai cultural (cultural functional maters) dengan norma-norma moral yang konvensional untuk menjadi dasar fatsun politik dan civil society bangsa Indonesia dengan nilai-nilai etikanya pula.

 

SOSIALISASI NILAI-NILAI PANCASILA: Membangun keGotong-royongan

UUD 1945 kiranya dapat disejajarkan dengan konstitusi berdasar ideologi negara-negara lain seperti kapitalisme-liberal AS dan negara-negara barat lainnya dan konstitusi berdasar ideologi sosialisme-komunis Uni Soviet (alm.) atau Republik Rakyat China (RRC)  sekarang dan  paham-paham lainnya yang tentunya juga sudah dioperasikan ke dalam konstitusi masing-masing negara.

Dari UUD 1945 telah dibangun struktur dan fingsi  bangunan fisik jatidiri bangsa dan negara Indonesia modern dan, memakai istilah Bung Karno, sudah pada tingkat “swaarwichtig” atau njlimet. Bahkan pada era reformasi setelah tahun 1998 dalam rangka menghadapi globalisasi, melalui amandemen UUD ’45, berbagai struktur dan fungsi kenegaraan telah direformasi dengan “satu wetenschap baru, satu ilmu baru” yang berkembang pasca PD II. [14].

Amandemen UUD 1945 sebagai usaha dalam rangka memaksimalkan kinerja sistem negara Indonesia modern yang demokratis dan berotonomi daerah yang sedang dibangun implementasinya sejak tahun 2007 dikawal oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Demikian pula kinerja berbagai struktur dan fungsi kenegaraan yang telah direformasi juga dilengkapi dengan berbagai komisi seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Yudisial (KY) dan lain-lain. Yudi Latif menyebutnya sebagai negara paripurna. Namun ternyata kehidupan berbangsa dan bernegara masih dan dikhawatirkan semakin karut-marut (Slide 6)

Untuk menghentikan karut-marut tersebut kiranya perlu meninjau kembali semangat pidato 1 Juni 1945, terutama tentang keberadaan dua konsep Trisila dan Ekasila atau Gotong-royong. Dengan semangat pidato 1 Juni 1945 kita harus meninjau kembali implementasi nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara dengan ilmu pengetahuan baru yang telah kita pelajari dan kembangkan setelah proklamasi kemerdekaan baik pada era Orde Lama dan Orde Baru maupun pada era Reformasi sekarang ini. Ilmu pengetahuan yang dikembangkan di universitas-universitas selama ini harus dipakai untuk melengkapi dan menyempurnakan konstitusi sebagai hukum dasar negara tertulis yang sudah dioperasionalkan dalam UUD 1945 dan diwujudkan dalam struktur dan fungsi kongrit kenegaraan yang ada.   

Yaitu mengoperasionalkan kedua konsep Trisila dan Ekasila atau Gotong-royong dalam rangka menyempurnakan kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia dengan hukum dasar negara tak tertulis sebagai konvensi yang lebih bersifat kultural. Karena keberadaan dua konsep tentunya dimaksudkan untuk kesempurnaan dalam mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila dalam perilaku bangsa Indonesia yang merujuk pada fungsi nilai-nilai budaya bangsa Indonesia.

 

PAHAM INDIVIDUALISME, KOMUNALISME DAN GOTONG-ROYONG

Dari uraian di muka ternyata selama reformasi masyarakat Indonesia sudah dikepung secara sistematis oleh paham-paham predator Pancasila. Dalam acara memperingati lahirnya Pancasila pada 1 Juni 2011 salah seorang pemimpin bangsa mengingatkan  bahwa nilai-nilai Pancasila harus segera dapat berkembang dan berakar kuat di dalam jiwa bangsa Indonesia (Kompas, Jawa Pos, 3/6/2011). Yaitu merevitalisasi dan rejuvenasi Pancasila melalui  proses sosialisasi dan pendidikan nilali-nilai Pancasila secara sistematis baik di masyarakat maupun di dunia pendidikan. Oleh sebab itu apa yang harus dilakukan untuk menyelamatkan Pancasila merupakan suatu perjuangan.

Dengan serbuan paham-paham predator Pancasila yang demikian canggih maka upaya sosialisasi dan pendidikan nilai-nilai Pancasila dapat dikatakan merupakan bagian dari perjuangan mengoperasional ideologi berbangsa dan bernegara.  Dalam pidato 1 Juni 1945 Bung Karno mengatakan: “… tidak ada satu Weltanschauung dapat menjelma dengan sendirinya, menjadi realiteit dengan sendirinya. Tidak ada satu weltanschauung  dapat menjadi kenyataan, menjadi realiteit, jika tidak dengan perjuangan!”

Dalam ilmu pengetahuan pasca PD II tentang pembangunan masyarakat (bangsa), demi efektifitas suatu perjuangan dalam mewujudkan weltanschauung menjadi kenyataan perilaku kultural konvensional bangsa Indonesia, sepertihalnya keberadaan komisi-komisi dalam rangka implementasi konstitusi UUD 1945 (negara) yang telah disebutkan, maka diperlukan satu komisi sebagai pengganti fungsi BP7 namun tanpa mengulangi kesalahannya, yang berfungsi memfasilitasi masyarakat mengkostrusikan perilaku kebersamaan berdasarkan nilai-nilai Pancasila yaitu masyarakat gotong-royong.

Hasil pembangunan struktur dan fungsi negara berdasarkan UUD 1945 yang telah berlangsung selama ini apabila dilengkapi dengan konstruksi kultur fungsi kegotong-royongan masyarakat yang merupakan budaya asli Nusantara, maka karakter jatidiri bangsa Indonesia menjadi sempurna baik phisicaly maupun culturaly. Dengan demikian bangsa Indonesia niscaya mampu membangun baik human maupun social capital (Slide 7) yang tangguh dan kompak untuk berinteraksi dalam hubungan antar bangsa dan bersaing dengan masyarakat individualis seperti AS dan negara-negara barat lainnya, juga dengan masyarakat komunal sama-rasa sama-rata di negara-negara komunis yang telah mereformasi diri seperti di RRC dan Vietnam, serta paham kemasyarakatan lainnya berdasarkan nilai-nilai ideologi masing-masing negara di seluruh dunia. Dalam hal ini Yudi Latif menuliskan: “Seperti kemajuan India lewat karakter swadesinya, China dengan kolektivismenya, dan Amerika Serikat dengan individualismenya, trayek kemajuan Indonesia adalah karakter gotong royongnya”.[15]

Instruksi presiden pada peringatan hari lahirnya Pancasila 1 Juni 2011 Bagi para menteri Kabinet Indonesia Bersatu II dengan leading sektornya Menteri Pendidikan Nasional, adalah mewujudkan masyarakat gotong-royong sebagai usaha mengelaborasi pidato presiden SBY pada hari peringatan yang sama tahun lalu 1 Juni 2010 di MPR-RI yang mengatakan:

“Di abad ke21 ini Insya Allah Indonesia bisa menjadi negara maju dengan syarat kita bisa meningkatkan kemandirian, daya saing, dan peradaban unggul, dan itu bisa dicapai kalau negara mengutamakan kebersamaan, persatuan, dan kerja keras. Maka tiada lain konsep gotong royong disampaikan Bung Karno adalah semua buat semua, bekerja keras bersama, saling bantu sama lain.”

 

Tugas tersebut searah dengan hasil Rembug Nasional Pendidikan 2010 terutama tugas Komisi IV yang membidangi Penguatan peran pendidikan dalam upaya peningkatan akhlak mulia dan pembangunan karakter bangsa.

Apabila pemikiran ini dapat menjadi bagian dari pertimbangan kebijakan pemerintah  dalam mensosialisasikan nilai-nilai Pancasila, maka tinggal bagaimana kesigapan dan kesiapan menteri pendidikan nasional dan menteri-menteri terkait lainnya dalam melakukan koordinasi melaksanakan instruksi presiden. Menurut konsep MPR-RI mensosialisasikan nilai-nilai Pancasila, adalah sekaligus mensosialisasikan UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika sebagai empat pilar bangsa dengan membangun konsep gotong-royong menjadi perilaku masyarakat Indonesia melalui kelembagaan, materi serta metoda yang tepat di dunia pendidikan dan masyarakat.[16]

 

MASYARAKAT GOTONG-ROYONG=MASYARAKAT MADANI

Tulisan ini juga ingin mengingatkan bangsa kita karena, walaupun tidak mengidap insomnia, kita biasanya mudah melupakan sesuatu kalau sedang malas berfikir atau ada sesuatu yang dianggap lebih indah. Namun kali ini sesuatu itu sangat penting demi keselamatan bangsa dan negara. Terutama kepada generasi muda bangsa Indonesia pada pesan Bung Karno: “jangan sekali-kali meninggalkan sejarah – jasmerah”. Jangan dengan keangkuhan intelektual dengan wetenschap barunya, yang ditimba dari negara-negara berfaham liberal dan atau paham-paham pesaing Pancasila lainnya, menafikan pemikiran generasi pejuang kemerdekaan.

Cita-cita para pendiri bangsa ini adalah terbangunnya masyarakat Indonesia modern yang tidak  individualis, atau masyarakat komunal sama rasa – sama rata dan juga bukan masyarakat berdasarkan ajaran agama tertentu dalam hal ini agama Islam. Namun, seperti dicantumkan dalam Pembukaan UUD 1945, membangun  masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam, berdasarkan nilai-nilai lima sila Pancasila yang cerdas dan pandai untuk ikut menciptakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, dengan wetenschap baru yang “dicari sampai ke negeri China sekalipun” seperti disabdakan nabi Muhamad SAW dalam haditsnya.

Seperti apa wujud masyarakat gotong-royong itu,  maka penulis juga setuju dengan apa yang dicita-citakan nabi Muhamad SAW tentang konsep masyarakat madani tentang masyarakat Madinah yang multi etnik dan multi agama ketika itu. Bagaimana sikap dan perilaku golongan Islam sebagai mayoritas untuk hidup berdampingan dengan golongan umat beragama lainnya yang minoritas di Indonesia dan kiranya jiwa masyarakat madani ada dalam pidato Bung Karno. Masyarakat Madinah dapat dikatakan merupakan miniatur bangsa Indonesia sebagai negara Islam terbesar di dunia.  Apabila bangsa indonesia mampu mewujudkan masyarakat madani di Indonesia niscaya akan menjadi teladan dan percontohan dunia dalam menciptakan perdamaian di era gflobalisasi yang menghadapi masalah, seperti kata Huntington, benturan peradaban yang bersumber dari perbedaan ras, budaya dan agama. Sehingga apa yang dipidatokan Bung Karno di depan Majelis UmumPBB tahun 1962 bahwa Pancasila dapat menjadi ideologi dunia bukanlah isapan jempol.[17]

 

MEWUJUDKAN MASYARAKAT GOTONG-ROYONG

Dari uraian di muka sebagai insan pendidikan dengan pengalaman lapangan dalam pemberdayaan masyarakat (masyarakat dunia usaha – KADIN dan usaha pengentasan kemiskinan – IDT-PPK) sebagai penutup penulis berusaha menguraikan garis besar usulan sosialisasi dan mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila sesuai dengan semangat yang telah diuraikan. dalam Pendidikan dan sosialisasi nilai-nilai Pancasila adalah membangun masyarakat Gotong-royong mewujudkan manusia mono dualistis yaitu manusia individu dan manusia sosial dengan definisi konsep seperti terkandung dalam Pidato 1 Juni 1045 Ir. Sukarno. Dalam kesepakatan para pemimpin bangsa pada peringatan hari lahirnya Pancasila 1 Juni 2011 usaha pembangunan diinstruksikan oleh presiden SBY agar  Kemendiknas dan dunia pendidikan sebagai leading sektor. Pembangunan dengan pendekatan demikian searah dengan konsep belajar seumur hidup bangsa Indonesia dan searah pula dengan tujuan kebijakan 20% APBN/APBD untuk anggaran pendidikan sehingga pendidikan tidak hanya di sekolah (pedagogi) untuk orang-orang muda namun juga di luar sekolah untuk orang-orang dewasa (andragogi).

Untuk melaksanakan pendidikan Pancasila dan konstitusi sesuai dengan rencana aksi nasional perlu dibentuk suatu lembaga secara formal. Pendidikan  masyarakat membangun kegotong-royongan idealnya diselenggarakan oleh sebuah komisi seperti halnya KPU untuk penyelenggaraan pemilihan umum,  KPK untuk pemberantasan korupsi dll.. Komisi yang memfasilitasi masyarakat melalui fasilitator-fasilitator atau pendamping (bukan penatar seperti pada BP7) yang rekruitmenya harus melalui proses seleksi dan sertifikasi, dengan dunia pendidikan sebaga leading sektor. Dengan demikian maka masyarakat guru dan dosen menjadi inti sumber sumber daya fasilitator (mempunyai ilmu dan ketrampilan pendidikan) namun juga dapat dari masyarakat umum yang lulus seleksi dan sertifikasi.

Pendamping/fasilitator, atas penugasan dari Komisi, mendapingi/ memfasilitasi dunia pendidikan dan masyarakat membangun kegotong-royongan antara individu-individu yang kaya (banyak rezeki) dengan yang tidak kaya/miskin (sedikit rejeki) berdasarkan Sila 1 (Pertama) Pancasila yaitu kehidupan berKetuhanan Yang Maha Esa (moral agama) diwujudkan ke dalam pemberian Sodakoh/zakat dari umat Islam minimal Surat Al Ma’un dan Surat Yasin ayat 47 Al Qur’an, Persepuluhan/kolekte  dari umat Kristen/Katolik Surat ? Kitab Injil, Dane punye (Hindu/Budha) Surat ? Kitab Weda dan Tripitaka,  Angpao umat Konghuchu  Surat ? ajara Konfusius.

Unit pertama dan utama Gotong-royong di masyarakat adalah RT (Rukun Tetangga). RT membuka rekening untuk dana  sodaqoh, kolekte, danepunye dan angpao warga yang besarnya dan penggunaannya ditetapkan bersama secara musyawarah. Misalnya 2,5% dari pendapatan setelah pajak (sisanya 97,5%) masing-masing individu penduduk yang bekerja untuk membantu yang miskin, menganggur, manula yang papa, anak yatim piatu dan lain-lain di setiap RT.

Pendampingan dalam rangka mengalokasikan dari yang kaya dan yang miskin menurut ajaran agama tersebut juga harus dalam rangka melaksanakan/mengimplementasikan nilai-nilai 4 Sila Pancasila lainnya yaitu: Kemanusiaan yang adil dan beradab. Dana yang terkumpul ditujukan untuk membantu mereka yang hidupnya terancam karena kemiskinan. Persatuan Indonesia atau berkebangsaan. Dana dialokasikan tidak pandang suku, ras maupun agama. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijakan dalam permusyawaratan/perwakilan. Dana dialokasikan dengan melalui permusyawaratan untuk mencapai efektifitas dan efisiensi. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dana yang terkumpul harus terbagi secara adil dan merata mengentas kemiskinan di seluruh Indonesia. Jadi mewujudkan masyarakat Gotong-royong  adalah mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila secara bottom up dan komplementer dengan program pengetasan kemiskinan dari Pemerintah antara lain dalam bentuk Block Grand.

Sebagai fungsi koordinasi RT terbagi dalam dasa wisma. Setelah proses di RT, RT diwakili oleh kader RT yang dipilih secara musyawarah membangun kegotong-royongan antar RT di RW (Rukun Warga), RW membuka rekening untuk menampung kontribusi RT dan Blog grand dari Kabupaten/kota. RW-RW diwakili kader-kader yang terpilih, membangun kegotong-royongan Desa dan melalui kader desa membangun kegotong-royongan Kabupaten. Proses dari tingkat RT hingga Kabupaten/kota difasilitasi oleh Komisi tingkat Kabupaten/Kota. Kabupaten/kota membangun kegotong-royongan di tingkat propinsi (difasilitasi oleh Komisi tingkat Propinsi) dan dilanjutkan antar propinsi membangun kegotong-royongan tingkat nasional (difasilitasi oleh Komisi tingkat Nasional).

Unit utama Gotong-royong di dunia pendidikan adalah siswa, mahasiswa, tenaga pendidik/guru dan dosen, tenaga kependidikan/ tenaga administrasi, orang tua murid dan mahasiswa dalam komite dan IKOMA. 1. Proses Gotong-royong di antara Siswa dan mahasiswa yang tergabung dalam OSIS dan Himaprodi dibagi ke dalam kelompok perkelas/angkatan, kelompok dasa siswa dan dasa mahasiswa (pembagian kelompok student centerd learning – SCL) merupakan bagian dari proses pendidikan dan pembelajaran terutama dalam pengembangan kepribadian dan berkehidupan bermasyarakat. Siswa dan mahasiswa didampingi fasilitator membangun kegotong-royongan melalui kegiatan Kurikuler, co kurikuler dan atau ekstra kuirkuler. Proses gotong-royong di tingkat siswa dan mahasiswa tidak pada pembagian rezeki namun ditujukan untuk mengembangkan jiwa siswa dan mahasiswa.

2. Tenaga pendidik dan Tenaga kependidikan. Tenaga pendidik yang tergabung di dalam asosiasi (paguyuban) tenaga pendidik bidang ilmu masing-masing yaitu asosiasi guru sejenis (wilayah sekolah) dan dosen jurusan/departemen (di PT) sebagai tenaga fungsional dan intelektual/profesional; dan Tenaga kependidikan atau pegawai administrasi di sekolah dan PT tergabung dalam Korps Pegawai. Antara tenaga pendidik ada kemungkinan terjadi kesenjangan baik antar guru maupun dosen di pendidikan tinggi dengan dimungkinnya praktek di luar kampus (dokter, apoteker) proyek-proyek lainnya yang memerlukan tenaga ahli dari dunia pendidikan. Demikian pula antara Tenaga pendidik dan tenaga kependidikan, sebagai sama-sama tenaga yang bekerja di dunia pendidikan namun ada kesenjangan sehingga terjadi ketidak adilan. Seperti yang telah diuraikan tentang kesenjangan antara tenaga pendidik dengan adanya perbedaan masa kerja pendidik yaitu dimungkinkan pensiun umur 65 tahun sedangkan tenaga kependidikan hanya umumr 56 tahun, tunjangan fungsional dan sertifikasi serta hanor mengajar untuk tenaga pendidik perlu terjadi proses gotong-royong dengan Tenaga kependidikan. Dengan proses seperti di RT-RW, prinsip Gotong-royong dilaksanakan dengan membuka rekening untuk tenaga pendidik pada unit asosiasi-asosiasi (paguyuban) terkecil (Jurusan/departemen – untuk Dosen PT dan kantor wilayah kabupaten/kota – untuk guru sekolah), sedangkan  tenaga pendidik dan tenaga kependidikan juga tergabung dalam korps pegawai (Korpri). Melalui kader-kader dari unit-unit gotong royong masing-masing komunitas membangun kegotong-royongan dalam komunitas yang lebih luas hingga tingkat nasional. Demikian pula di kalangan pegawai negri sipil lainnya dan militer serta kepolisian gotong-royong dibangun dari unit terkecil korps pengawai sesuai dengan struktur dan tupoksi departemen dan atau kementerian masing-masing. [18]

Mungkikah Propinsi Jawa Timur menjadi Pytot Project?

 

DAFTAR BACAAN

Adi, Rukminto, Isbandi, Intervensi Komunitas Pengembangan Masyarakat Sebagai Upaya Pemberdayaan Masyarakat, Rajawali Press, Jakarta, 2008.

Budiardjo, Miriam, Pudjiastuti, Tri Nuke (Eds), Teori-Teori Politik Dewasa Ini, Rajawali Perss, Jakarta, 1996.

       Damayanti, Nyoman Anita, Drg., MS., Dr., Membangun Kekuatan Modal Sosial (Social Capital) Universitas Airlangga Menuju World Class University, Pidato Ilmiah pada Sidang Dies Natalis ke 56 Universitas Airlangga 10 Nopember 2010.

Feith, Herbert dan Castle, Lance, 1996. Pemikiran PolitikIndonesia1945-1965.Jakarta: LP3ES.

Harrison, Lawrence E., Huntington, Samuel P. (Ed.) (Harvard University), Kebangkitan Peran Budaya: Bagaimana Nilai-nilai Membentuk Kamajuan Manusia, Pustaka LP3ES Indonesia,Jakarta, 2006.

Hashemi, Nader, “Islam, Sekularisme, dan Demokrasi Liberal: Menuju Teori Demokrasi dalam Masyarakat Muslim”, terjemahan Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Januari 2011.

Ife, Jim, Tesoriero, Frank, Comunity Development: Alternatif Pengembangan Masyarakat di Era Globalisasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008;

Kompas, Merajut Nusantara: Rindu Pancasila, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, Oktober 2010.

Putnam, Robert D., “Building Social Capital and Growing Civil Society, Paper on Winter Monday Night Lecture Series, 2001.

Rofiqi, A. Zaini (Ed.), Amerika dan Dunia, Yayasan Obor, Jakarta, 2005.

Suyanto, Bagong, Amal, M. Kusna (Eds.), Anatomi dan Perkembangan Teori Sosial, Aditya Media, Tlogomas Malang, 2010.

Suparno, Paul, Dr., Filsafat Kunstruktivisme dalam Pendidikan, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1997.

Triharso, Ajar, 2006, Menyelamatkan Pancasila Dari  “Virus Ganas” Neo Liberalisme, Jurnal Karakter Bangsa, TPB Universitas Airlangga, Vol. 2, 2006.

Triharso, Ajar, Berfikir Kritis-Konstruktif Di Dunia Pendidikan, Mengembangkan Ahklak Mulia dan Karakter  Gotong-Royong dalam Jatidiri Bangsa di Era Globalisasi (Penghayatan dan Pengamalan Nilai-Nilai Pancasila Dalam Rangka Membangun Civil Society Masyarakat Madani Indonesia Dengan Kembali Ke Kitoh 1 Juni 1945. Call Paper untuk Kongres Pancasila III – 31 Mei Dan 1 Juni 2011 di UA.

 Zainuddin, Muhammad, Prof. Dr. H., at al., Melejitkan Soft Skill Mahasiswa, Direktorat Pendidikan Universitas Airlangga, 2009, hal. 31-36,

 


[1]Penulis adalah pengampu Mata Kuliah Wajib Universitas (MAWU) Pancasila dan Kewarganegaraan – PPKN – Universitas Airlangga (UA), Ketua Komisi Pengkajian/Pusat Studi Jatidiri dan Kebangsaan (PSJK) LPPM-UA. Tulisan ini dikembangkan dari materi untuk Rapat Koordinasi Dewan Penasehat Forum Kerukunan Umat Beragama (RAKOR DP FKUB) Provinsi Jawa Timur 14 Juli 2011.

[2]Tentang Pancasila penulis merujuk pada tulisan Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Nasionalitas dan Aktualitas Pancasila, Gramedia Pustaka Utama (GPU), Jakarta, 2011.

[3]Tentang masalah radikalisme Islam penulis mendapat pencerahan dari tulisan Nader Hashemi “Islam, Sekularisme, dan Demokrasi Liberal: Menuju Teori Demokrasi dalam Masyarakat Muslim”, terjemahan Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Januari 2011. Nader Hashemi seorang Asisten Profesor dalam bidang kajian Timur Tengah dan Politik Islam University of Denver. Hashemi dalam kajian historis dengan filsafat dan teori politik klasik dan metode perbandingan (comparative), berusaha merumuskan teori dan implementasinya demokrasi liberal di masyarakat/negara yang mayoritas warganya beragama Islam dengan Iran, Turki dan Indonesia sebagai fokus kajian.

[4]Menurut Hashemi gerakan Islam Radikal abad 14-15 Hijrah (20/21 Masehi), seperti halnya Puritanisme (masyarakat Kristen) di Eropa abad 14-15 Masehi, hanyalah fenomena antara untuk munculnya “democratic bargaining” dalam implementasi Demokrasi Liberlal di masyarakat mayoritas beragama Islam, Nader Hashemi, ibid., Bab I. Tentang pemikiran Francis Fukuyama dan Samuel P. Huntington baca Rofiqi, A. Zaini (Ed.), Amerika dan Dunia, Yayasan Obor, Jakarta, 2005.

 

[5]Berdasarkan tesis Hashemi, menurut penulis Pancasila adalah teori demokrasi dalam masyarakat (mayoritas) Muslim Indonesia yang disusun pada sidang BPUPKI (Pidato Ir. Sukarno 1 Juni 1945) dan PPKI (Naskah Proklamasi Kemerdekaan dan UUD 1945). Sementara  di Iran hingga saat ini masih belum menemukan format yang pas bahkan masih dalam kondisi radikal dan Turki dengan dasar kebudayaan Turki dalam rangka menjadi bagian dari EU, Nader Hashemi, op. Cit. Hal. 230-258. Tentang kerinduan pada Pancasila baca Kompas, Merajut Nusantara: Rindu Pancasila, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, Oktober 2010. Tentang arti karakter lihat Prof.  Suyanto Ph.D, Pentingnya Pendidikan Karakter, didown load 25 Juni 2011 jam 08.34: “… karakter sama dengan kepribadian”.

[6]Penulis sebagai dosen Pendidikan Pancasila selama 30 tahun di UA dalam kurikulum Pengembangan Kepribadian (MPK) dan Berkehidupan Bermasyarakat (MBB) di bawah koordinasi UPT MKU dan MKWU merasakan dua warna kekuasaan politik yang berkepentingan terhadap Pendidikan Pancasila. Pertama, kekuasaan Orde Baru yang anti komunis dan pro barat (liberal) dalam perang dingin. Pemeritah Orde Baru mengembangkan Pendidikan Pancasila secara doktriner untuk mempertahankan sistem pemerintahan otoriter, birokratis dan militeris dalam rangka pembangunan ekonomi. Kedua, dalam situasi hubungan antar bangsa pasca perang dingin di  mana paham atau ideologi kapitalis dan demokrasi liberal sebagai pemenang perang menjadi semakin dominan (Fukuyama), pemerintahan era reformasi berusaha mengembangkan sistem pemerintahan demokratis hasil belajar “lebih mendalam” dari dunia barat, namun terasa “kebablasan”. Pendidikan Pancasila justru dipandang tidak perlu oleh pemikiran kelompok dominan di kehidupan politik di Indonesia baik yang menjadi protagonis paham liberalisme maupun bagi yang sepaham dengan musuh baru dunia barat pasca perang dingin yaitu paham Islam radikal (Huntington).   

[7]Gerakan memasukkan kembali Pendidikan Pancasila dalam kurikulum pendidikan nasional khususnya di pendidikan tinggi sudah ada sejak berlakunya UU nomor 20/2003 tentang Sisdiknas yang sudah tidak mencantumkan lagi Pendidikan Pancasila. Bahkan PTN se Jawa Timur (UA, ITS, Unesa, Unibraw, UIN Malang, UNEJ) membentuk Publik University Link System of East Java (PULSE) dengan menunjuk Unesa (karena ada jurusan PKn) sebagai penanggung jawab dalam pengembangan Pendidikan Pancasila.  Dengan semangat PULSE  antar MKU-MKU PT dan PTS di Jawa Timur telah terbentuk Lembaga Pengembangan Pembudayaan Pancasila (LP3) Jawa Timur. Namun karena semakin kuatnya arus paham anti Pancasila di dunia pendidikan di era reformasi dan didukung keberadaan UU 20/2003, semangat gerakan semakin lemah bahkan  PULSE sudah dilupakan oleh sebagian besar para pimpinan baru  PTN-PTN anggotanya. Sebagai penerus semangat PULSE atas prakarsa DPRD Tk. Jawa Timur pada tahun 2006 di antara eks. guru dan dosen Pendidikan Pancasila dibentuk asosiasi guru dan dosen pendidikan Pancasila (AGDPP) untuk meneruskan perjuangan. Salah satu hasil perjuangan AGDPP adalah diselenggarakannya Kongres Pancasila III pada 31 Mei dan 1 Juni 2011 di UA yang didukung oleh MPR, UGM dan PTN, PTS serta jajaran Pemerintah Daerah baik eksekutif maupun legeslatif di Jawa Timur dengan tema “Harapan, Peluang dan Tantangan Pembudayaan Nilai-nilai Pancasila” di mana penulis menjadi ketua OCnya (Slide 2). Sejak 2006 sebetulnya ada beberapa perkembangan kebijakan  yang terkait dengan Pancasila. Namun karena UU Sisdiknas yang cacat hukum (Mahfud MD) dan para pembuat kebijakan sudah banyak yang terjangkit virus anti Pancasila, maka peraturan-peraturan pelaksanaannyapun dirasakan setengah hati tidak komprehensif. Antara lain PP No. 19/2005 tentang SNP dan kemudian di pendidikan tinggi SK Dirjen Dikti 43/2006 tentang  MPK dan 44/2006 tentang MBB (Slide 3a,b) terasa sebagai kebijakan yang tambal sulam (incremental). Kebijakan yang paling akhir antara lain Surat Edaran (SE) Dirjen Dikti No. 06/D/T/2010 5 Januari 2010 tentang Penyelenggaraan Perkuliahan Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi, SE Dirjen Dikti No 914/E/T/2011 30 Juni 2011 tentang Penyelenggaraan Perkuliahan Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi dan SE Dirjen Dikti No 1016/E/T/2011 15 Juli 2011 tentang Masa Orientasi Mahasiswa Baru dirasakan merupakan kebijakan yang tidak tulus dan tidak serius.

[8] Naskah Pidato Ir. Sukarno 1 Juni 1945 dalam Herbert Feith dan Lance Castle, 1996. Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965. Jakarta: LP3ES, hal. 15-26

[9]Yudi Latif, Negara Paripurna Ibid.. Bab pendahuluan. Dalam kriteria Nader Hashemi Bung Karno dan kawan-kawan sebagai founding fathers menurut penulis adalah kaum Islam Politik Indonesia. Kaum Islam Politik Indonesia merupakan hasil dari gerakan radikal Islam sejak perang  Padri, perang Diponegro hingga bentuk nasionalnya Serikat Dagang Islam dan Sarikat Islam Tjokroaminoto di mana Bung Karno dan kawan-kawan mengawali gerakan nasional Islam Politik melawan pemerintak kolonial.

[10]Herbert Feith dan Lance Castle, 1996, ibid., hal. 20-21.

[11]Ibid. hal. 25-26. Dalam Buku Yudi Latif kalimat terakhir tentang prinsip Gotong-royong tidak dikutip. Padahal prinsip itulah substansi konsep implementatif operrasionalisasi nilai-nilai Pancasila.

[12]Perkembangan ilmu pengetahuan modern atau wetenschap tentang kenegaraan termasuk tentang konstitusi modern dan studi hubungan antar bangsa dan metoda perbandingan yang dipakai Bung Karno serta yang dipelajari oleh para founding fathers lainnya baik formal maupun secara otodidak ketika itu tentunya masih sederhana, lemah dan belum komprehensif. Dengan kelemahan ilmu pengetahuan itulah masyarakat dunia (barat) mengalami Perang Dunia II. Hal tersebut disadari oleh para founding fathers dan oleh sebab itu pemikiran yang mereka dihasilkan untuk berdirinya Indonesia merdeka, khususnya tentang dasar negara yaitu Pancasila dan UUD 1945 dan pemikiran yang mendasarinya yaitu Pidato 1 Juni 1945, agar disempurnakan (bukan diganti) pada era kemerdekaan dengan ilmu pengetahuan yang telah dikembangkan dengan nilai-nilai kemanusiaan baru hasil pengalaman PD II.

[13]Merujuk pada Tesis Nader Hashemi yang juga menggunakan metoda dan teori perbandingan dengan mengembangkan konsep Alfred Stefan tentang twin toleracies dalam konsep liberal arguing dan democratic bargaining, op. Cit., hal. 39-42, menurut penulis UUD 1945 sebagai konstitusi merupakan perwujudan liberal arguing sedangkan Gotong-royong sebagai konvensi merupakan hasil democratic bargaining agama-agama sebagai landasan moral bangsa Indonesia yang majemuk – multi kultural dan multi agama hasil dari sidang BPUPKI 1945 hingga PPKI dalam rangka penerapan Demokrasi Liberal di Indonesia.

[14]Dalam Wetenschap produk masyarakat barat liberal pasca PD II dalam ilmu sosial dan ilmu politik telah dikembangkan berbagai teori seperti teori sistem baik struktural fungsional maupun konflik, teori perbandingan Politik, teori pembangunan dan modernisasi negara-negara berkembang dan lain-lain. Selain itu dari ilmu pengetahuan tentang Indonesia juga telah lahir Indonesianis- Indonesianis. Pelopornya antara lain George MacTurnan Kahin, William Liddle, Dwigh King dari Amerika Serikat dan antara lain Heberth Feith dan Lance Castle. Untuk lebih jelas tentang tentang ilmu sosial modern baca Miriam Budiardjo, Pudjiastuti, Tri Nuke (Eds), Teori-Teori Politik Dewasa Ini, Rajawali Perss, Jakarta, 1996. Bagong Suyanto, M. Kusna Amal (Eds.), Anatomi dan Perkembangan Teori Sosial, Aditya Media, Tlogomas Malang, 2010. Tentang kebudayaan dalam pembangunan bangsa Lawrence E. Harrison, Samuel P. Huntington (Ed.) (HarvardUniversity), Kebangkitan Peran Budaya: Bagaimana Nilai-nilai Membentuk Kamajuan Manusia, Pustaka LP3ES Indonesia,Jakarta, 2006.

 

 

 

[15]Yudi latif, Merawat Bayangan Kekitaan, Kolom | 30-03-2009 http://cetak.kompas.com/ read/xml/2008/ 12/ 02/ 00164648/ merawat. bayangan. kekitaan.

[16]Tentang pembangunan masyarakat (community development) baca Ife, Jim, Tesoriero, Frank, Comunity Development: Alternatif Pengembangan Masyarakat di Era Globalisasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008; Rukminto Adi, Isbandi, Intervensi Komunitas Pengembangan Masyarakat Sebagai Upaya Pemberdayaan Masyarakat, Rajawali Press, Jakarta, 2008. Tentang konstrutivisme baca Prof. Dr. H. Muhammad Zainuddin, at al., Melejitkan Soft Skill Mahasiswa, Direktorat Pendidikan Universitas Airlangga, 2009, hal. 31-36, Bagong Suyanto, M. Kusna Amal (Eds.), op. Cit., Dr. Paul Suparno, Filsafat Kunstruktivisme dalam Pendidikan, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1997., Tentang Social Capital baca Dr. Nyoman Anita Damayanti, Drg., MS., Membangun Kekuatan Modal Sosial (Social Capital) Universitas Airlangga Menuju World Class University, Pidato Ilmiah pada Sidang Dies Natalis ke 56 Universitas Airlangga 10 Nopember 2010, Robert D. Putnam, “Building Social Capital and Growing Civil Society, Paper on Winter Monday Night Lecture Series, 2001.

 

[17]Penulis Menguraikan Pembangunan Konsep Gotong-Royong dengan wetenschap baru dalam makalah Call Paper untuk Kongres Pancasila III – 31 Mei Dan 1 Juni 2011 di UA dengan judul: Berfikir Kritis-Konstruktif Di Dunia Pendidikan, Mengembangkan Ahklak Mulia dan Karakter  Gotong-Royong dalam Jatidiri Bangsa di Era Globalisasi (Penghayatan dan Pengamalan Nilai-Nilai Pancasila Dalam Rangka Membangun Civil Society Masyarakat Madani Indonesia Dengan Kembali Ke Kitoh 1 Juni 1945) (Slide 2). Nader Hashemi menuliskan tentang masyarakat Madani pada bab I  pada sub bab Individualisme dan Islamisme hal. 86-92.

[18] Sebagai Upaya Operasionalisasi Konsep Gotong-Royong dalam Pendidikan Pancasila di masyarakat dan dunia pendidikan, tentang komisi, fasilitasi dan organisasi digambarkan dalam Slide 8.

 

PANCASILA: ANTARA MITOS RATU ADIL DAN PENDIDIKAN MULTI KULTURAL

Mei 8, 2012

Abastrak

Masalah utama bangsa Indonesia saat ini adalah masalah krisis kebersamaan dalam kondisi multikultural atau masalah kesatuan dan persatuan bangsa dalam mewujudkan Bhineka Tunggal Ika. Yaitu kondisi krisis nilai-nilai masyarakat yang diformulasikan oleh para founding fathers ke dalam suatu sistem nilai yang kemudian disebut Pancasila. Di mana proses sosialisasi nilai-nilai Pancasila sejak awal reformasi terabaikan sehingga menguntungkan bagi ideologi-ideologi predator Pancasila. Yaitu Ideologi liberalisme-kapitalisme sebagai ideologi dominan dengan nilai-nilai individualisme, konsumerisme dan pasar bebas serta ideologi sektarianisme agama Islam sebagai pecundangnya dengan kebenaran tunggal yang menawarkan gerakan radikalisme dan terorisme. Nilai-nilai ideologi-ideologi tersebut justru merajalela tanpa kebijakan pemerintah yang berarti tentang materi, metoda dan strategi sosialisasi nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia.

Nilai-nilai jatidiri bangsa sekarang telah terkubur oleh nilai-nilai ideologi liberalisme atau neo-liberal dan kapitalisme yang erat dengan budaya barat. Nilai-nilai asing yang tersosialisasikan melalui proses modernisasi pendidikan dan pembangunan ekonomi yang selama ini dirujuk dari dan bekerjasama dengan sistem pendidikan dan industrialisasi negara-negara barat. Sehingga proses westernisasi menjadi lebih mudah merasuk kedalam jiwa masyarakat Indonesia. Proses liberalisasi, kapitalisasi dan westernisasi selama ini ternyata, seperti sudah terjadi pada era revolusi industri di Eropa, menghasilkan ketimpangan ekonomi dan dekadensi mental dan moral masyarakat – termasuk merajalelanya korupsi yang oleh Ki Ranggawarsito disebut Jaman Edan. Kondisi tersebut, sebagai ganti komunisme yang sudah tidak populer lagi,  justru menjadi dasar perjuangan kaum Islam radikal dengan dengan kebenaran tunggalnya melalui isue-isue ketertindasan, kemiskinan dan nilai-nilai agama.

Solusi untuk memecahkan masalah multikultural tersebut agar mampu memfasilitasi terbangunnya kesatuan dan persatuan bangsa yang kokoh adalah melalui pendekatan pendidikan. Dengan kurikulum pendidikan yang mencakup subyek-subyek yang dapat memberikan kontribusi penting bagi pembentukan ”keikaan” di tengah ”kebinekaan” yang betul-betul aktual; tidak hanya sekedar slogan dan jargon. Dan, ini pada giliranya akan memperkuat aktualisasi Pancasila”.

 

Kata Kunci: Krisis budaya, Sosialisasi ideologi, Pendidikan Pancasila

 

 

 

 

 

Patologi Budaya

 

“Bangsa ini pernah dikenal sebagai bangsa yang ramah tamah. Bangsa yang santun. Bangsa yang menghargai perbedaan. Bangsa yang menjunjung tinggi nilai gotong royong sebagai nilai kebersamaan. Karakter ini telah berurat dan berakar dalam sistem sosial masyarakat Indonesia sejak lama. Keberadaan sistem nilai tersebut kemudian diformulasikan ke dalam suatu sistem nilai yang kemudian disebut Pancasila. Pancasila merupakan ‘hati nurani karakter bangsa kita yang melekat kuat dalam falsafah hidup bangsa terlembaga dan melekat kuat pula dalam diri bangsa Indonesia, sehingga berkembang menjadi jati diri bangsa.”[1]

Pada era reformasi bangsa Indonesia yang telah berlangsung hampir 15 tahun ini kehidupan berbangsa dan bernegara sudah mengalami perubahan besar di segala bidang. Proses perubahan melalui amandemen konstitusi dan demokratisasi di bidang politik serta efisiensi di bidang ekonomi di atas dasar civil society, untuk menjadi bangsa dan negara semakin diperhitungkan di dunia, ternyata tidak semudah yang dibayangkan dalam implementasinya.

 Proses pemilihan umum (pemilu) misalnya, sebagai salah satu elemen penting kehidupan poltik negara demokratis dalam menentukan pimpinan eksekutif dan anggota legeslatif baik di tingkat pusat maupun daerah, dan sebetulnya sudah menjadi tradisi sejak era Orde Baru, ternyata  menimbulkan problem baru yang menjadi bagian dari krisis nasional. Walaupun sebagai proses politik pemilu di Indonesia secara umum mendapatkan apresiasi dari berbagai penjuru dunia, dalam proses pemilu juga, ternyata berkembang “tradisi” money politics sebagai bagian dari “budaya” korupsi yang sudah berlangsung lama. Suatu perkembangan yang kontra produktif dan membahayakan kehidupan demokrasi sekaligus ekonomi bangsa. Dan tak kalah pentingnya, dan menjadi focus dari tulisan ini, menunjukkan bahwa bangsa kita sedang sakit (patologis) di mana nilai-nilai kebersamaan masyarakat Indonesia sebagai satu bangsa yang telah diformulasikan oleh para founding fathers kita sebagai nilai-nilai Pancasila dalam implementasinya ternyata jauh panggang dari api.

Fenomena unjuk rasa terhadap rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) di mana peran mahasiswa dan generasi muda cukup signifikan demikian pula perdebatan antar elit politik baik di PDR maupun di media masa tentang isu yang sama tidak menunjukkan nilai-nilai kesantunan, keteladanan sebagai proses pendidikan politik masyarakat. Fenomena tersebut  menunjukkan semakin parahnya kondisi kejiwaan (psiko-patologis) yang diderita bangsa Indonesia. Para pengunjuk rasa dan para tokoh partai politik tidak menyadari bahwa apa yang dilakukan dapat merusak atau menghancurkan kredibilitas bangsanya.  Dengan memakai cara berfikir kaum post modernis merujuk pada mitologi yang dikenal cukup luas di Indonesia yaitu ramalan Prabu Jayabaya, apakah fenomena tersebut adalah salah satu bagian dari jaman Kerusakan (Kalabendu) era jaman Kaliyuga atau jaman Edan menurut Ki Ranggawarsito yang harus dialami oleh bangsa Idonesia?.[2]

Ramalan tersebut memang dalam kriteria ilmu modern (empiris-positivis) dapat dikategorikan tidak ilmiah. Namun semua bangsa mempunyai mitosnya masing-masing sebagai salah satu dasar keyakinannya sebagai suatu bangsa. Dari mitos yang kemudian diperkuat dengan nilai-nilai budaya dan agama  dapat diperoleh nilai-nilai baik dan buruk serta benar dan salah sebagai dasar kearifan untuk kehidupan bersama.

Krisis Multidimensi

Sindhunata menuliskan sejak 1997 di samping dilanda krisis ekonomi dan politik, bangsa Indonesia juga mengalami krisis nilai budaya. Krisis nilai budaya  menjadikan bangsa Indonesia kelihatan bodoh, tidak percaya diri dan mudah diperdaya oleh bangsa lain. Pengaruh krisis nilai budaya konflik-konflik di masyarakat dan kejahatan-kejahatan  semakin diwarnai perilaku ganas dan biadab sehingga bangsa Indonesia terancam perpecahan (disintegrasi).

Krisis nilai budaya  menyebabkan hilangnya saling percaya (trust) dan rasa empati atau tepa selira. Menurut Institute of Future Studies for Development di Bangkok (Asia Week, December 1998), saling percaya adalah kunci untuk menyelesaikan krisis. Sementara itu empati adalah jaringan rasa sebagai basis kebudayaan yang memungkinkan terbangunnya kerukunan dan dialog sosial di setiap masyarakat. Dengan saling percaya dan membangun empati masyarakat akan dapat saling tolong menolong dan bekerja sama. (Kompas, 1999).[3]

Sejak disyahkannya secara konstitusional pada 18 Agustus 1945 oleh para founding fathers, Pancasila adalah dasar (falsafah) negara, pandangan hidup kebangsaan dan kenegaraan Indonesia yang mengarahkan bangsa dalam mencapai tujuannya. Menurut Yudi Latif dalam bukunya Negara Paripurna dalam posisi seperti itu, “Pancasila merupakan sumber jati diri, kepribadian, moralitas, dan haluan keselamatan bangsa.”[4]

Yudi Latif merefleksikan kesadaran dan keprihatinan bahwa krisis yang mendera kehidupan kebangsaan saat ini begitu luas cakupannya dan dalam penetrasinya. Dia menggambarkan “Kehidupan kota (polis) yang semestinya menjadi basis keberadaban (madani) terjerumus ke dalam apa yang disebut Machiavelli sebagai “kota korup” (citta corrottisima) atau apa yang disebut Al Farabi sebagai “kota jahiliyah” (almudun al-jahiliyyah). Di republik korup dan jahil persahabatan madani sejati hancur. Tiap warga berlomba mengkhianati bangsa dan sesamanya, rasa saling percaya memudar, hukum dan institusi lumpuh sehingga tidak mampu meredam penyalah gunaan kekuasaan (korupsi), ketamakan dan hasrat meraih kehormatan rendah merajalela, kebaikan dimusuhi, kejahatan diagungkan.[5] Gejala money politics dan fenomena-fenomena turunannya adalah bagian dari krisis yang perlu segera dieliminir dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Krisis dan Ramalan Jayabaya

Krisis yang terjadi di Indonesia juga biasa disebut sebagai krisis multi dimensi kiranya dapat dikatakan merupakan perwujudan apa yang dimaksudkan dalam ramalan Prabu Jayabaya raja kerajaan Pamenang atau Kediri putra mahkota raja Airlangga dari Kahuripan yang salah satu versinya ditulis dalam naskah Serat Centini oleh pujangga keraton Surakarta Ki Ranggawarsito.[6] Ramalan yang dituliskan dalam bentuk bait-bait puisi atau pantun dan dibaca dengan kidung yang terkait dengan kondisi moral bangsa pada jaman Kalabendu dapat digambarkan dari beberapa bait berikut ini:  

Besuk yen wis ana kreta tanpa jaran

Tanah Jawa Kalungan wesi

Prahu mlaku ing dhuwur awing-awang

Kali ilang kedunge

Pasar ilang kumandsange

Iku tadha yen tekane jaman Jaya Baya wis cedhak

Kelak jika sudah ada kereta tanpa kuda (mobil). Pulau Jawa berkalung besi (jalan kereta api). Perahu berlayar di angkasa (pesawat udara). Sungai kehilangan lubuk (sungai mongering). Pasar lehilangan keriuhannya (super market). Itulah pertanda zaman Jayabaya telah mendekat.

Kemudian ada bait berbunyi:

Akeh manungso mung ngutamakke duwit.

Lali kamanungsan.

Lali kebecikan.

Lali sanak lali kadang.

Akeh bapa lali anak.

Akeh anak wani nglawan ibu.

Nantang bapa.

Sedulur pada cidra.

Keluargapadha curiga,

Kanca dadi musuh.

Akeh manungso lali asale.

 

Artinya: Banyak orang hanya mementingkan uang (memlesetkan sila pertama Pancasila – Keuangan yang maha kuasa). Lupa jati kemanusiaan. Lupa hikmah kebaikan. Lupa sanak lupa saudara. Banyak ayah lupa anak. Banyak anak melawan ibu. Banyak anak menantang ayah. Sesama saudara saling khianat. Keluarga saling curiga. Banyak orang lupa asal usulnya.

Pada ramalan lainya khususnya terkait dengan kehidupan beragama disebutkan di mana “para pencuri uang rakyat hidup makmur sejahtera, duduk santai menikmati kemewahan.” Dituliskan:

Maling wani nantang sing duwe omah.

Begal padha ndhugal.

Rampok pada keplok-keplok.

Wong momong mitenah sing diemong.

Wong jaga nyolong sing dijaga.

Wong njamin njaluk dijamin.

Akeh wong mendem donga.

 

Artinya: Pencuri menantang yang punya rumah. Penyamun semakin kurang ajar. Perampok pada tepuk tangan.  Pengasuh memfitnah yang diasuh. Penjaga mencuri barang yang dijaga. Penjamin minta diberi jaminan. Banyak orang mabuk doa.

Dari kalimat terakhir dapat diartikan “banyak orang menelan ajaran agama apa adanya, tanpa dipikirkan atau diresapi maknanya. Sehingga banyak orang kecanduan agama, tetapi mata hatinya tetap buta. Mabuk doa akibatnya. Doa diobral dimana-mana. Dikiranya semua masalah bisa diselesaikan dengan doa. Agama jatuh derajatnya, Cuma jadi alat instan pemuas kebutuhan dunia. Maka amalan agama yang paling laris dijalankan adalah doa biar cepat kaya, doa biar dapat istri cantik jelita, doa biar sukses semua usaha. Orang jadi lupa, bahwa ajaran agama memiliki sebuah kedalaman makna. Terkait dengan  kalimat-kalimat terakhir yang ada hubungannya dengan pemilu dituliskan:

Kana-kene rebutan unggul.

Angkara murka ngombro-ombro.

Agama ditantang.

Akeh wong angkara murka.

Ukum agama dilanggar.

Prikamanungsan diiles-iles.

Kasusilan ditinggal.

 

Artinya, di mana-mana orang berebut kemenangan. Angkara murka menjadi-jadi. Agama ditantang. Banyak orang angkara murka. Membesar-besarkan kedurhakaan. Hukum agama dilanggar. Perikemanusiaan diinjak-injak. Tatasusila diabaikan.

Persaingan untuk berebut simpati rakyat terjadi di mana-mana. Berebut harta benda, berebut kekuasaan. Yang banyak dukungan akan mendapat kemenangan. Semua ditemnpuh tanpa memperdulikan ajaran agama. Hukum agama dilanggar, yang penting tujuan tercapai. Tidak peduli nilai kemanusiaan maupun nilai kesusilaan. Pokoknya menang. Menghalalkan segala cara  (Machiavellian), agar menjadi penguasa.

Akeh janji ora ditetepi.

Akeh wong wani nglanggar sumpahe dewe.

Manungsa padha seneng nyalah.

Ora ngendahake hukum Allah.

Barang jahat diangkat-angkat.

Barang suci dibenci.

(Banyak janji tidak ditepati (janji pemilu). Banyak orang melanggar sumpahnya sendiri (korupsi). Orang-orang saling melempar kesalahan. Tak peduli akan hukum Allah. Yang jahat dijunjung-junjung. Yang suci dibenci.)

Namun Jangka Jayabaya juga meramalkan bahwa Jaman Kalabendu akan dapat dilalui dan bangsa Indonesia akan menemui Jaman Keemasan (Kalamukti) atau jaman Kertayoga. Yaitu jaman datangnya Ratu Adil atau Satriya Piningit atau Heru Cakra. Jaman di mana “… nora ana wong ngresula kurang …” (tidak lagi ada orang yang mengeluh kekurangan). Ratu adil tersebut akan mengajari hal-hal yang baik dan benar (mulang wruh marang bener luput) memerintah secara adil paramarta, tidak suka pada harta (adil paramarta, lumuh mring arta) karena sang Ratu memerintah semat-mata hanya demi kesejahteraan negara, dan keselamatan seluruh dunia (Karana Ratu mung amrih kartaning nagara, raharjaning jagad kabeh), rakyat senang hatinya, karena murah sandang murah pangan (marmane padha enak atine wong cilik dening murah sandang pangan). Tidak ada pencuri dan penjahat. Mereka semua bertobat, takut akan hukuman gaib Ratu Adil … (Tan ana durjana, dursila, padha tobat wedi wilating Ratu Adil …).

Dalam Serat Centini Ratu Adil yang akan memimpin bangsa Indonesia disebutkan “Kedhatone Sonyo Ruri, tegese sepi tanpa sarana apa-apa ora ana kara-kara” artinya bertempat tinggal di daerah yang sunyi sepi, tidak ada prasarana publik dan tidak ada problema apapun. Namun disamping merupakan sosok seorang pemimpin bangsa menurut HOS Tjokroaminoto Ratu Adil dapat pula merupangan wujud suatu sistem kenegaraan. Dikatakan Ratu Adil dapat merupakan “ … Sistem pemerintahan yang dijalankan  … yang mampu mengejawantahkan jiwa dan kemajuan politik dan ekonomi yang diangankan setiap orang.[7] Dalam semangat otonomi daerah, kiranya Ratu Adil dapat diharapkan ditemukan sebagai sosok pemimpin bangsa atau disempurnakan sebagai sistem pemerintahan (konstitusi) di Universitas Gajah Mada (UGM). Karena UGM terkenal sebagai universitas pedesaan yang sonyo ruri di mana Bung Karno dan Bung Hatta melalui pidato-pidatonya menaruh harapan besar agar dasar negara yaitu nilai-nilai Pancasila disemaikan. Yaitu nilai-nilai mutiara yang mampu mewujudkan negara sempuna (lanjutan dari negara paripurna) sebagai Jaman Keemasan Indonesia. Sebagai tokoh disebutkan dalam ramalan Jaya Baya Satria piningit tunjung putih semune pudhak kesungsang/pudhak sinumpet (ksatria tersembunyi yang dapat ditafsirkan sebagai tokoh/ baru bagaikan tokoh yang masih bersih, yang keindahan perangainya bagaikan bunga teratai putih yang wanginya seperti bunga pandan yang masih tersembunyi).[8]

Krisis akibat Keberagaman

 

Seberapa jauh kebenaran ramalan tersebut krisis yang terjadi memang perlu penalaran dan penangan yang serius demi keselamatan bangsa. Menurut Yudi Latif, krisis di Indonesia juga terjadi karena ada masalah pada pertautan politik dari keragaman budaya. Jika politik sebagai simpul pertautan itu rapuh, kekayaan warisan budaya Nusantara tidak bisa di ikat menjadi sapu lidi yang kuat, melainkan sekedar serpihan-serpihan lidi yang berserakan, mudah rapuh.[9]

Tentang kehidupan keberagaman atau multikultural bangsa Indonesia dalam sambutan Prof. Pdt. John Titaley, Th.D Rektor Universitas Kristen Satya Wacana di buku The Dancing Leader menuliskan “Di antara berbagai keragaman di Indonesia, keragaman agama adalah hal yang sangat menguras banyak tenaga, pikiran, harta dan bahkan nyawa anak bangsa. Generasi penerus bangsa ini tampak terjebak dalam penolakan keragaman. Berbagai tindakan dan perlakuan yang tidak menghargai keragaman dalam agama ini telah mencoreng wajah bangsa ini dari potret tamansari sebagaimana dikehendaki oleh para pendiri bangsa. .. Keragaman itu tidak perlu dihilangkan akan tetapi perlu dikembangkan bukan demi keragaman itu sendiri, akan tetapi bagi kebersamaan.”[10]

Hal itu tentunya tidak terlepas dari keberadaan gerakan radikal di kalangan umat Islam sebagai agama mayoritas bangsa Indonesia yang sedikit banyak juga berimbas pada kondisi keberagaman bangsa Indonesia lainnya yaitu dalam hal ras dan kesukuan. Untuk menghadapi krisis tersebut Yudi Latif mengatakan: “Akutnya krisis yang kita hadapi mengisyaratkan bahwa untuk memulihkannya, kita memerlukan lebih dari politics as usual. Kita memerlukan visi politik baru. “where there is no vision, the people perish”.[11]

Komaruddin Hidayat sebagai representasi tokoh masyarakat Islam Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada sambutan dalam buku The Dancing Leader mengatakan Membunuh dan bunuh diri sangat terkutuk. Coba saja perhatikan. Semua doktri dan perintah dalam Islam selalu mengacu untuk membangun peradaban. Semua perintah yang vertikal buahnya adalah perintah untuk melayani dan membantu agenda besar kemanusiaan yang bersifat horizontal. Al Quran secara eksplisit menyatakan, orang yang rajin sembahyang, tetapi tidak peduli pada fakir miskin dan anak-anak yatim bahkan dicap sebagai bermain-main dan mendustakan agama”[12]

Memecahkan Masalah Krisis

Dari uraian di awal tulisan ini yaitu bahwa Pancasila adalah formulasi nilai-nilai yang mendasari perilaku bangsa Indonesiasebagai bangsa yang ramah tamah. Bangsa yang santun. Bangsa yang menghargai perbedaan. Bangsa yang menjunjung tinggi nilai gotong royong sebagai nilai kebersamaan. Dasar dari semua sila Pancasila adalah “gotong-royong”, dasar dari semangat dan sistematika penyusunan UUD pun senafas dengan itu, yakni “kekeluargaan”.[13]

Apabila merujuk kembali ke  belakang sejarah tentang sikap para pemimpin Islam sebagai agama mayoritas rakyat Indonesia tentang Pancasila, dalam hal sikap founding fathers tentang pencoretan 7 kata di Piagam Jakarta menjadi Pembukaan UUD 1945 Bung Hatta mengatakan: “… demi menjaga persatuan bangsa.”[14] “Kekecewaan sebagian pemimpin golongan Islam lebih merefleksikan masih menggeloranya semangat “politik identitas” yang pada umumnya lebih didefinisikan oleh ingatan pedih ke belakang, ketimbang visi ke depan. … kelapangan golongan Islam – untuk menerima pencoretan 7 kata itu memberi jalan kepada bangsa ini untuk memiliki konstitusi yang lebih ideal dan tahan banting.[15] Dengan telah diamandemennya UUD 1945 dan terbangunnya struktur dan fungsi (Struktural fungsional) lembaga-lembaga kenegaraan yang semakin demokratis dan akuntabel di era reformasi, termasuk penyelenggaraan pemilu, maka kondisi Negara Indonesia semakin mendekati apa yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa.

Maka masalah krusial krisis bangsa Indonesia adalah pada masalah kesatuan dan persatuan yang terkait dengan fungsi kebudayaan (cultural fungsional) di masyarakat. Dalam hal ini Azyumardi Azra yang juga representasi intelektual Islam mengatakanPancasila sebagai dasar negara dan garis haluan bersama dalam kehidupan bernegara bangsa Indonesia merupakan aktualisasi tekad bersama segenap warga untuk bersatu di tengah berbagai keragaman. Pancasila adalah deconfessional ideologi, ideologi yang tidak berbasis agama manapun. Sesuai dengan sila pertama, Ketuhanan yang Mahaesa, Pancasila adalah sebuah ideologi yang sesuai dan bersahabat dengan agama. … Pancasila adalah rahmat terselubung bagi bangsa Indonesia sebab Pancasila adalah religiously friendly ideology …”.[16]

Sedangkan solusi yang ditawarkan adalah melalui pendekatan pendidikan yang memecahkan masalah multikultural dan mampu memfasilitasi terbangunnya kesatuan dan persatuan bangsa yang kokoh. Dalam hal ini Azyumardi Azra, dalam The Dancing Leader mengatakan ”… kurikulum pendidikan multikultural mestilah mencakup subyek-subyek seperti: toleransi; tema-tema tentang perbedaan etno-kultural dan agama; … Perumusan dan implementasi pendidikan multikultural di Indonesia … bukan hanya menyangkut masalah isi pendidikan multikultural itu sendiri, tetapi juga mengenai strategi yang akan ditempuh; apakah misalnya dalam bentuk mata pelajaran terpisah, berdiri sendiri (separated), atau sebaliknya ”terpadu” atau terintegrasi (integrated). …, yang diharapkan dapat memberikan kontribusi penting bagi pembentukan ”keikaan” di tengah ”kebinekaan” yang betul-betul aktual; tidak hanya sekedar slogan dan jargon. Dan, ini pada giliranya akan memperkuat aktualisasi Pancasila”.[17]

Kesimpulan

            Jadi masalah utama bangsa Indonesia adalah bagaimana memecahkan masalah krisis kebersamaan dalam kondisi multikultural atau masalah kesatuan dan persatuan dalam mewujudkan Bhineka Tunggal Ika. Karena ternyata sosialisasi nilai-nilai Pancasila sejak awal reformasi terabaikan dan justru nilai-nilai ideologi liberalisme-kapitalisme yang mengajarkan individualisme, konsumerisme serta ideologi sektarianisme agama Islam sebagai pecundangnya yang menganut kebenaran tunggal dan anti mutikulturalisme melalui gerakan radikalisme dan terorisme merajalela. Sehingga kerukunan dan kebersamaan bangsa jauh panggang dari api karena kesenjangan di masyarakat baik di bidang ekonomi maupun budaya tak terjembatani.

Solusi yang ditawarkan Azyumardi Azra untuk memecahkan masalah multikultural tersebut agar mampu memfasilitasi terbangunnya kesatuan dan persatuan bangsa yang kokoh adalah melalui pendekatan pendidikan. Dengan kurikulum pendidikan yang mencakup subyek-subyek seperti: toleransi; tema-tema tentang perbedaan etno-kultural dan agama, strategi yang akan ditempuh, yang diharapkan dapat memberikan kontribusi penting bagi pembentukan ”keikaan” di tengah ”kebinekaan” yang betul-betul aktual; tidak hanya sekedar slogan dan jargon. Dan, ini pada giliranya akan memperkuat aktualisasi Pancasila”.[18] Menciptakan pemerintah yang “… mulang wruh marang bener luput … adil paramarta, lumuh mring arta …karana .. mung amrih kartaning nagara, raharjaning jagad kabeh”, dan rakyat menjadi “… nora ana wong ngresula kurang marmane padha enak atine wong cilik dening murah sandang pangantan ana durjana, dursila …. Mewujudkan masyarakat kekeluargaan dan gotong-royong.

 

 

 

 

 

DAFTAR RUJUKAN

1. Azra, Azyumardi, ‘Jati Diri Indonesia: Pancasila dan Multikulturalisme’, dalam Sutanto, Yusuf (Ed.) The Dancing Leader, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2011. hal. 16-33.

2.  Azra, Azyumardi, ‘Isam Indonesia: Kontribusi pada Peradaban Global’, PRISMA, Vol. 29, No. 4 Oktober 2010. hal. 83-91.

3. Dialog PRISMA, Vol. 29, No. 4 Oktober 2010, Siti Musdah Mulia: ‘Jadikan Agama sebagai Landasan Etis, Bukan Politis’. Hal. 92-101.

4. Feith, Herbert dan Castle, Lance, 1996. Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965. Jakarta: LP3ES.

5.  Wisnu Harimurti, Mutiara-mutiara Terpendam dari Jawa: 12 Serat dan Babat Warisan Orang Jawa,  IN AzNa Books, Yogyakarta, 2011.

6. Hasan, Noordin, ‘Ideologi, Identitas dan Ekonomi politik Kekerasan: Mencari Model Solusi Mengatasi Ancaman Radikalisme dan Terorisme di Indonesia’, PRISMA, Vol. 29, No. 4 Oktober 2010. hal. 3-24.

7. Hashemi, Nader, “Islam, Sekularisme, dan Demokrasi Liberal: Menuju Teori Demokrasi dalam Masyarakat Muslim”, terjemahan Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Januari 2011.

8. Kompas, Merajut Nusantara: Rindu Pancasila, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, Oktober 2010.

9. Latif, Yudi, Negara Paripurna: Historisitas, Nasionalitas dan Aktualitas Pancasila, Gramedia Pustaka Utama (GPU), Jakarta, 2011.

10. Latif, Yudi, Merawat Bayangan Kekitaan, Kolom| 30-03-2009  http://cetak. kompas.com/ read/ xml/ 2008/ 12/ 02/ 00164648/ merawat. bayangan. kekitaan.

11. Marwoto, M., Ramalan Jayabaya: Apa Relevansinya dengan ramalan Suku Maya, Pustaka Mahardika, Yogyakarta, 2011;

12. Prisma, Vol. 29, Oktober 2010, ‘Islam dan Dunia: Perjumpaan di Tengah Perbenturan’, LP3ES, Jakarta.

13. Sindhunata, “Krisis Kebudayaan Jawa”, Kompas, 10 Mei 1999.

14. Supriyanto, Kelik, Ramalan Sabdopalon, Memayu Publishing, Yogyakarta, 2010.

15. Susan, Novri, ‘Memperjuangkan Masyarakat Inklusif’, Kompas, 22 Februari, 2012.

16. Sutanto, Yusuf (Ed.) The Dancing Leader, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2011.

17. Triharso, Ajar, ‘Pendidikan Pancasila, pembangunan Karakter Bangsa (National and Caracter Building) Mewujudkan masyarakat Gotong Royong? Kembali ke Qitoh 1 Juni 1945!’, LITERASI, Vol. 3, No. 3, 2011.

18. Tri Puspaningsih, Ni Nyoman, Santoso, Listiono (eds.), Airlangga Caracter, Direktorat Pendidikan UA, 2012.

19. Yusuf Wijaya, Agus, H. Lc. (Ed.), Serumpun Bambu: Jalan Menuju Kerukunan Sejati, Pondok Pesantren Ngalah, 2006.


[1]Ni Nyoman Tri Puspaningsih, Listiono Santoso (eds.), Airlangga Caracter, Direktorat Pendidikan UA, 2012, hal. 9-12.

 

[2]Tentang ramalan Jayabaya: Kelik Supriyanto,  Ramalan Sabdopalon, Memayu Publishing, Yogyakarta, 2010; M. Marwoto, Ramalan Jayabaya: Apa Relevansinya dengan ramalan Suku Maya, Pustaka Mahardika, Yogyakarta, 2011; Wisnu Harimurti, Mutiara-mutiara Terpendam dari Jawa: 12 Serat dan Babat Warisan Orang Jawa,  IN AzNa Books, Yogyakarta, 2011.

 

[3]Sindhunata, “Krisis Kebudayaan Jawa”, Kompas, 10 Mei 1999.

[4]Dalam tulisan ini saya menyetujui dan memakai sebagai rujukan tulisan visioner Yudi Latif  tentang Pancasila. Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Nasionalitas dan Aktualitas Pancasila, Gramedia Pustaka Utama (GPU), Jakarta, 2011, hal. 41.

[5]Yudi Latif, Ibid., hal. 48-49.

[6] Kelik Supriyanto, op.cit., hal. 61-93. ; M. Marwoto, op.cit., hal. 115-162.

[7]Kelik Supriyanto, Op. Cit., 106 dan 119.

[8]M. Marwoto,  op. cit., hal. 23.

[9] Yudi Latif, Op. cit., hal. xix.

[10] Yusuf Sutanto, (Ed.) The Dancing Leader, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2011, xxii-xxiii.

[11] Yudi Latif, Ibid., hal. 49.

[12] Yusuf, Sutanto, (Ed.), Ibid., hal. xviii.

[13] Yudi Latif, Op. cit., hal.  8.

[14] Yudi Latif, Op. cit., hal.  36.

[15] Yudi Latif, Op. cit., hal.   37.

[16] Kompas, Merajut Nusantara: Rindu Pancasila, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, Oktober 2010,  hal. 9-12.

[17]Yusuf Sutanto, (Ed.), Ibid. ‘Jati Diri Indonesia: Pancasila dan Multikulturalisme’, hal. 31-32.

[18]Sebagai usaha elaborasi aktualisasi Pancasila melalui proses pendidikan dengan pendekatan pembangunan masyarakat (comdev.) baca Ajar Triharso, ‘Pendidikan Pancasila, Pembangunan Karakter Bangsa (Nation Building) dan Mewujudkan Masyarakat Gotong-royong? Kembali ke Qitoh 1 Juni 1945!’, Bab II naskah yang telah dikirimkan kepada Ketua MPR-RI, DPR-RI Komisi X, Presiden RI dan PSP UGM – Ajar Triharso, “Menyelamatkan Pancasila: Menyempurnakan Konstitusi Dengan Konvensi Berdasarkan Nilai-Nilai Pancasila (Dengan Dunia Pendidikan Sebagai Leading Sector Dan PT Sebagai Pelopor)”, Komisi Pengkajian/Pusat Studi Jatidiri Dan Kebangsaan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, Universitas Airlangga, 2011, dan Topik Utama  (1) dalam LITERASI, Vol. 3,No. 3, November 2011 diterbitkan Dewan Pendidikan Jawa Timur.

 

MAKANAN DAN MINUMAN AMERTA

November 16, 2010

AIRLANGGA, DEWA WISNU DAN BOGA AMERTA

Universitas Airlangga (UA) tentunya tidak lepas dari keberadaan Prabu Airlangga raja kerajaan Kahuripan dengan ibu kota di Ujung Galuh atau Surabaya. Prabu Airlangga merupakan pemimpin Indonesia pertama di mana dewa Wisnu menitis dalam rangka menyelamatkan dunia (jagad raya). Dalam ceritera epos Mahabharata dan Ramayana dikisahkan mitos tentang tiga serangkai dewa (trimurti) pembantu Tuhan Yang Maha Esa dan Kuasa (YMEK) atau Sang Yang Wenang yang mempunyai tugas berbeda di dalam mengelola proses perubahan (change) pembangunan (development) jagad raya. Yaitu dewa Brahma sebagai dewa yang bertugas dalam proses penciptaan (creator), dewa Siwa bertugas dalam proses perusakan (destroiyer) dan dewa Wisnu adalah dewa yang bertugas sebagai penjaga keberlanjutan dan keteraturan (continuity and order).

Dalam proses perubahan jagad raya tersebut umat manusia harus dilindungi dari sifat perusak dewa Siwa agar tidak “kebablasan” menuju kehacuran (disaster). Dewa Wisnu harus menyelamatkan jagad raya dari kerja dewa Siwa dengan Air Amerta (Amrita Woter). Sang Yang Wenang menciptakan Air Amerta atau air kehidupan (kahuripan) yang menjadikan sakti dan hidup abadi (eternal) bagi siapa yang meminumnya. Untuk itu dewa Wisnu harus mencari Air Amerta dan setelah berhasil, dengan naik burung Garuda diikuti dan berbagi tugas dengan istrinya Dewi Lakshmi atau di Indonesia di sebut Dewi Sri yang di kenal sebagai Dewi Padi (Goddess of Rice), datang ke Indonesia (Jawa Dwipa) yang terpilih menjadi bangsa yang kelak bertugas menyelamatkan jagad raya dengan menitis pada diri Prabu Airlangga sebagai pemimpin Indonesia waktu itu.

Dikisahkan air Amerta tersembunyi di dalam lautan susu Ksira (sea of milk) dan untuk memperolehnya lautan susu harus diaduk melalui kerjasama yang baik antara dewa Wisnu dengan makhluk-makhluk sahabat para dewa. Kesepakatan terjadi antara dewa Wisnu, raksasa Daitya dan ular naga Vasuki dengan memilih gunung Mandara sebagai belahan pengaduk. Untuk mengangkat gunung Mandara ke tepi laut Dewa Wisnu kemudian menjelma menjadi kura-kura raksasa bernama Akupa sedangkan naga Vasuki/Basuki bertugas sebagai tali pengaduk dan raksasa Daitya membantu mengaduknya.

 

 

Pengertian apa yang ada di balik mitos tersebut adalah ibarat seluruh IPTEK yang telah ditemukan di dunia sebagai lautan susu dan UA sebagai lembaga pemroses IPTEK nasional dengan nama besar Prabu Airlangga harus mampu meneruskan misi dewa Wisnu menemukan IPTEK ”sakti” bak Air Amerta agar bangsa Indonesia yang sudah mengikrarkan dalam Pembukaan UUD 1945 untuk menjadi penyelamat dunia yaitu “ikut menciptakan perdamaian dunia yang abadi dan keadilan sosial” (Alinea IV). IPTEK yang berdaya dan berhasil guna bagi pembangunan masyarakat Indonesia menuju bangsa dan negara yang “tata tentrem karta raharja” sebagai modal melaksanakan tugas globalnya “memayuhayuning buwana”.

Seperti diuraikan di muka tugas Dewi Sri adalah melengkapi tugas dewa Wisnu menyebarkan Air Amerta dengan fokus pada pengembangan makanan yaitu agar hasil petani dan nelayan Indonesia dapat menjadi Boga Amerta. Untuk itu dengan memakai kriteria kelembagaan LPPM–UA di antara sivitas akademika UA sudah terbentuk peer group ”sahabat dewa Wisnu” yaitu di RS Graha Amerta. Peer Group berikutnya adalah dalam rangka membantu dewi Sri menyiapkan ”makanan sakti” tersebut. Peer group yang berkembang dibawah vocasional interdisipliner dengan kompetensi di bidang boga yaitu D3 Pariwisata UA dan dibantu oleh jurusan-jurusan di UA dengan kompetensi terkait. Satu sama lain kemudian disinergikan serta diramu dengan penemuan-penemuan Dr. Gustavo serta Dr. Adamo untuk menjadi suatu unit usaha jasa di bidang boga.

Patung Airlangga yang didewakan berupa Dewa Wisnu mengendarai Garuda, ditemukan di desa Belahan, koleksi Museum Trowulan, Jawa Timur.

Dewa Wisnu dan Dewi Laksmi atau Dewi Sri membawa Air Amerta mengendarai Garuda. Lukisan dari Rajasthan, dibuat sekitar abad ke-18.

PENGUATAN PERAN PENDIDIKAN DALAM UPAYA PENINGKATAN AKHLAK MULIA DAN PEMBANGUNAN KARAKTER BANGSA (Mengimplementasikan Nilai-nilai Pancasila dalam rangka Membangun Social Capital Bangsa dengan Paradigma Kritis Konstruktif menghadapi Globalisasi) Pylot Project Universitas Airlangga (UA) dan Jawa Timur Ajar Triharso Ketua KPJK-UA Komisi Pengkajian Jatidiri dan Kabangsaaan (KPJK) Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat (LPPM) Universitas Airlangga (UA) 2010

Oktober 25, 2010

NASKAH DIPERSIAPKAN SEBAGAI AKADEMIK REASONING UNTUK PEMBANGUNAN JATIDIRI

 

Draft

 

 

 

PENGUATAN PERAN PENDIDIKAN DALAM UPAYA PENINGKATAN AKHLAK MULIA DAN PEMBANGUNAN KARAKTER BANGSA[1]

 

(Mengimplementasikan Nilai-nilai Pancasila dalam rangka  Membangun Social Capital Bangsa dengan Paradigma Kritis Konstruktif menghadapi Globalisasi)

 

Pylot Project

Universitas Airlangga (UA) dan Jawa Timur

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajar Triharso

Ketua KPJK-UA

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Komisi Pengkajian Jatidiri dan Kabangsaaan (KPJK)

Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat (LPPM)

Universitas Airlangga (UA)

2010

PRAKATA

Visi dan misi utama pemerintah era reformasi adalah membuat kebijakan menggantikan regime Orde Baru dengan orde Reformasi. Kebijakan dalam rangka mengubah sistem  pemerintahan otoriter dan sentralistis menjadi sistem yang lebih demokratis dan memberi otonomi lebih luas kepada daerah dan masyarakat serta membangun civil society. Namun implementasinya ternyata banyak ”kebablasan” karena roh neo/liberal, sektarian dan komunal sudah dengan sigap masuk ke dalam jiwa bangsa Indonesia dalam euforia reformasi. Para protagonis-protagonis dari roh-roh, yang sejak sebelum kemerdekaan memang  sudah menjadi predator Pancasila, dengan situasi yang ada secara sistematis berusaha mempengaruhi berbagai kebijakan pemerintah di dalam melaksanakan reformasi. Salah satu isu krusial dalam hal ini adalah tentang pendidikan Pancasila sebagai bagian utama dari usaha pengembangan soft skill kebersamaan dalam rangka membangun social capital bangsa, di mana masyarakat diberi pemahaman bahwa pendidikan Pancasila sebagai biang keladi krisis. Pendidikan Pancasila oleh BP7 dianggap menjadikan bangsa Indonesia bernasib sial dan muncul istilah Pancasial. Sehingga banyak masyarakat mendukung pemikiran para predator Pancasila ikut melampiaskan ”dendam kesumat” kepada Orde Baru dan akhirnya berhasil mengeliminir BP 7 dan P4 tanpa perlu menyiapkan institusi dan sistem penggantinya. Salah satu hasilnya adalah dalam jangka waktu 5 tahun setelah reformasi terbit UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas yang tidak mencantumkan lagi pendidikan Pancasila dalam kurikilum di segala jenis dan jenjang pendidikan.

Celakanya para pembuat dan pelaksana kebijakan pendidikan baik di tingkat nasonal, daerah dan lokal memilih ”tiarap” demi keselamatan jabatan masing-masing dan mencari aman dengan memfokuskan pada pengembangan hard ware dan hard skill di instansi masing-masing. Walaupun berbagai protes dilancarkan terutama oleh lembaga-lembaga dan individu-individu yang tetap concern pada perlunya diselenggarakan pendidikan Pancasila khususnya pusat studi-pusat studi Pancasila dan para guru dan dosen pendidikan Pancasila. Menanggapi protes yang ada di antara pembuat kebijakan yang sudah ”kerasukan” roh-roh predator Pancasila seolah sepakat bahwa yang melakukan protes hanyalah dari kelompok-kelompok dan individu-individu yang kehilangan lahan pendapatan dari kegiatan pengkajian nilai-nilai dan mengajar mataajar pendidikan Pancasila. Hal tersebut membuktikan bahwa  paham neo/liberal, sektarian dan komunal berhasil mempengaruhi pemikiran para pembuat kebijakan di bidang pendidikan dan meciptakan protagonis-protagonis baru.

Oleh sebab itu perlu diadakan evaluasi secara menyeluruh apa yang telah dilakukan oleh gerakan ”pro Pendidikan Pancasila” dengan mengembalikan pamor Pancasila dari Panca nilai-nilai pembawa sial menjadi Panca nilai-nilai pembawa keberuntungan bagi bangsa Indonesia dan dunia. Berbagai saresehan, seminar, simposium dan kongres telah diselenggarakan dan dari sana telah lahir pemikiran, rekomendasi yang pada intinya menghendaki diselenggarakannya Pendidikan Pancasila di dunia pendidikan dan masyarakat secara sistematis dan terlembaga.

 

 

 

Ajar Triharso

KATA PENGANTAR

Pada tangga 5 Januari 2010 telah diterbitkan Surat Dirjen Dikti No. 06/D/T/2010 tentang Penyelenggaraan Perkuliahan Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi (PT). Beberapa pertimbangan terbitnya surat tersebut antara lain hasil dari diselenggarakannya beberapa pertemuan nasional yang membicarakan tentang pendidikan Pancasila yang terabaikan dalam UU 20/2003 tentang Sisdiknas. Pertama, Simposium Nasional Pendidikan Pengembangan Kepribadian ke 3 tahun 2006 di Semarang dan ke 4 di Surakarta 2008 yang menghasilkan tuntutan perlunya revitalisasi pendidikan Pancasila di PT sebagai mata kuliah yang berdiri sendiri. Kedua, Simposium Nasional Pendidikan Pancasila sebagai Pendidikan Kebangsaan pada tahun 2009 di Bandung yang merekomendasikan perlunya diselenggarakan kembali mata kuliah Pendidikan Pancasila di PT secara berdiri sendiri dan perlu adanya penguatan yuridis dari pemerintah kepada para pimpinan PT. Ketiga, Kongres Pancasila ke 1 2009 di Universitas Gadjah Mada (UGM) dengan rekomendasi pendidikan Pancasila tidak hanya di PT namun secara komprehensif dan sistematis perlu ada pola pendidikan Pancasila di segala jenjang dan jenis pendidikan serta di masyarakat secara terlembaga sebagai pengganti BP7 dan atau P4. Berikuti ini akan diuraikan beberapa hasil pertemuan sejenis (simposium, saresehan dan kongres) dan rekomendasi para penyelenggara dan pendapat dari para pembicara yang kiranya dapat menjadi pertimbangan untuk pembuatan kebijakan lebih operasional.

Saresehan Memperingati Hari Lahirnya Pancasila: Tema “Pancasila sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan dan pembangunan Bangsa” 14-15 Agustus 2006, yang diselenggarakan Lemhannas, LIPI, UGM yang membicarakan keberadaan UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas tidak lagi memfasilitasi pendidikan Pancasila masuk dalam kurikulum di dunia pendidikan dan di masyarakat sehingga menimbulkan berbagai reaksi dari masyarakat yang percaya pada Pancasila sebagai ideologi pemersatu bangsa Indonesia khususnya guru dan dosen pendidikan Pancasila di seluruh tanah air. Rektor UGM dalam sambutannya mengatakan: ”Keberadaan UU No. 20 tahun 2003 Tentang Sisdiknas tidak mewajibkan lagi pendidikan Pancasila masuk dalam kurikulum pendidikan nasional merupakan bagian tak terpisahkan dari proses “colonization of the mind” bangsa Indonesia  oleh kebudayaan asing”.

Kondisi tersebut membawa pendidikan bangsa Indonesia semakin ”salah asuhan” yang sangat mempengaruhi perkembangan kepribadian generasi muda bangsa. Pendidikan di Indonesia semakin lebih menghayati paradigma ilmu milik budaya bangsa lain. Simposium kemudian menyimpulkan bahwa hal itu terjadi karena keberhasilan penetrasi global neoliberal yang semakin gencar khususnya setelah berakhirnya Perang Dingin. Oleh sebab itu peserta sepakat untuk dilakukan revitalisasi dan reaktualisasi Pancasila termasuk di pendidikan tinggi (PT). PT sebagai lapisan masyarakat dan institusi yang mempunyai tugas mencerdaskan kehidupan bangsa harus proaktif berpartisipasi menyelamatkan ideologi bangsa yang sedang dalam bahaya. Paling tidak memperjuangkan mewujudkan Pancasila menjadi paradigma ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) nasional.[2]

Saat ini kiranya kondisi moral dan kepribadian bangsa Indonesia tidak hanya mengalami  degradasi dan tanpa arah namun sudah mencapai “stadium” lanjut yang lebih berbahaya karena terjadi perilaku ketidak rukunan dan perpecahan serta posisi subordinat dengan bangsa lain dalam banyak hal. Sementara itu UU Sisdiknas “berhasil” membawa pendidikan di Indonesia dengan kurikulum tanpa dasar pengembangan mental dan moral serta pemahaman ideologi nasional yang komprehensif dan sistematis. UU Sisdiknas tidak memfasilitasi dunia pendidikan dan masyarakat untuk mampu membangun filter yang kuat menghadapi derasnya arus nilai-nilai budaya asing.

Kesimpulan dari Saresehan antara lain bahwa Pancasila adalah ideologi yang merupakan sebuah orientasi yang berfungsi memberikan arah ke mana suatu bangsa dan negara harus dibangun. Pancasila harus dan dapat memainkan perannya sebagai basis paradigmatik untuk menetukan apa saja yang menjadi “subyect matter” dan dialektika hubungan antara berbagai “subyect matter” untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang lebih “membebaskan” (liberating) dan lebih “mencerahkan” (enlighting).

Untuk menjembatani kesenjangan antara ideal normatif dan implementasinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara perlu kesadaran dan komitmen “citizenship” dengan kemampuan penalaran publik (public reasoning) yang kuat dan keadaban demokrasi yang diwujudkan melalui pengembangan struktur dan mekanisme demokrasi dalam kehidupan politik, ekonomi, sosial dan budaya.[3]

Kongres Pancasila 1: Tema “Pancasila dalam berbagai Perspektif” 30 Mei – 01 Juni 2009 diselenggarakan UGM – Mahkamah Konstirusi (MK), menyadari kondisi tersebut banyak kalangan melakukan upaya agar Pancasila segera mendapatkan “perlindungan” secara serius termasuk mengembalikan secara legal pendidikan Pancasila masuk lagi ke dalam kurikulum pendidikan dengan materi dan metode pendidikan dan sosialisasi yang baik dan benar. Prof. Mahfud MD dalam naskah Key Note dengat mengutip jajak pendapat Litbang Kompas 30/9-2008, 96,6% Pancasila haruslah dipertahankan sebagai dasar negara, 92,1% Pancasila sebagai landasan terbaik untuk bangsa Indonesia. Hampir semuanya mengusulkan agar reformasi itu diorientasikan pada upaya mengiplementasikan nilai-nilai Pancasila dalam berbagai bidang kehidupan (p. 7-8).[4] Menurut Prof. Dr. Mahfud MD dalam penjelasan pidatonya mengatakan: “UU No. 20 tahun 2003 yang tidak memfasilitasi pendidikan Pancasila menyalahi konstitusi oleh sebab itu dapat dilakukan yudicial review”.

Dalam pernyataan yang lain Prof. Dr. Mahfud MD juga menyatakan: “Dari semua gagasan dan pemikiran ini mengarah kepada kesimpulan dan keputusan bahwa kita, bangsa kita, harus kembali kepada Pancasila. Marilah kita maknai kembali Pancasila, marilah kita hidupkan kembali Pancasila, marilah kita segarkan kembali pemahaman mengenai Pancasila, agar perjalanan sejarah bangsa kita makin mengarah kepada terwujudnya tujuan bernegara sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Seiring dengan itu, hendaknya kita semua memulai menunaikan hal-hal yang dapat kita laksanakan sesuai dengan pemahaman kita mengenai Pancasila, termasuk melaksanakan kesepakatan peserta forum Kongres Pancasila ini. Kita tidak perlu harus menunggu ada pemahaman yang komprehensif mengenai Pancasila, baru kita melaksanakannya.[5]

Dalam Kongres yang sama Prof. Dr. Mohammad Noor Syam, SH. Guru besar Emiritus Pendidikan Pancasila dan Ketua Laboratorium Pancasila Universitas Negeri Malang dalam makalahnya yang berjudul “Sistem Filsfat Pancasila: Tegak sebagai Sistem Kenegaraan Pancasila-UUD Proklamasi 1945” menyatakan: “Negara berkewajiban membentuk kelembagaan yang melaksanakan visi-misi pendidikan dan pembudayaan Filsafat Pancasila; dengan alternatif: lintas kelembgaan Departemental dan non Departemental, terutama: Depdiknas, Depag, Depdagri; Lemhannas, Wantannas, LIPI; Meneg. Pemuda dan Olah raga, Menkominfo. Kelembagaan dimaksud dapat bekerjasama dan atau dibantu oleh berbagai PTN-PTS yang diperlukan”.[6]

Dr. B. Herry Priyono, Dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara dalam makalahnya yang berjudul “Agenda Indonesia, Sebuah bangsa hanya dibentuk dengan sengaja” menyatakan: “Menghadapi “kesengajaan” fundamentalisme agama (religius fundamentalism) dan fundamentalisme pasar (market fundamentalism) dengan membangun “kesengajaan” dengan kebijakan publik (public policy) membentuk Indonesia sebagai bangsa.[7] (p. 182)

Prof. Dr. Sudjito bin Atmoredjo, SH. Guru Besar P. Pasca Sarjana Fak Hukum UGM dalam makalahnya yang berjudul “Negara Hukum dalam Perspektif Pancasila” menyatakan Perspektif Pancasila itu adalah memupuk budaya musyawarah dalam “mengeluarkan madu dari sarang lebah” untuk diminum bersama-sama. “…Melalui musyawarah, suatu bangsa dapat meraih apapun yang dipandang terbaik bagi bangsanya.”[8] (p. 202)

Prof. Dr. Kaelan, M.Si. Fak Filsafat UGM dalam makalah yang berjudul “Relasi Negara dan Agama dalam Perspektif Pancasila” tentang hubungan antar umat beragama menyatakan : “Negara … cukup menjamin secara yuridis dan memfasilitasi agar warga negara dapat menjalankan agama dan beribadah dengan rasa aman, tenteram dan damai. Dalam rangka melindungi keselamatan masyarakat (public savety), ketertiban masyarakat (public order), etika dan moral masyarakat (etic and moral public), kesehatan masyarakat (pubic healt), melindungi hak dan kebebasan mendasar orang lain (the fundamental right and freedom order).[9]

Drs. Lukman Hakim Saifuddin Ketua Fraksi PPP DPR RI dengan makalah “Indonesia adalah Negara Agamis” menuliskan: “Pancasila…memantapkan pisisi agama-agama di Indonesia sebagai “kerohanian yang dalam” yang menopang kohesi social, daya tahan, dam keutuhan NKRI.”[10] (p. 274)

Dr. AA GN Ari Dwipayana Dosen Jurusan Ilmu Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM dalam makalahnya yang berjudul ”Kembali ke Hakekat Res Publika” menyatakan”… proses demokratisasi butuh kehadiran active citizen: menyangkut partisipasi warga dalam proses politik pemerintahan. Dan civil society: dirumuskan sebagai kehadiran komunitas kewargaan yang bersifat sukarela, mengatur dirinya sendiri dan tidak tergantung pada Negara. Bisa menjadi wadah bagi masyarakat mengatasi persoalan bersama, memperjuangkan kepentingan bersama serta sekaligus bisa berperan sebagai instrument control warga (independent eye of society) terhadap Negara dalam penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari. (p. 306) … Pemerintah yang dikembalikan pada publik membuat kita bisa tetap memilih berada dalam rumah publik”.[11] (p. 309)

Prof. Dr. Sri Edi Swasono Guru Besar Fak Ekonomi UI dalam makalah yang berjudul ”Menegakkan Ekonomi Pancasila” menyatakan: ”Pancasila sebagai common denominator yang cukup menjangkau nilai-nilai local-kultural dan universal, kekuatan konvergen yang membentuk mutualisme dan kesatuan bangsa yang solid, dengan demikian dapat menghindarkan gerak-gerak divergensi yang disintegratif dalam pluralisme dan multikulturalisme Indonesia”.[12] (p. 354)

Prof. Dr. H. Soedijarto, M.A. Guru Besar Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) dalam makalahnya yang berjudul ”Pancasila sebagai Filsafat dasar dan Ideologi Negara Kebangsaan dan Negara Kesejahteraan Republik Indonesia” menyatakan: ”Apa yang terjadi di Indonesia adalah semakin jauhnya kita dari prinsip-prinsip negara kesejahteraan dan ini berarti semakin diingkarinya Pancasila dalam kehidupan bernegara. … Dibutuhkan adanya upaya yang sungguh-sungguh untuk melakukan revitalisasi ideologi Pancasila dan menterjemahkan ideologi tersebut dalam kebijakan publik dan menerapkannya secara konsisten dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara.[13]

Deklarasi Bulaksumur

Kongres menghasilkan 5 poin deklarasi dan dua poin terakhir adalah: 4. Pemerintah harus bertanggung jawab untuk memelihara, mengembangkan, dan mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila dalam seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, baik dalam bidang ekonomi, sosial, politik, hukum, kebudayaan maupun aspek-aspek kehidupan lainnya. 5. Negara harus bertanggung jawab untuk senantiasa membudayakan nilai-nilai Pancasila melalui pendidikan Pancasila di semua lingkungan dan tingkatan secara sadar, terencana, dan terlembaga.[14]

Saresehan Pancasila dalam Kegiatan Peringatan Hari Kebangkitan Nasional dan Hari Lahirnya Pancasila: Tema “Nasionalisme dan Pembangunan Karakter Bangsa” 19-20 Mei 2010, yang diselenggarakan Pusat Studi Pancasila (PSP) UGM dengan Key Note Speaker yaitu As’ad Said Ali deputi Kepala BAKIN dengan djudul ”Nasionalisme, Kewargaan dan Pancasila” mengutip JS. Furnivall “… bahwa bangsa ini akan terjerumus ke dalam anarki jika gagal menemukan formula pluralisme. Inilah pentingnya kita kembali peduli kepada Pancasila, …. Pancasila harus menjadi tujuan etis setiap kebijakan, untuk membangun kehidupan berbangsa dan bernegara”.[15] (p. 8)

Dr. Sindung Tjahyadi Ketua Pusat Studi Pancasila UGM dalam makalahnya menyatakan “Nasionalisme Bhineka Tunggal Ika” sebagai landasan pembangunan karakter bangsa melalui model demokrasi deliberasi sungguh merupakan proyek bersama seluruh elemen bangsa Indonesia. (p. 2) … Tujuan umum demokrasi deliberatif adalah menyediakan konsepsi yang paling kuat untuk menyelesaikan ketidak sepakatan moral dalam politik, dan dengan demikian mengajukan legitimasi putusan-putusan kolektif. (p. 15)

Setelah Prof. Dr. Muchlas Samani dan Panglima TNI Jendra Joko Susanto menjelaskan bagaimana metode dan pendekatan pengembangan karakter bangsa di dunia pendidikan dan di jajaran TNI, Dr. Heri Santoso dari Fak Filsafat UGM dari hasil penelitian yang berjudul “Inovasi dan Tantangan Pembelajaran PKn pada Jenjang Pendidikan Menengah  dalam rangka menumbuhkan jiwa nasionalisme dan membangun karakter bangsa” menyatakan: “Antara mata pelajaran PKn dan mata pelajaran lain ada sinergi. PKn sebagai fungsi primer dan mata pelajaran lain memperkokoh PKn”. (p. 14)

Dr. Yudi Latif Dosen Univ. Paramadina dan Dewan Pembina Nuercholish Madjid Society dan Direktur Eksekutif Reform Institute dengan makalah yang berjudul ”Peran Media dalam Pendidikan Karakter” menuliskan: ”Akutnya krisis yang kita hadapi mengisyaratkan kegagalan sosialissi nilai-nilai Pancasila sebagai karakter bangsa. … kita memerlukan penguatan kembali karakter bangsa melaui penyadaran, pemberdayaan dan pembudayaan nilai-nilai dan moralitas Pancasila”. (p. 2) Mengutip Thomas Lickona dari buku Educating for Character (1991): … pendidikan karakter memerlukan persambungan antara peran sekolah dengan peran komunitas, serta agen-agen sosial lainnya. Komunitas harus menolong sekolah untuk memahami nilai-nilai yang penting lantas mendukung program-programnya. ”Jangan pernah mencoba menyusun program pendidikan karakter tanpa melibatkan komunitas terlebih dahulu, karena tatkala anda mulai menjalankan program akan ada suara yang mempertanyakan, nilai-nilai siapa yang diajarkan? (p. 5) … Pemulihan karakter bangsa ini pada gilirannya harus berakar kuat pada proses persemaian dan pembudayaan dalam proses belajar sosial. Proses belajar sosial sejak dini, baik secara formal, non-formal maupin informal, menjadi tumpuan untuk melahirkan manusia baru Indonesia dengan karakter yang kuat.

Kongres Pancasila 2: Tema ”Kosistensi Nilai-nilai Pancasila dalam UUD 1945 dan Implementasinya” 31 Mei-1 Juni 2010 diselenggarakan Univ. Udayana  – MPR RI. Prof. RM.A.B. Kusuma Dosen FH UI dalam makalahnya ”Konsistensi Nilai Pancasila dalam Penyelenggaraan Negara” menyatakan: ”Mengingat bahwa MPR akan melakukan sosialisasi tentang Pancasila, seyogyanya hasil Kongres Pancasila ini segera diolah untuk digunakan MPR dan Depdiknas untuk memperbaiki buku ”Kewarganegaran” dan meningkatkan pengetahuan para pengajarnya”.[16]

Prof Dr. Suhartono W. Pranoto Guru Besar FIB UGM dalam makalahnya yang berjudul ”Aplikasi dan Konsistensi Pancasila: Pasang-Surut Perspektif” menyatakan: ”Menurunnya aplikasi dan konsistensi Pancasila dapat diusahakan kembali bagaimana Pancasila dapat ditransformasikan kembali kepada masyarakat yang substansinya mirip P4 dan dilakukan dengan cara nonindoktrinasi. … Mentransformasi Pancasila dengan cara nonindoktrinatif diperkirakan masyarakat akan ingat kembali dan menemukan kembali bagaimana berbangsa dengan ideologi Pancasila yang matab. (p. 14)

Prof. Dr. Ketut Rindjin Gurbesar Unud dengan makalah ”Tinjauan Filosofis dan Penjabaran Nilai-nilai Pancasila dalam UUD 1945 dan Implementasinya” menyatakan:  ”UU Sisdiknas 20/2003 – SK Dirjen Dikti 43/44/2006 … Adalah suatu kesalahan besar dan melanggar konstitusi, kalau negara tidak menanamkan dan membudayakan pandangan hidup dan dasar falsafah negara kepada warga negara, khususnya generasi muda. Pendidikan Pancasila harus tetap menjadi mata kuliah wajib di PT dan di pendidikan dasar dan menengah”. (p. 34)

Prof. Jawahir Thontowi FH UII Yogyakarta dengan makalah ”Menegukan Rumah Hukum Pancasila” mengutip Gunawan Mohammad: ”kita membutuhkan Pancasila kembali karena ia merupakan proses negosiasi terus menerus  dari sebuah bangsa yang tidak pernah tunggal, tak sepenuhnya bisa eka, dan tak bisa sepenuhnya meyakinkan bahwa dirinya, kaumnya, mewakili sesuatu yang maha benar, kita membutuhkan Pancasila kembali sebab kita hidup di sebuah zaman yang makin menyadari ketidak sempurnaan nasib manusia”. (p.15)

Dua pakar muda Indonesia yaitu Dr. AA GN Ari Dwipayana Fisipol UGM dengan makalah ”Pancasila dalam kotak pandora Indonesia” dan Prof. Kacung Marijan Fisip Unair dengan makalah ”Pancasila dan Negara-Bangsa yang Berubah”. Dr. Ari Dwipayana menyatakan ”Membangun raga negara (state building) dengan memposisikan warga sebagai critical engagment (keterlibatan kritis) di mana keterlibatan itu bukan berarti masuk menguasai negara sebagai negara, melainkan melakukan peranan kritis dalam proses politik-pemerintahan. Sementara itu Prof. Kacung Marijan dalam makalahnya: ”Kita harus mempunyai modal sosial  (social capital) untuk membangun colective efficiency. … memberi makna terhadap nilai-nilai Pancasila, tidak bercorak dogmatis, melainkan di dalam kerangka kerja yang bisa diimplementasikan secara riel di dalam masyarakat yang sudah berubah dan demokratis. … serta tauladan dan best practices. (p. 11-10)

Dari Kongres ke 2 Denpasar disepakati Penyelenggaraan Kongres ke 3 di Jawa Timur secara kolektif antara UGM (sebagai koordinator) dengan Asosiasi Guru dan Dosen Pendidikan Pancasila Jawa Timur yang harus didukung oleh segenap PTN dan PTS di Jawa Timur dan Jajaran Pemerintah Daerah (Eksekutif/Gubernur dan Legeslatif/DPRD) serta diusahakan dengan DPR RI. Kongres ke 3 diharapkan sudah menghasilkan draf final tentang implementasi nilai-nilai Pancasila baik di dunia pendidikan maupun dimasyarakat dengan mensinergikan hasil kajian dan pengalaman di perguruan tinggi-perguruan tinggi dan di sekolah-sekolah serta lembaga-lembaga di masyarakat dalam usaha mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila salama ini.

 

Universitas Airlangga, 1 Juni 2010

Ketua Komisi Pengkajian Jatidiri dan Kebangsaan (KPJK)

DAFTAR ISI

PRAKATA                                                                                                                          ii

KATA PENGANTAR                                                                                                      iv

DAFTAR ISI                                                                                                                   xiv

BAB I PENDAHULUAN                                                                                             1

BAB II   ONTOLOGI PENDIDIKAN PANCASILA:

Revitalisasi dan Reinterpretasi                                                            12

2. 1. PREDATOR PANCASILA: Liberalisme dan SARA                12

2.2. PENDIDIKAN MPK dan MBB DI PT                                            17

BAB III EPISTEMOLOGI DAN AKSIOLOGI PENDIDIKAN PANCASILA:

Sosialisasi, Internalisasi dan Aktualisasi                                        25

3.1. PERUBAHAN PARADIGMA                                                            25

3.2. PERUBAHAN PARADIGMA DAN PRIORITAS

PEMBANGUNAN                                                                                 28

3.3 PEMBANGUNAN JATIDIRI DI PENDIDIKAN TINGGI:

PYLOT PROJECT 33

. 3.4. MEMBANGUN SOCIAL CAPITAL

SECARA KRITIS – KONSTRUKTIF                                  38

3.4.1. Pengembangan Social Capital 39

3.4.1. Berfikir Kritis – Konstruktif                                               46

BAB IV  ORGANISASI PENDIDIKAN PANCASILA:

Kelembagaan dan Pengelolaan                                                            50

4.1. PEMBERDAYAAN PANCASILA

SEBAGAI IDEOLOGI NASIONAL                                                 50

4.2. PEMBANGUNAN (PEMBERDAYAAN) IDEOLOGI

PANCASILA SEBAGAI PROSES PENDIDIKAN                     53

4.3. PENDIDIKAN PANCASILA PARTISIPATIF (P3)                   56

4.3.1. Pengertian  P3 sebagai model Pendidikan Ideologi58

4.3.2. Pemahaman Dasar tentang

Musyawarah dalam P3                                                       59

4.3.3. Hakekat Dasar P3                                                                  59

4.3.4. Visi, Misi dan Prinsip P3 60

4.3.5. Prinsip-Prinsip Dasar P3.                                                  60

4.3.6. Metodologi                                                                                60

BAB V    PENDIDIKAN PANCASILA : MELEMBAGAKAN

GOTONG-ROYONG DI UA                                                                        62

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN                                                                     73

BAB I PENDAHULUAN

Rapat Direktorat Pendidikan UA dengan beberapa wakil Guru Besar UA dan KPJK-UA  pada Pada tanggal 8 September 2009  membicarakan tindakan lebih lanjut pengembangan jatidiri UA pada mahasiswa baru di mana para Guru Besar diminta “turun gunung” menyusun suatu sistem mengembangkan jatidiri yang efektif dan komprehensif untuk melanjutkan apa yang telah diawali oleh Program Pendidikan Kebersamaan Mahasiswa Baru (PPKMB). Dari kegiatan tersebut mahasiswa dan seluruh sivitas akademika diharapkan mampu mewujudkan perilaku kebersamaan dalam identitas dan jatidiri keUAan sebagai komunitas pendidikan tinggi (PT) sekaligus diharapkan dapat menjadi bagian dari dan contoh bagi usaha pembangunan identitas dan jatidiri keNKRIan di mana bangsa Indonesia sekarang menghadapi masalah marjinalisasi nilai-nilai budaya dan ketidak rukunan nasional oleh proses globalisasi.

Sebagai implementasinya dari awal bulan Nopember 2009 hingga tanggal 28 Desember 2009 guru besar, dosen dan dari unsur pimpinan mahasiswa difasilitasi untuk menyelenggarakan kegiatan Brainstorming tentang pembangunan jatidiri UA  dalam kebersamaan mahasiswa UA sebagai kelajutan dari PPKMB dalam bentuk kegiatan ekstra dan atau co/non kurikuler, sekaligus kebersamaan sivitas akademika UA dengan menempatkan Guru Besar sebagai primus interpares. Tujuan Brainstorming terkait dengan salah satu pilar tujuan pendidikan UNESCO yaitu learn to live together and live with others dalam mendukung terwujudnya UA yang Excellence with Morality.

Kegiatan Brainstorming diikuti oleh guru besar yang mau dan mempunyai waktu, para dosen yang ditugaskan oleh Dekan masing-masing fakultas dan unsur pimpinan organisasi mahasiswa yang ditunjuk untuk difasilitasi mendiskusikan secara kritis dan simultan sebagai proses discourse mengkonstrusi kebersamaan sebagai bagian dari suatu bangsa dalam proses pendidikan dalam rangka membangun jatidiri UA dan jatidiri bangsa Indonesia.

Kegiatan yang diselenggarakan Direktorat Pendidikan UA ini adalah kebijakan operasional sebagai bagian dari kebijakan nasional di bidang pendidikan dalam pengembangan Jatidiri dalam rangka peningkatan akhlak mulia dan pembangunan karakter bangsa dalam menghadapi proses globalisasi yang cenderung distruktif terhadap pengembangan kepribadian dan kehidupan bermasyarakat bangsa Indonesia.

. Pengembangan jatidiri dalam rangkaian kegiatan brainstorming guru besar, dosen dan mahasiswa di mana  pada tahap ini guru besar, dosen dan mahasiswa dikonsepsikan sebagai aktor-aktor yang mempunyai pemikiran dan pengetahuan (obyektif/rasional) serta pemahaman dan harapan (subyektif/kritis) atas sivitas akademika UA dengan melalukan hubungan komunikasi intersubyektif yang bersifat informatif, dialektis dengan metode partisipatif.

Peserta Guru Besar adalah yang mengisi blanko isian kesanggupan, sedangkan peserta dosen ditugaskan oleh dekan masing-masing fakultas di UA dan peserta mahasiswa direkrut dari mereka yang aktif menjadi pimpinan atau pengurus dalam organisasi-organisasi mahasiswa (ormawa). Melalui proses brainstorming peserta diharapkan dapat merumuskan pemikiran dan pengetahuan serta pemahaman dan harapan secara rasional, kritis dan konstruktif tentang jatidiri UA dan cara implementasinya dalam bangunan struktur komunitas kebersamaan sivitas akademika UA.

Dengan pemahaman secara kritis konstruktif demikian, rangkaian brainstorming dari Guru Besar, dosen hingga mahasiswa diharapkan dapat menghasilkan hubungan komunikasi intersubyektif yang mempunyai kesamaan pandangan terhadap situasi dan kondisi masyarakat saat ini baik di dalam maupun di luafr kampus dan terjadi diskursus mengkonstruksikan bangunan jatidiri masyarakat UA yang mandiri dan bebas dari penguasaan dan pengaruh dari kekuatan dan nilai-nilai asing.

Hasil pemikiran tersebut tercatat dalam berbagai draf naskah sesuai dengan tema masing-masing kelompok yang mecakup jawaban pertanyaan filsafati pendidikan tentang ontologi, epistemologi dan aksiologi untuk mengembangkan kognisi, afeksi dan psikomotorik dalam proses pendidikan Pancasila dalam rangka pembangunan/ pengembangan Jatidiri UA. Oleh karena pembangunan jatidiri adalah permasalahan struktural yang komplek yaitu menghadapi ancaman globalisasi sehingga harus diselenggarakan sistematis, maka para partisipan juga harus menemukan jawaban bagaimana mengorganisasi dan mengelola sistem pendidikan yang dirancang.

Pada brainstorming Guru Besar materi yang diberikan lebih bersifat umum berkaitan dengan konsep-konsep dasar pembangunan Jatidiri berikut implementasinya dalam kehidupan di kampus. Apa yang didiskursuskan di antara guru besar sebagai teladan dan pembina utama inilah diharapkan menghasilkan konsep-konsep  dasar tentang kebersamaan UA. Untuk itu kepada para guru besar dibagikan naskah-naskah yang memuat berbagai informasi idealis normatif teoritik sebagai bahan diskusi awal yaitu 1. Naskah laporan KGBI sebagai semangat dasar pembangunan jatidiri dengan judul Jatidiri Bangsa dalam Ancaman Globalisasi[1]; 2. Naskah Excellen With Morality[2]; 3. Pembangunan Kebersamaan  Dan Jatidiri Universitas Airlangga (UA):   Pendekatan Community Development Dan Metoda Pendidikan Partisipatif[3]; Jatidiri Airlangga[4]. Dibagi ke dalam 4 komisi yang masing-masing menghasilkan konsep tentang  ontologi (Komisi I), epistemologi (Komisi II), aksiologi (Komisi III) dan Organisasi (Komisi IV) tentang pembangunan jatidiri UA. Hasil dari empat komisi Guru Besar kemudian menjadi brainstorming dosen dan mahasiswa untuk mendapatkan masukan lebih operasional lagi.

Oleh sebab itu dalam brainstorming dosen diarahkan untuk menghasilkan berbagai draf berupa kisi-kisi bentuk-bentuk jatidiri, pengalaman belajar, serta mekanisme monitoring dan evaluasi. Brainstorming dosen selain merupakan breakdown dari konsep dasar yang dihasilkan dalam pertemuan guru besar, juga secara rinci menyebutkan tentang nilai-nilai positif operasional dalam jatidiri yang hendak diperjuangkan dan dipertahankan sebagai common values yang dimiliki bersama. Demikian pula dalam brainstorming mahasiswa juga diperoleh dua naskah, dalam bentuk power point dan naskah akademik dalam perspektif mahasiswa terkait dengan bagaimana mahasiswa mempersepsikan konsep jatidiri, apa pentingnya jatidiri, serta nilai-nilai yang harus ada dalam jati diri. Kegiatan brainstorming ini menarik dilakukan agar mahasiswa menjadikan jatidiri sebagai wacana public dan memiliki kesadaran tentang pentingnya common values yang menjadi identitas bersama.

Untuk itu perlu ada perumusan yang lebih matang berkaitan dengan hasil-hasil brainstorming tersebut sebagai bahan dalam menyempurnakan naskah jatidiri Universitas Airlangga. Dalam konteks ini, sebagai hasil musyawaran tentang jatidiri Universitas Airlangga yang memiliki sifat universal sebagai bagian dari jatidiri kebangsaan Indonesia, sekaligus parsial sebagai nilai bersama yang dimiliki dan hendak diperjuangkan sebagai ciri khas warga kampus Universitas Airlangga. Dengan demikian, ketika berbicara sebagai warganegara, civitas akademi Universitas Airlangga adalah bagian integral dari warga negara Indonesia, sedangkan ketika berbicara tentang Universitas Airlangga maka setiap civitas akademika harus memiliki pandanga dan perasaan yang sama sebagai keluarga besar Universitas Airlangga.

Tidak berlebihan ketika dalam salah satu brainstorming muncul sebuah terminologi menarik untuk diperbincangkan. Bahwa kompetensi keilmuan yang spesifik dan khusus menjadi tanggungjawab tiap fakultas/jurusan/program studi untuk membentuknya, tetapi tanggungjawab membentuk manusia secara holistic menjadi tanggungjawab universitas. Jika fakultas/jurusan/program studi menciptakan ilmuwan yang kompeten, maka universitas menciptakan manusia yang integrated, cerdas dan bermoral serta pandai dan berjatidiri berdasarkan nilai-nilai bersama atau Common values.

Common values ini yang menjadi perbincangan/diskursus setiap kelompok, meskipun bersifat abstrak dan bisa jadi normative, tapi kesepakatan umum yang konstruktif bahwa nilai-nilai ini merupakan hal penting untuk dirumuskan bersama. Melalui rumusan itu diharapkan dapat menjadi pedoman dalam berkehidupan di kampus dan dibimbing oleh spirit yang sama untuk menginternalisasikan nilai-nilai yang telah dirumuskan tersebut sekaligus menjadi pedoman dalam kapasitas sebagai bagian penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dengan demikian, tiap insan kampus memiliki kebanggaan yang sama sebagai bagian dari Universitas Airlangga sekaligus menjadi bangsa Indonesia. Ini yang disebut sebagai kebanggaan terhadap almamater, kecintaan terhadap bangsa dan negara, dan kebaikan positif sebagai manusia. Pada akhirnya slogan Excellence with Morality tidak hanya berhenti sebagai sebuah retorika, melainkan menjadi kesadaran yang sama bagi setiap warga kampus Universitas Airlangga. Perihal naskah hasil brainstorming dari guru besar, dosen hingga mahasiswa, yang mayoritas masih dalam bentuk power point/draf. Draf tersebut menjadi bahan dasar yang harus segera dirumuskan menjadi konsep final yang disepakati bersama sebagai pedoman berkehidupan di kampus.

Jauh sebelum ini ternyata banyak Guru Besar UA telah telibat di dalam diskusi nasional tentang jatidiri yaitu pada Konferensi Guru Besar Indonesia (KGBI) Ke-1 yang diselenggarakan Forum Intelektual Indonesia (FII) pada 16-17 Mei 2007 di Jakarta dan dihadiri lebih dari 400 guru besar dari seluruh Indonesia dengan tema: “Jati Diri Bangsa dalam Ancaman Globalisasi”

Widodo AS selaku Menkopolhukam pada Kabinet Bersatu I dalam sambutanya pada KGBI 1 2007 yang dimuat di buku “Jatidiri Bangsa dalam ancaman Globalisasi”,  menyatakan :

“Keberadaan para Guru Besar dari berbagai disiplin ilmu dan keahlian, dengan kapasitas dan peran yang dimilikinya, diharapkan dapat ikut membangun dan menciptakan kader-kader Pemimpim Bangsa di masa depan, yang memiliki kadar Wawasan Kebangsaan yang kuat, serta memiliki keseimbangan kecerdasan intelektual, kecerdasar emosional dan kecerdasan spiritual sebagai refleksi sikap kenegarawanan yang utuh. Kader-kader Pemimpin Bangsa yang demikian yang mampu mencegah lahirnya kotak-kotak primordialisme dan sectarian baru, yang dapat mengancam kekokohan Wawasan Kebangsaan, persatuan dan kesatuan serta keutuhan NKRI.” (Hal. xxii)

 

Apa yang dipesankan oleh pimpinan lembaga pemerintah yang bertanggung jawab terhadap proses politik, terpeliharanya tertib hukum dan keamanan serta kesatuan persatuan bangsa kepada para Guru Besar sebagai komponen utama masyarakat pendidikan khususnya PT tersebut, tentunya mengandung makna mengharapkan perhatian lebih dari dunia pendidikan terhadap fenomena yang dihadapi bangsa Indonesia yang terkait dengan masalah persatuan dan kesatuan bangsa dalam proses pendidikan di PT.

KGBI bertujuan menyiapkan bangsa Indonesia (melalui PT) dalam menerima arus globalisasi dan memantapkan jatidiri bangsa Indonesia untuk memasuki era globalisasi dengan menyusun langkah bersama untuk mengatasi krisis dan berbagai persoalan mendasar bangsa lainnya. Globalisasi telah menyebabkan bangsa Indonesia kehilangan gravitasi untuk mendirikan bangunan keIndonesiaan kontemporer. Yaitu secara komprehensif mengembalikan Pancasila sebagai sandaran dan modal dasar nilai-nilai dalam menyusun bangunan masyarakat demokratis dengan meletakkan Pancasila sebagai kesatuan ontologis yang mengakui pluralitas dalam bangunan kesatuan persatuan (Bhineka Tunggal Ika) dengan mengganti model penjabaran (sosialisasi) represif dan ancaman dengan suasana yang lebih partisipatif dan egaliter dalam mengembangkan Pancasila sebagai sign of unity dan sign of solidarity.

KGBI khususnya Komisi A memberi solusi antara lain sebagai berikut:

  1. Pendidikan Pancasila melalui pendekatan psikologik.
  2. Pengajaran dan pendidikan Pancasila sebagai bagian “pendidikan budi-pekerti” dengan menyempurnakan tektologi pembelajaran.
  3. Keteladanan harus ditunjukkan dalam pendidikan Pancasila.
  4. Konsep pendidikan Pancasila yang saat ini lebih menekankan pada domain kognitif ditingkatkan ke aspek afektif dan psikomotorik.

Jadi Common values yang dimaksud adalah nilai-nilai Pancasila dan usaha mengimplementasikan pendidikan Pancasila tersebut ternyata juga searah dengan program kantor Wakil Presiden RI di mana PT di Indonesia, setelah selama delapan tahun reformasi dibiarkan dan pengaruh nilai-nilai asing merajalela, baik masing-masing maupun bersama-sama diminta untuk segera membangun konsep dan jejaring dalam mengiplementasikan nilai-nilai Pancasila dan memberi kontribusi pada pembangunan jatidiri bangsa Indonesia dengan koordinator UGM. Untuk itu pada bulan Mei 2009 atas perintah Rektor UA LPPM-UA dibentuklah Komisi Pengkajian Jatidiri dan Kebangsaan (KPJK) UA (Booklet terlampir).

Rembuk Nasional Pendidikan 2010 yang bertemakan “Meningkatkan Jaminan Layanan Pendidikan Berkualitas yang Terjangkau oleh Semua” merupakan momentum yang sangat strategis dalam upaya peningkatan akses dan mutu dan layanan pendidikan. Strategis karena merupakan tahun pertama pelaksanaan Rencana Strategis Kementerian Pendidikan Nasional (Renstra Kemendiknas). Dan yang sangat relevan dengan kajian ini Rembuk Nasional merekomendasikan suatu komisi yang membidangi Penguatan peran pendidikan dalam upaya peningkatan akhlak mulia dan pembangunan karakter bangsa yang tak lain adalah mengimplenetasikan nilai-nilai Pancasila.

Rembuk Nasional Pendidikan 2010 merupakan pertemuan yang sangat lengkap ditinjau dari partisipannya diikuti 769 peserta, terdiri dari para pengambil kebijakan di bidang pendidikan, yakni jajaran pejabat Kemendiknas Pusat, terdiri atas Mendiknas, Wakil Mendiknas, Staf Ahli/Staf Khusus Mendiknas, Pejabat Eselon I dan II, Kepala Dinas Pendidikan Provinsi, kepala Dinas pendidikan kabupaten/kota, Rektor/Direktur Politeknik PTN dan Koordinator Perguruan Tinggi swasta (Kopertis), Kepala LPMP dan P4TK, dewan Pendidikan Tinggi, Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dan Badan Akreditasi Pendidikan (BAN), SEAMEO Centers. Selain itu, atase Pendidikan dan Kebudayaan di luar negri, Ketua Harian Komisi  Nasional Indonesia Dubes/wakil RI untuk UNESCO, Ketua Komisi X DPR-RI dan Ketua Komite III DPD dan Kepala Biro Perencanaan 15 Kementerian/ Lembaga yang menyelenggarakan fungsi pendidikan.

Dari uraian di muka dan ditambah dengan hasil berbagai saresehan dan simpsium serta dua kali Kongres Pancasila yang diselenggarakan secara kolaboratif antara dunia pendidikan dengan lembaga pemerintah (baca Kata Pengantar) tentang perlunya Pendidikan Pancasila yang komprehesif, partisipatif dan terlembaga di dunia pendidikan dan masyrakat yang harus menjadi agenda penting untuk direalisasikan oleh pemerintah tidak lain adalah pembangunan jatidiri bangsa Indonesia.

Mengikuti konsep KGBI yaitu pembangunan jatidiri bangsa Indonesia tak lain adalah implementasi nilai-nilai Pancasila melalui proses pendidikan, maka dengan hasil brainstorming Guru Besar UA yang terbagi ke dalam empat komisi yang tercatat di dalam dokumentasi draft-draft masing-masing komisi telah dirumuskan tentang ontolgi pendidikan Pancasila (Komisi I), epistemologi pendidikan Pancasila (Komisi II), aksiologi pendidikan Pancasila (Komisi III) serta Organisasi pendidikan Pancasila (Komisi IV).

Dengan keadaan bangsa yang sudah dalam kondisi dibawah ancaman nilai-nilai bidaya asing maka dalam pengembangan pendidikan Pancasila harus didasari semangat dan berfikir kritis. Berikut ini  diuraikan garis besar hasil sidang komisi-komisi tersebut merupakan rujukan dari bab-bab dari naskah ini. Pertama, hasil Komisi I tentang ontologi pendidikan Pancasila antara lain adalah sebagai upaya UA  dalam misi revitalisasi dan reinterpretasi nilai-nilai Pancasila dan mensosialisasikan serta membudayakan kurikulum universitas yang terkait dengan pengembangan kepribadian dan berkehidupan bermasyarakat. Yaitu melalui matakuliah umum (MKU) wajib nasional yaitu  Agama, PPKN, Bahasa Indonesia, ISBD, IAD (SK Dirjen Dikti 43/2006 (MPK) dan 44/2006 (MBB)) serta MKU wajib universitas antara lain Filsafat Ilmu, Kewirausahaan dan lain-lain. Menurut kedua SK Dirjen Dikti tersebut sebagai rambu-rambu sistimatika materi bahan ajar masing masing mata kuliah satu sama lain merupakan konsep-konsep yang mampu memberi dasar kepribadian dan berkehidupan bermasyarakat dalam membentuk Jatiri Unair sekaligus jatiri Indonesia.

Proses dan materi pendidikan adalah dalam rangka memberi pemahaman bahwa bangsa Indonesia sekarang menghadapi Globalisasi dimana terjadi adanya marginalisasi jatidiri bangsa Indonesia oleh paham jatidiri asing yang  tdk sesuai moral agama wawasan kebangsaan yang dapat membahayakan terhadap persatuan bangsa. Membina mahasiswa dengan materi Softskill sebagai cerminan IQ, EQ, SQ  harus ditimbulkan dalam kepribadian setiap peserta didik dan sekaligus dalam interaksi sosialnya dalam perilaku kebersamaan baik sebagai warga universitas (sivitas akademika) maupun sebagai bagian dari bangsa Indonesia (warganegara). Oleh sebab itu harus ada softskill dalam setiap matakuliah sebagai dasar softskill keseluruhan jatidiri yaitu perilaku pribadi maupun bermasyarakat berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Jatidiri Universitas Airlangga harus diwujudkan dalam sikap dan tindakan nyata diranah kehidupan akademik dan social sebagai bagian dari  realitas budaya.

Kedua, hasil Komisi II dengan semangat yang sama, yaitu menghadapi penetrasi nilai-nilai budaya asing yang didung dengan teknologi canggih sementara bangsa Indonesia masih dalam kesenjangan di berbagai hal, epistemologi pendidikan Pancasila adalah merupakan cara atau  metode proses internalisasi dan sosialisasi nilai-nilai Pancasila dalam rangka pembangunan jatidiri dengan sasaran pimpinan, dosen, mahasiswa, pegawai. Didukung dengan sarana dan prasarana yang dikembangkan sibagai BHMN, jatidiri UA sebaiknya lebih diorientasikan pada pengembangan coorporate culture. Metode Implementasi Jatidiri di UA melalui metode community development. Disampaikan sejalan dengan mata ajar kurikuler baik intra ko maupun ekstra  dengan dialog dan diskusi kritis non-indokrinatif dengan model pendampingan dan pengarahan.

Ketiga, semultan dengan hasil kerja Komisi II, hasil Komisi III aksiologi pendidikan Pancasila mempunyai fungsi aktualisasi jatidiri dengan tujuan umum agar mahasiswa mengerti, memahami arti pentingnya jatidiri dan tujuan khusus memahami arti dan fungsi jatidiri sebagai pribadi baik sebagai warga UA dan maupun sebagai warga bangsa Indonesia. Pendidikan Pancasila yang mampu menentukan visi, misi dan tujuan pribadi, mendukung visi, misi dan tujuan UA serta mendukung visi, misi dan tujuan bangsa dan negara Indonesia. Mengelola seluruh aktivitasnya sesuai beberapa visi, misi dan tujuan tersebut di atas menjadi manusia bahagia secara utuh lahir dan batin yang satu sama lain mampu membangun kekuatan bersama menghadapi ancaman globalisasi.

Hasil Komisi II dan Komisi III pendidikan Pancasila merupakan dimensi praksis metodologis maupun tujuan proses Sosialiasi nilai-nilai Pancasila kepada mahasiswa bukan dalam kegiatan-kegitan social yang parsial, tapi sebuah action bersama dari institusi.

Keempat, hasil Kamisi IV Organisasi karena pendidikan Pancasila dalam arti pengembangan jatidiri merupakan kegitan yang integrated dalam rangka memberdayakan masyarakat Indonesia yang termajinalisasi oleh “serbuan” nilai-nilai budaya asing maka perlu membentuk kelembagan dalam pengelolaannya yaitu membentuk organisasi atau kelembagaan pengembangan jatidiri kebangsaan dan keunairan. Dalam organisasi inilah sebagi pusat perjuangan di mana peoses keteladanan dan pembinaan sekaligus evaluasi oleh para gurubesar  yang terpilih dalam pembangunan jatidiri sebagai implementasi pendidikan Pancasila secara sistematis dan komprehensif, dalam bentuk dan struktur organisasi dengan tugas dan fungsi  menjalankan, mengoperasionalkan dan mengembangkan Jatidiri atau pendidikan Pancasila yang pelaksanaannya di bawah Dir. Pendidikan, Dir. Kemahasiswaan dan Dir. Sumber Daya. Nama Lembaga: “Tim Pengembangan dan Penerapan  Jati Diri Kebangsaan dan Keunairan”  Gambaran Singkat TUPOKSI Tim: 1. Melakukan pengkajian Jati Diri Kebangsaan dan Keunairan, 2. Mengembangkan materi Jati Diri dalam berbagai bentuk (modul, dll), 3. Mengembangkan program dan kegiatan dalam berbagai bentuk (pelatihan, dll), 4. Menyusun rencana pelaksanaan program dan kegiatan Jati Diri, 5. Mengkoordinasikan program dan kegiatan Jati Diri di lingkungan Universitas.

BAB II ONTOLOGI PENDIDIKAN PANCASILA:

Revitalisasi dan Reinterpretasi

2. 1.    PREDATOR PANCASILA: Liberalisme dan SARA

UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) tidak memfasilitasi pendidikan Pancasila merupakan bagian tak terpisahkan dari proses “colonization of the mind” bangsa Indonesia  oleh kebudayaan asing. Kondisi tersebut membawa pendidikan bangsa Indonesia semakin ”salah asuhan” yang sangat mempengaruhi perkembangan kepribadian generasi muda bangsa. Pendidikan di Indonesia semakin lebih menghayati paradigma ilmu milik budaya bangsa lain karena keberhasilan penetrasi global neoliberal yang semakin gencar khususnya setelah berakhirnya Perang Dingin. Oleh sebab itu harus dilakukan revitalisasi dan reaktualisasi Pancasila. Pendidikan tinggi (PT) sebagai komponen bangsa dan institusi yang mempunyai tugas mencerdaskan kehidupan bangsa harus proaktif berpartisipasi menyelamatkan ideologi bangsa yang sedang dalam bahaya. Paling tidak memperjuangkan mewujudkan Pancasila menjadi paradigma ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) nasional.

Dalam situasi terjajah (colonized) oleh nilai-nilai budaya bangsa lain maka upaya revitalisasi dan aktualisasi nilai-nilai Pancasila dapat disamakan dengan suatu perjuangan kemerdekaan. Yaitu perjuangan pemimpin dan rakyat Indonesia mempertahankan kemerdekaan untuk berjatidiri dengan nilai budaya sendiri, mandiri dan berhubungan simetris dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Oleh sebab itu patut diingatkan kembali bagian pidato Ir. Soekarno 1 Juni 1945:

“… bahwa tidak ada satu Weltanschauung dapat menjelma dengan sendirinya, menjadi realiteit dengan sendirinya. Tidak ada satu weltanschauung dapat menjadi kenyataan, menjadi realiteit, jika tidak dengan perjuangan!”.

 

Saat ini kiranya kondisi moral dan kepribadian bangsa Indonesia tidak hanya mengalami  degradasi dan tanpa arah namun sudah mencapai “stadium” lanjut yang lebih berbahaya karena terjadi perilaku ketidak rukunan dan perpecahan serta posisi subordinat dengan bangsa lain dalam banyak hal. Sementara itu UU Sisdiknas “berhasil” membawa pendidikan di Indonesia dengan kurikulum tanpa dasar pengembangan mental dan moral serta pemahaman ideologi nasional yang komprehensif dan sistematis. UU Sisdiknas tidak memfasilitasi dunia pendidikan dan masyarakat untuk mampu membangun filter yang kuat menghadapi derasnya arus nilai-nilai budaya asing. Menyadari kondisi tersebut banyak kalangan melakukan upaya agar Pancasila segera mendapatkan “perlindungan” secara serius dan menurut Ketua MK Prof. Dr. Mahfud MD adalah layak dilakukan yudicial review terhadap UU No. 20 tahun 2003.

Apabila pendapat di muka benar yaitu bahwa keberadaan UU Sisdiknas tersebut dinilai merupakan hasil penetrasi paham neoliberal maka yudicial review terhadap UU tersebut harus dalam rangka mendukung perubahan paradigmatis untuk menyelamatkan bangsa menghadapi efek negatif paham liberalisme dan paham-paham predator Pancasila lainnya yang tercakup dalam pahan kesukuan, keagamaan, ras dan golongan (SARA) dengan pertimbangan sebagai berikut. Pertama, seperti halnya di bidang ekonomi di mana bangsa Indonesia sejak era Orde Baru terintegrasi ke dalam sistem ekonomi kapitalisme liberal dengan format politik demokrasi berlabel Pancasila yang sejatinya otoriter namun “direstui” oleh negara-negara demokrasi berpaham kapitalisme liberal karena prinsip anti komunis dan anti negara agama yang dianut pemerintah Indonesia. Maka sejak era pasca 1998 bangsa Indonesia tetap terintegrasi, bahkan lebih intensif lagi, ke dalam sistem kapitalisme liberal di bidang ekonomi sedangkan di bidang politik dan kebijakan pemerintahan, sebagai koreksi terhadap sistem politik dan pemerintahan Orde Baru, terjadi perubahan secara paradigmatis dengan berusaha menerapkan prinsip-prinsip demokrasi dan otonomi sebagai roch reformasi di mana landasan teoritik akademik yang dipakai juga merupakan hasil belajar dari negara-negara barat penganut paham kapitalisme liberal.

Sebagai koreksi terhadap sistem Orde Baru termasuk dengan “mengamputansi” lembaga BP7, reformasi berjalan dengan keterbukaan ideologi tanpa “lembaga filter” yang dapat berfungsi sebagai alat penyaring nilai-nilai budaya asing. Prinsip demokrasi dan otonomi bidang politik dan kebijakan yang mendapat penetrasi paham neoliberal menggariskan bahwa kehidupan politik dan kebijakan pembangunan – termasuk di bidang ekonomi dan pendidikan khususnya di sektor pendidikan mental ideologi – harus lebih terbuka dan semakin banyak diserahkan kepada otoritas daerah dan sektoral serta masyarakat dengan peranan pemerintah sekecil mungkin.

Dengan keterbukaan tanpa filter yang memadai sekarang pemerintah disibukkan dengan masalah  perkembangan mental dan moral serta ideologi yang berpengaruh pada produktivitas ekonomi serta kokohnya persatuan dan kesatuan bangsa. Proses demokratisasi dan otonomi yang mendapat penetrasi paham neo/liberalisme menyebabkan perilaku masyarakat yang sangat kental dengan individualisme juga menjadi lahan subur bagi federalisme (ide dan gerakan separatisme, daerahisme), sekaligus menghupkan paham-paham pecundangnya yaitu sektarianisme (ide dan gerakan rasisme, negara agama, terorisme) dan golonganisme (ide dan gerakan buruh, penjarahan, sukuisme). Satu sama menambah kerumitan konflik, kerusuhan serta kekisruhan bangsa dan negara selama ini. Sementara itu untuk menghadapi konflik, kerusuhan serta kekisruhan tersebut pemerintah masih menggunakan pendekatan politik, hukum dan keamanan (polhukam) yang sangat melelahkan dan menguras sumber daya bangsa.

Kebijakan di bidang pendidikan yang sejak era Orde Baru sudah mendapat penetrasi paham neoliberal, di era reformasi dengan prinsip keterbukaan tanpa filter menyebabkan paham liberalisme diikuti paham sektarianisme dan paham-pahan predator Pancasila lainnya yang “tidak mau ketinggalan kereta” berkembang dengan lebih leluasa di masyarakat dan dalam proses pendidikan nasional. Hasilnya, seperti telah diuraikan, adalah UU 20/2003 Sisdiknas yang dinilai sangat lemah tentang konsep pendidikan mental dan moral serta ideologi dalam berbangsa dan bernegara dengan meniadakan pendidikan Pancasila dalam kurikulum pengembangan kepribadian peserta didik.

Salah satu sektor penting dan strategis di bidang pendidikan adalah PT sebagai institusi yang mempunyai kompetensi mengembangkan kecerdasan bangsa secara paripurna. Oleh sebab itu PT di Indonesia harus menjadi pelopor dalam usaha “menjinakkan” paham-paham predator Pancasila dengan memformulasikan pendidikan mental dan moral serta ideologi kepada sivitas akademikanya agar dapat menjadi bagian di garis depan dalam keberpihakan pada bangsanya. Selain meningkatkan kualitas pendidikan  dan penelitian di bidang IPTEK sebagai kompetensinya,  PT harus memfasilitasi secara komprehensif dan sistematis pendidikan ahlak mulia dan karakter bangsa kepada sivitas akademika khususnya mahasiswa dan alumninya agar mempunyai kompetensi menjadi pelopor, motivator dan fasilitator pembangunan mental dan moral serta ideologi berbangsa dan bernegara.

Kedua, sebagai konsekuensi logis dari yang pertama dengan prinsip demokrasi, otonomi dan keterbukaan maka para penganut paham neoliberal yang diikuti oleh paham-paham prodator Pancasila lainnya, dalam rangka bersaing mempengaruhi perkembangan karakter bangsa Indonesia, sepertihalnya terhadap bangsa lain yang menjadi sasaran (obyek) mereka, seperti sudah disinggung, juga akan melakukan penetrasi nilai-nilai ke dalam jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia melalui pendidikan.

Apabila otoritas dunia pendidikan baik di pusat maupun daerah  dan sektoral tidak siap dengan konsep implementasi dan aktualisasi nilai-nilai Pancasila yang tepat maka proses “devide et impera” yang sekarang sedang berlangsung marak  di bidang ekonomi dan di bidang polhukam akan menjadi semakin merajalela. Bidang ekonomi dengan produktifitas dan efisiensi serta competitiveness sebagai pokok masalah yang akhir-akhir ini “diteror” oleh produk China, dan di bidang polhukam dengan primadona masalahnya adalah korupsi dan terorisme dan dimeriahkan dengan maraknya “perang” antar suku, antar kampung dan bahkan antar pelajar dan mahasiswa serta antar kampus. Kondisi tersebut  akan dimanfaatkan oleh para protagonis-protagonis paham neoliberal dan pecundangnya untuk berusaha menguasai jiwa dan kepribadian lebih dalam lagi sehingga bangsa Indonesia semakin lupa (“lali”) pada jatidirinya dan tidak mandiri dan pada gilirannya mudah dikuasai.

Namun apabila pemerintah pusat, daerah dan sektor-sektor masyarakat cepat sadar akan bahaya yang mengancam dan mampu menciptakan filter dengan konsep pendidikan mental, moral dan ideologi secara tepat dan sistematis dengan menggali kearifan-kearifan lokal dan terjadinya link and match dengan konsep act locally and think globally antara dunia pendidikan dengan dunia usaha dan masyarakat maka prinsip demokrasi dan otonomi serta keterbukaan niscaya akan memperkokoh kekuatan bangsa.

Oleh sebab itu apabila akan melakukan yudicial review, karena prosesnya sangat berliku dan tidak dapat dipastikan kapan selesai, sambil mempersiapkan materi yang diperlukan, maka agar tidak terjadi kekosongan lebih lama dalam usaha menyelamatkan mental, moral dan ideologi dalam rangka pembangunan karakter dan jatidiri bangsa, dan sebagai tindak lanjut dari berbagai gerakan yang selama ini dilakukan oleh masyarakat yang peduli pada pendidikan Pancasila, dapat dilakukan pengkajian terhadap proses implementasi UU Sisdiknas yang sudah berlangsung.

Dari sana diharapkan dapat menemukan formulasi implementasi demokrasi dan otonomi di daerah dan sektoral dalam penyelenggaraan pendidikan khususnya pendidikan mental dan moral serta ideologi dalam rangka pembangunan  modal sosial (social capital) bangsa (dibahas di paragraf 3.4.1.). Untuk itu dunia pendidikan Jawa Timur khususnya PTN dan PTS se Jawa Timur bersama-sama Pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Propinsi Jawa Timur yang selama ini sudah terjadi sinergi dapat melanjutkan berbagai konsep yang dihasilkan dan dapat menjadi salah satu sample sekaligus pylot project.[5]

2.2. PENDIDIKAN MPK dan MBB DI PT

 

Kompetensi bidang pendidikan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dalam aspek-aspek keahlian keilmuan dan ketrampilan praktis (hard skill) dan aspek-aspek mental, moral, kepribadian, akhlak mulia serta pemahaman terhadap ideologi nasional yang terkait dengan pengembangan kepribadian dan berkehidupan bermasyarakat (soft skill). Dalam UU 20/2003 pendefinisian kompetensi tersebut ditempatkan pada bagian-bagian awal yaitu Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 ayat 1 dan 2:

Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan:

1.   Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

2.   Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.

 

Namun hingga saat ini ternyata baru aspek-aspek hard skill yang menjadi prioritas pembangunan sedangkan aspek-aspek soft Skill dianggap tidak terlalu penting untuk diprioritaskan termasuk dalam pengembangan mental, moral dan ideologi berbangsa dan bernegara di mana pendidikan Pancasila seharusnya mempunyai posisi sentral. Permasalahan bangsa yang terkait dengan ketidak efisienan ekonomi untuk mencapai produktivitas dan daya saing serta masalah konflik horisontal untuk memperkokoh kesatuan dan persatuan bangsa, selama ini diselesaikan dengan pendekatan fisik administratif dan keamanan dengan pembentukan pansus, satgas dan densus. (dijelaskan di paragraf 3.2.)

Selanjutnya dalam UU 20/2003 khusus tentang kurikulum PT yang terkait dengan pengembangan kepribadian dan bermasyarakat diatur pada pasal 37 dan 38 di mana materi tentang Pancasila sudah tidak lagi tercantum seperti dalam UU sebelumnya dan masih tergantung pada peraturan-peraturan pelaksanaan lebih lanjut. UU 20/2003 dalam Bab X Tentang Kurikulum pasal 37 dan 38  menyebutkan:

Pasal 37

Ajat (2)  Kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat: a. pendidikan agama; b.  pendidikan kewarganegaraan; dan c.  bahasa.

Ajat (3)  Ketentuan mengenai kurikulum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pasal 38

Ajat (3)  Kurikulum pendidikan tinggi dikembangkan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk setiap program studi.

Ajat 4)  Kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan tinggi dikembangkan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk setiap program studi.

 

Kedua pasal tersebut kemudian diimplementasikan dalam pasal 9 PP No. 19/2005 tentang Stadar Nasional Pendidikan (SNP). Selain mata kuliah pendidikan agama,  pendidikan kewarganegaraan, dan bahasa Indonesia dengan menambah kewajiban pada kurikulum PT untuk memuat mata kuliah bahasa Inggris (ayat 2), dan mata kuliah bermuatan kepribadian, kebudayaan serta mata kuliah Statistika, dan/atau Matematika (ayat 3). Selengkapnya Bagian Kedua pasal 9 PP No. 19/2005 tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum:

Pasal 9

(1) Kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan tinggi dikembangkan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan untuk setiap program studi.

(2) Kurikulum tingkat satuan pendidikan tinggi wajib memuat mata kuliah pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris.

(3) Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kurikulum tingkat satuan pendidikan tinggi program Sarjana dan Diploma wajib memuat mata kuliah yang bermuatan kepribadian, kebudayaan, serta mata kuliah Statistika, dan/atau Matematika.

(4) Kurikulum tingkat satuan pendidikan dan kedalaman muatan kurikulum pendidikan tinggi diatur oleh perguruan tinggi masing-masing.

 

Berdasarkan dua peraturan tersebut kemudian dierbitkan Surat Keputusan (SK) Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) No. 43 dan 44/2006 sebagai implementasi pasal 37 ayat 2 UU 20/2003 dan pasal 9 ayat 2 dan ayat 3 PP No. 19/2005. Dua SK Dirjen Dikti ”kembar” tersebut adalah SK No. 43/2006 sebagai implementasi pasal 9 ayat 2 PP No. 19/2005 tentang Rambu-rambu Mata kuliah Pemgembangan Kepribadian (MPK) dengan kompetensi dasar pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, Bahasa Indonesia atau kelompok MPK; dan SK No. 44/2006 sebagai implementasi pasal 9 ayat 3 PP No. 19/2005 tentang Rambu-rambu Mata kuliah Berkehidupan Bermasyarakat (MBB) dengan  kompetensi dasar Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (ISBD) dan Ilmu Kealaman Dasar (lAD) atau kelompok MBB. Kedua SK Dirjen Dikti hanya berisi Rambu-rambu materi, visi-misi dan persyaratan penyelenggaraan di mana Kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan tinggi dikembangkan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan (SNP) untuk setiap program studi (UU 20/2003 pasal 38 ayat 4) dan Kurikulum tingkat satuan pendidikan dan kedalaman muatan kurikulum pendidikan tinggi diatur oleh perguruan tinggi masing-masing (pasal 9 ayat 4 SNP) dan dikelola dalam satu wadah oleh perguruan tinggi yang bersangkutan (pasal 12 SK Dirjen Dikti No. 43 SK Dirjen Dikti No. 44) – di UA dikelola oleh Direktorat Pendidikan dalam kelompok Mata kuliah/ajar Wajib Universitas (MAWU).

Dalam rangka pengembangan soft skill yang dimaksud khususnya di PT materi tentang Pancasila baru masuk kurikulum setelah 8 tahun reformasi berjalan, yaitu dalam SK Dirjen Dikti No. 43/2006 tentang Rambu-rambu MPK materi Pancasila hanya merupakan bagian dari mata kuliah Pendidikan Kewarganegaran. Padahal Pancasila sebagai dasar serta karakter (mental dan moral), kepribadian, ideologi bangsa dan diharapkan juga menjadi paradigma IPTEK, seharusnya menjadi subyek yang mandiri dan bahkan superior terhadap subyek-subyek pendidikan lainnya. Namun demikian dengan berbagai kritik dari masyarakat pejuang Pancasila yang tak kenal lelah, kesadaran otoritas pendidikan tentang perlunya pendidikan Pancasila yang lebih komprehensif dan sistematis diharapkan semakin besar.

Materi Pancasila dicantumkan dalam SK No. 43 tahun 2006 yaitu dalam MPK Kewarganegaraan pada pasal 3 tentang kompetensi dasar ayat 2 b. yang menyebutkan tentang kompetensi mahasiswa dengan Pendidikan Kewarganegaraan adalah:

”menjadi ilmuwan dan profesional yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air; demokratis yang berkeadaban; menjadi warga negara yang memiliki daya saing; berdisiplin; dan berpartisipasi aktif dalam membangun kehidupan yang damai berdasarkan sistem nilai Pancasila”.

 

Kemudian dalam pasal 4 tentang Rambu-rambu Substansi Kajian Pendidikan Kewarganegaraan ayat (2) pada pokok bahasan a. Filsafat Pancasila dengan 2 sub pokok bahasan yaitu – Pancasila sebagai sistem filsafat, dan – Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara.

SK Dirjen Dikti No. 43/2006 dan SK No. 44/2006 diterbitkan dengan tanggal yang sama yaitu 2 Juni 2006 dan satu sama lain harus dikelola dalam satu wadah dengan kegiatan akademik yang relevan (pasal 12) kiranya bukan tanpa maksud yaitu untuk menjadi proses kegiatan pendidikan yang terintegrasi. Kata atau konsep kepribadian dari MPK tentunya mengandung pengertian sebagai kelompok matakuliah yang bermuatan tentang konsep-konsep yang dapat membentuk kepribadian mahasiswa dan sangat erat dengan isi pasal 9 ayat 2 PP No. 19/2005. Sedangkan konsep bermasyarakat dari MBB sebagai kelompok matakuliah bermuatan tentang konsep-konsep yang membentuk perilaku bermasyarakat mahasiswa dengan kepribadian yang mengacu pada nilai-nilai budaya dan lingkungan baik terhadap lingkungan masyarakat  maupun lingkungan alam yang sangat erat dengan isi pasal 9 ayat 3 PP No. 19/2005. Sedangkan implementasi MPK dan MBB karena harus membangun psikomotorik dalam perilaku sehari-hari juga harus dengan SKS yang cukup (pasal 3 dan 6 MPK). Selengkapnya isi pasal-pasal SK Dirjen Dikti 43 dan 44 tentang MPK dan MBB yang terkait adalah :

Pasal 3 SK Dirjen Dikti No. 43 tentang Kompetensi Kelompok Matakuliah Pengembangan Kepribadian (MPK): (1) Standar kompetensi kelompok MPK yang wajib dikuasai mahasiswa meliputi pengetahuan tentang nilai-nilai agama, budaya, dan kewarganegaraan dan mampu menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari; memiliki kepribadian yang mantap; berpikir kritis: bersikap rasional, etis, estetis, dan dinamis; berpandangan luas; dan bersikap demokratis yang berkeadaban.

Pasal 3 SK Dirjen Dikti No. 44 tentang Kompetensi Kelompok Matakuliah Berkehidupan Bermasyarakat (MBB): Standar kompeterisi kelompok MBB yang harus dikuasai mahasiswa meliputi berpikir kritis, kreatif sistemik dan ilmiah, berwawasan luas; etis, estetis; memiliki apresiasi kepekaan dan empati sosial, bersikap demokratis, berkeadaban, dan menjunjung tinggi ni!ai kemampuan; memiliki kepedulian terhadap pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup, mempunyai wawasan tentang perkembangan ilmu pengetahuan teknologi dan seni serta dapat ikut berperan mencari solusi pemecahan masalah sosial, budaya dan Iingkungan hidup secara arif.

 

Pasal 6 SK Dirjen Dikti No. 43 Status dan Beban Studi Kelompok MPK:

(1)  MPK wajib dimasukkan ke dalam Kurikulum Inti setiap program studi.

(2)Beban studi untuk matakuliah Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan dan Bahasa masing-masing sebanyak 3 (tiga) sks (satuan kredit semester).

 

Pasal 6 SK Dirjen Dikti No. 44 Status dan Beban Studi Kelompok MBB:

(1) MBB wajib dimasukkan ke dalam kurikulum inti setiap program studi

(2) Beban studi masing-masing unsur MBB diberi bobot 3 (tiga) sks (satuan kredit semester).

 

Pasal 12

SK Dirjen Dikti No. 43 da 44 tentang Organisasi Penyelenggaraan Kelompok Matakuliah Pengembangan Kepribadian (MPK) dan Matakuliah Berkehidupan Bermasyarakat (MBB):

Penyelenggaraan pembelajaran Matakuliah Pengembangan Kepribadian dan kegiatan akademik lainnya yang relevan dikelola oleh Universitas dalam satu unit bersama dengan kelompok Matakuliah Berkehidupan Bermasyarakat.

 

Kebijakan-kebijakan tersebut menunjukkan masih diperlukan kemampuan dari kalangan PT dalam menafsirkan peraturan yang ada sebagai hak sekaligus kewajiban otonomi untuk mengoperasionalkan MPK dan MBB sehingga Pendidikan Pancasila dapat diselenggarakan secara efektif dalam pengembangan kepribadian dan berkehidupan bermasyarakat mahasiswa di seluruh PT (GAMBAR 1). Karena semangat negatif UU 20/2003 tentang pendidikan Pancasila selama ini kiranya sudah merasuk ke dalam jiwa, atau mungkin sudah pada tingkat mendarah daging, di dunia pendidikan khususnya di PT. Keterbukaan tanpa filter sejak awal reformasi menjadikan penetrasi paham-paham liberalisme, sektarianisne, individualisme, golonganisme dan lain-lain lebih mudah dan akibatnya pendidikan Pancasila yang diperburuk oleh citra BP7 produk era Orde Baru justru menjadi bahan tertawaan dan sinisme.

Realita paling baru adalah terbitnya Surat Dirjen Dikti 5 Januari 2010 tentang Penyelenggaraan Perkuliaahan Pendidikan Pancasila di Pendidikan Tinggi. Dengan mempertimbangkan adanya berbagai tuntutan tentang Pendidikan Pancasila maka dengan setengah hati diterbitkan Surat Dirjen Dikti No. 06/D/T/2010 yang antara lain menyebutkan:

“ … bahwa secara filosofis, yuridis dan sosiologis penyelenggaraan Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi tidak melanggar Peraturan Perundang Undangan yang berlaku. Bagi Perguruan Tinggi yang telah menyelenggarakan Pendidikan Pancasila agar meningkatkan proses pembelajaran yang aktif, inivatof, kreatif, kontekstual, dan menyenangkan.”

 

Apabila membaca dan mencermati bunyi bagian Surat Dirjen Dikti tersebut dapat dimaknai bahwa Perguruan Tinggi yang selama ini tidak menyelenggarakan Pendidikan Pancasila adalah yang benar dan sesuai dengan Peraturan Perundang Undangan.

Walaupun demikian Surat Dirjen Dikti tersebut sebagai upaya mengimplementasikan UU No. 20/2003 tentunya dapat dianggap sebagai langkah yang maju. Karena UU Sisdiknas disusun dalam pengaruh yang kuat dari paham liberalisme dan paham-paham “predator” Pancasila lainnya yang mendapat angin segar dari proses reformasi. Oleh sebab itu Surat Dirjen Dikti tersebut walaupun tidak memuaskan, sebagai kebijakan terbaru yang diterbitkan setelah 12 tahun reformasi berjalan harus dilihat merupakan hal yang positif sebagai pemenuhan terhadap tuntutan masyarakat yang masih “eling”, ingat, sadar tentang perlunya Pendidikan Pancasila, agar Pendidikan Pancasila masuk kembali secara bermakna dalam kurikulum pendidikan sebagai mataajar dan matakuliah yang berdiri sendiri.

Namun demikian dalam kondisi mayoritas masyarakat dengan “darah daging” yang sudah sangat kental dengan nilai-nilai liberalisme bercampur dengan sektarianisme, golonganisme maka keperluan Pendidikan Pancasila yang komprehensif harus terus didengungkan bahkan lebih keras lagi. Pendidikan Pancasila sebagai mataajar dan matakuliah yang terkait dengan pendidikan pengembangan kepribadian, bermasyarakat dan berbangsa yang dimaknai sebagai pembangunan Jatidiri bangsa Indonesia perlu difasilitasi lebih komprehensif dan sistematis baik di dunia pendidikan maupun masyarakat. Itulah sebabnya bahwa  perjuangan dapat dikatakan belum selesai.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III EPISTEMOLOGI DAN AKSIOLOGI PENDIDIKAN PANCASILA: Sosialisasi, Internalisasi dan Aktualisasi

3.1. PERUBAHAN PARADIGMA

Dari uraian di muka kegiatan pengembangan kepribadian dan berkehidupan bermasyarakat di PT dalam rangka pembangunan Jatidiri bangsa berdasarkan nilai-nilai Pancasila perlu mengikuti tuntutan perubahan paradigma. Untuk itu sebagai rujukan ada empat kegiatan nasional yang terkait yaitu pertama, komitmen Guru Besar Seluruh Indonesia dalam Kongres Guru Besar Indonesia ke 1 (KGBI-1) untuk segera membangun Jatidiri bangsa yang terancam oleh globalisasi dengan mengembangkan pendidikan Pancasila yang partisipatif dan egaliter[6]. Kedua, pada kesepakatan bersama Perguruan Tinggi Negeri (PTN) seluruh Indonesia di Kantor Wakil Presiden RI tahun 2009 di mana PTN-PTN diharapkan segera mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila dalam proses pendidikan untuk menyelamatkan bangsa dari disintegrasi dengan koordinator UGM[7]. Ketiga,  Rembuk Nasional Pendidikan 2010 yang diselenggarakan pada 02 -04 Maret 2010 yang dimaksudkan sebagai langkah dan tindakan konkret pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan unsur terkait lainnya dengan tujuannya: (1) melakukan evaluasi capaian kinerja pembangunan pendidikan tahun 2005-2009; (2) memantapkan rancangan kebijakan dan program pembangunan pendidikan tahun 2010. Untuk melaksanaan rencana besar rembuk nasional tersebut dibentuk 5 komisi di mana masing-masing komisi membahas secara mendalam tentang isu-isu pokok pendidikan dan salah satunya adalah Komisi 4 yang bertugas membahas penguatan peran pendidikan dalam upaya peningkatan akhlak mulia dan pembangunan karakter bangsa.[8] Keempat, Kongres Pancasila yang telah diselenggarakan 2 kali yaitu ke 1 pada 30 Mei -1 Juni 2009 di UGM yang didukung oleh Mahkaman Konstitusi (MK), dan ke 2 pada 31 Mei – 1 Juni 2010 di Universitas Udayana mendapat dukungan dari MPR-RI di mana pada intinya adalah bahwa Pancasila harus direvitalisasi, diaktualisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan (kalau perlu) melakukan yudicial review terhadap UU 20/2003 agar pendidiklan Pancasila menjadi subyek yang mandiri sebagai bagian utama dari proses pembangunan jatidiri bangsa Indonesia. Pendidikan Pancasila harus diselenggarakan secara sistematis oleh suatu lembaga yang dibentuk untuk itu (seperti PB 7) namun tidak bersifat indoktrinatif. Dua kongres tersebut didukung pula oleh beberapa pertemuan nasional yang tak kalah pentingnya yang telah diuraikan pada bagian pengantar.

Empat even tersebut bersama-sama menyadari bahwa akibat globalisasi bangsa indonesia menghadapi krisis identitas, termajinalisasi dan kehilangan nilai-nilai kebersamaan sehingga terancam perpecahan. Hal ini sangat terkait dengan terabaikannya oleh pemerintah dan dunia pendidikan tentang implementasi dan aktualisasi nilai-nilai Pancasila secara sungguh-sungguh dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehingga sangat tepat apabila salah satu hasil rembuk nasional adalah membetuk komisi 4 dalam rekomendasinya dan Kongres Pancasila merekomendasikan pembentukan suatu lembaga agar proses sosialisasi nilai-nilai Pancasila efektif dan sustainable.

Melihat kondisi mental dan moral dan ideologi bangsa yang telah diuraikan, usaha mengaktualisasikan secara komprehensif dan sistematis nilai-nilai Pancasila sebagai filsafat dan ideologi berbangsa dan bernegara harus segera dilaksanakan dan PT merupakan pilihan yang strategis untuk ikut memecahkan masalah bangsa tersebut. Karena diyakini Pancasila adalah produk ilmiah dan PT merupakan institusi atau sektor pendidikan yang mempunyai kompetensi di mana IPTEK dibangun dan generasi muda bangsa dididik menjadi bagian utama dari kecerdasan bangsa.  Oleh sebab itu lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali, PT sebagai komponen bangsa harus berusaha menjadi pelopor sekaligus motor dalam pengembangan jatidiri bangsa karena taruhannya adalah keselamataan bangsa Indonesia.

Dengan mendesaknya permasalahan tersebut seharusnya ada gayung bersambut dari seluruh PT di Indonesia yang didukung oleh jajaran pemerintah pusat dan daerah termasuk DPR dan DPRD untuk melakukan upaya terintegrasi menyelenggarakan kegiatan pembangunan jatidiri. Yaitu pertama, mewujudkan semangat Guru Besar yang mewakili dunia pendidikan bangsa, kedua, kesepakatan di Kantor Wakil Presiden RI sebagai perwujudan kesadaran pemerintah tentang kondisi kritis pendidikan mental dan moral serta ideologi bangsa yang memerlukan partisipasi dari PT, serta ketiga, hasil Rembuk Nasional masyarakat pendidikan dan stakeholdernya dengan salah satu prioritasnya adalah ”Penguatan peran pendidikan dalam upaya peningkatan akhlak mulia dan pembangunan karakter bangsa”, keempat, Kongres Pancasila ke1 di Jogyakarta (Juni 2009) dan ke 2 di Denpasar (Juni 2010) yang keempatnya baik tersurat maupun tersirat mengadung semangat tentang pentingnya usaha aktualisasi nilai-nilai Pancasila terstruktur dan terlembaga.

Mewujudkan pendidikan Pancasila menjadi aktivitas konkrit berkesinambungan dalam rangka membangun mental dan moral kebersamaan nasional di PT dengan merevitalisasi dan mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila sebagai bagian dari proses pendidikan adalah dalam rangkaian, dan dapat menjadi proyek percontohan, pengembangan jatidiri bangsa Indonesia dalam menghadapi ancaman globalisasi. Untuk itu uraian di berikutnya merupakan bagian dari konsep implementasi pendidikan Pancasila yang akan ditawarkan yaitu pemaparan tentang paradigma, asumsi dan landasan teori serta metodologi yang dipilih dan konsep kebersamaan yang harus diwujudkan yaitu kebersamaan Gotong-royong.

3.2. PERUBAHAN PARADIGMA DAN PRIORITAS PEMBANGUNAN

Pada kehidupan setiap bangsa bidang pendidikan mempunyai fungsi strategis di dalam proses pembangunan kecerdasan baik dalam aspek IPTEK maupun mental dan moral serta spiritual. Pendidikan merupakan proses di mana generasi penerus bangsa dicetak menjadi sumber daya manusia (SDM) yang handal baik secara individual maupun kolektif untuk mempunyai kepandaian dalam merekayasa alam semesta sekaligus berkepribadian dan berkehidupan bermasyarakat berdasarkan nilai budaya dan ideologi dalam berbangsa dan bernegara sebagai dua sisi mata uang yang sama dari jatidiri bangsa Indonesia. Bagi bangsa Indonesia satu sama lain secara simultan merupakan usaha membangun jatidiri bangsa yang mampu menjadi subyek mandiri dalam berkarya terutama dalam mengolah kekayaan alam yang kaya raya dan menjaga kebudayaan nasional yang gilang gemilang sebagai anugerah Tuhan YME berdasarkan nilai-nilai Pancasila untuk menjadi kekuatan bangsa menghadapi pergaulan dengan bangsa lain di dunia di era globalisasi.

Globalisasi dengan kemajuan teknologi informasi, komunikasi dan transportasi menyebabkan pengaruh nilai-nilai budaya asing nyaris tanpa hambatan masuk ke dalam kehidupan bangsa Indonesia yang bhineka dalam hal etnis, budaya dan agama sehingga menambah kompleksitas dalam usaha membangun kebersamaan (semangat persatuan dan kesatuan) sebagai modal sosial dan sokoguru jatidiri bangsa seperti yang dicita-citakan oleh semangat proklamasi kemerdekaan yaitu terwujudnya masyarakat Bhineka Tunggal Ika.

Pembangunan di bidang pendidikan pada era reformasi dan sekaligus globalisasi dituntut perubahan paradigma karena seperti apa yang disebut dalam Simposium dan Saresehan Lemhannas, LIPI, UGM tahun 2006 bangsa Indonesia semakin ”salah asuhan”, dan seperti halnya di bidang-bidang kehidupan lainnya akibat penetrasi paham neoliberal menjadikan bangsa Indonesia semakin tidak mandiri dan lemah dalam bersaing dengan bangsa lain. Perubahan tersebut sangat terkait dengan implementasi dan aktualisasi nilai-nilai Pancasila dalam proses pembangunan aspek mental dan moral serta ideologi bangsa di mana seharusnya diletakkan pada posisi sentral dalam proses pendidikan. Dengan kata lain proses sosialisasi dan akulturasi nilai-nilai Pancasila (apabila belum diganti dengan ideologi lain) di masyarakat Indonesia adalah aspek yang sangat penting dan seharusnya jauh-jauh hari sudah menjadi prioritas dalam pembangunan  pendidikan.

Pada awal reformasi perubahan paradigma harus terjadi pertama kali di bidang politik pemerintahan nasional karena kesalahan di bidang tersebut merupakan penyebab terjadinya krisis nasional. Bidang politik pemerintahan yang menjadi sasaran gerakan reformasi yaitu ”pemakzulan” Presiden Suharto dan regime Orde Baru bersama paradigma yang mendasari yaitu sistem pemerintahan otoriter dan sentralistis. Sistem yang membawa besaran pembangunan ekonomi hanya menjadi bubble ekonomi yang sangat ringkih (fragile) dan akhirnya hancur terkena krisis moneter dunia dan bangsa Indonesia mengalami krisis multidimensi. Perubahan paradigma dengan demokratisasi dan desentralisasi atau otonomi di kehidupan politik dengan pluralisasi sistem kepartaian dan sistem pemilihan umum, kenetralan birokrasi, TNI dan Polri, pelaksanaan otonomi daerah dan masyarakat serta penggantian atau penghapusan semua kelembagaan (termasuk BP7) dan atribut-atribut lain yang melekat pada sistem pemerintahan otoriter Orde Baru.

Sebagai konsekuensi logis perubahan paradigma juga terjadi di tingkat implementasi kebijakan yaitu dalam proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan. Perubahan dari sistem sentralisasi menuju ke sistem desentralisasi – otonomi dan dari bersifat top down menjadi bottom up di mana daerah (propinsi, kabupaten/kota, dan desa) dan masyarakat (termasuk bidang pendidikan) diberi hak otonomi dalam proses pelaksanaan pembangunan serta konsep-konsep yang lebih teknisnya antara lain konsep keterlibatan masyarakat dalam pembangunan dari bersifat mobilisasi menjadi partisipasi.

Sesuai dengan asumsi yang telah diuraikan agar perubahan paradigma menjadi berdaya guna dan berhasil guna, khususnya dalam rangka bangsa Indonesia keluar dari krisis dan mampu menghadapi globalisasi yang ”diboncengi” oleh paham liberalisme, sektarianisme dan komunisme yang bertujuan ”berebut wilayah jajahan” dalam jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia, maka semua usaha pembangunan seharusnya dibarengi dengan aktivitas filterisasi pembangunan jatidiri dengan ”penghayatan dan pengamalan” nilai-nilai Pancasila yang simultan dengan usaha pelestarian  nilai-nilai budaya bangsa.

Namun sebagai akibat dari krisis pemerintah mengalami keterbatasan sumber daya (APBN/APBD) dan pada gilirannya usaha pembangunan terpaksa harus menentukan skala prioritas. Krisis ekonomi menyebabkan anjloknya pertumbuhan ekonomi nasional yang berdampak berkurangnya sumber pendapatan negara dan merosotnya secara drastis kemampuan masyarakat memenuhi kebutuhan sarana prasarana dan bahan kebutuhan pokok (sembako) sehingga sangat beralasan apabila pembangunan bidang fisik-material dipriotritaskan sedangkan bidang-bidang yang sifatnya non fisik terpaksa harus ”dikorbankan”.

Jadi sejak awal reformasi usaha pembangunan cenderung memberi tekanan selain pada bidang politik dan pemerintahan juga pada aspek fisik yang langsung dapat dirasakan dan diperlukan dalam kehidupan masyarakat dan tidak dibarengi secara serius usaha mengimplementasikan nilai-nilai yang sesuai paradigma reformasi dengan merujuk pada ideologi bangsa. Sehingga berbagai perilaku ”kebablasan” masyarakat menjadi fenomena umum mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara. Betapa nilai-nilai asing yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia yang dicita-citakan menjadi mengedepan mewarnai proses pembangunan bangsa. Kondisi ”salah asuhan” menyebabkan munculnya masalah-masalah sosial kultural dengan gejala konflik dan penyimpangan norma-norma sosial di semua bidang kehidupan baik yang masih quasy (potensial) maupun yang sudah manivest (aktual) yang membahayakan kesatuan dan persatuan bangsa (makro) dan menghambat pencapaian efektivitas dan evisiensi pembangunan pada tingkat daerah dan masyarakat (mikro).

Nilai-nilai kapitalisme liberal dengan semangat persaingan bebasnya bercampur dengan nilai-nilai feodalisme menghasilkan sikap-sikap dan perilaku individualisme, hedonisme, konsumerisme yang menjadi akar budaya koruptif. Nilai-nilai kapitalisme liberal berhadapan dengan sektarianisme dan komunisme merupakan lahan subur bagi munculnya pemikiran golonganisme, separatisme, eksklusivisme sebagai akar dari disintegrasi bangsa. Satu sama lain dapat dikatakan sebagai katalisator munculnya berbagai tragedi dan ironi kehidupan bangsa akibat kekacauan nilai dan norma hidup kebersamaan seperti: konflik Ambon, Poso, Sampit, Aceh, konflik antar daerah dan suku; ketidak harmonisan hubungan antar masyarakat, antar pelajar dan mahasiswa, antar lembaga dan pelaku pendidikan; kekacauan nilai moral dan etika dalam penggunaan kewenangan dalam kehidupan politik pemerintahan baik di eksekutif, legeslatif maupun yudikatif seperti suap-menyuap, korupsi berjamaah, money politics, mafia kasus dan lain-lain karena sudah tidak adanya etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Selama ini Menkopolhukam sebetulnya telah berinisiatif untuk menghapi fenomena tersebut dan memberi prioritas pada penataan aspek ideologi dan nilai budaya di semua bidang kehidupan.[9]

Prioritas pada aspek-aspek fisik ditandai dengan penyusunan atau perubahan/amandemen undang-undang (UU) di mana bidang-bidang yang dianggap kurang relevan harus dikalahkan. Antara lain  UU Otonomi Daerah, UU Pemilu, UU Persaingan Usaha dan berbagai UU lainnya yang mengatur perubahan-perubahan dalam pembangian (distribusi) kekuasaan politik dan ekonomi serta material. Sedangkan UU dan peraturan-peraturan di bidang pendidikan baru diselesaikan lima tahun setelah reformasi yaitu UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Demikian pula pada tingkat implementasi di masing-masing bidang cenderung mendahulukan pengembangan sektor dan aspek yang bersifat fisik dan teknis-prosedural dan mengesampingkan sektor dan aspek mental dan moral serta spiritual. Kebijakan pembangunan berkutat pada pengadaan hard ware dan hard skill yang konkrit dan mengesampingkan aspek soft ware dan soft skill yang abstrak.

Pembangunan di bidang pendidikan yang relatif terlambatpun tak terkecuali cenderung mengutamakan sektor dan aspek yang bersifat fisik terlebih dahulu antara lain peningkatan sarana dan prasarana serta peningkatan kompetensi akademik dan ketrampilan teknis tenaga pendidik dan kependidikan. Pada pengembangan aspek kurikulum hampir seluruh perhatian ditujukan pada peningkatan kualitas pendidikan hard skill dibandingkan soft skill dari proses perancangan pembelajaran (pengajaran), implementasi hingga evaluasi. Akibat penetrasi paham neoliberal pengembangan soft skill dalam kurikulum diutamakan dalam rangka mendukung kompetensi mahasiswa dan lulusan untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan bidang keilmuan masing-masing dan bukan pengembangan kepribadian yang komprehensif dalam rangka membangun jatidiri sebagai generasi muda suatu bangsa menghadapi persaingan internasional. Stakeholder PT yaitu pemakai lulusan menilai PT kurang memberi kurikulum yang bermuatan soft skill yang terkait dengan moralitas dibanding konsentrasi pada peningkatan kurikulum  hard skill yang bersifat tektis akademis. Padahal mereka justru menghendaki 80% soft skill dan hanya 20% hard skill.[10]

Sedangkan dalam ”perjuangan kekuasaan” dalam proses hubungan antar bangsa di era globalisasi kemajuan teknologi informasi, komunikasi dan transportasi negara-negara maju sudah menggunakan soft power. Yaitu menguasai aspek budaya bangsa lain dalam persaingan dalam strugle for power (Nye, 2004; Morgentau, 1978) dengan mendorong dunia pendidikan mereka untuk menciptakan SDM khususnya lulusan PT yang memiliki kompetensi soft skill yang tinggi dalam rangka membangun modal sosial untuk mendukung perjuangan negara mereka mencapai kepentingan menguasai dunia. Oleh sebab itu bagi bangsa Indonesia tidak ada kata terlambat dan harus mendukung sepenuhnya apabila hasil rembug nasional pendidikan yang telah disinggung di muka bertujuan ”penguatan peran pendidikan dalam upaya peningkatan akhlak mulia dan pembangunan karakter bangsa”.

3.3. PEMBANGUNAN JATIDIRI DI PENDIDIKAN TINGGI: PYLOT PROJECT

Seperti telah diuraikan pada bagian terdahulu salah satu implementasi UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas lebih lanjut adalah PP No. 19/2005 tentang SNP. Untuk melaksanakan PP tersebut peraturan-peraturan lebih operasional di PT dibuat pada tahun 2006 yaitu SK Dirjen Dikti No. 43/2006 dan SK Dirjen Dikti No. 44/2006 tentang pendidikan kepribadian dan berkehidupan bermasyarakat yang berupa rambu-rambu di mana materi tentang Pancasila sudah secara eksplisit dicantumkan namun implentasinya diserahkan kepata masing-masing PT. Jadi dunia pendidikan selama hampir satu generasi pendidikan 1998-2010 (wajib belajar 12 tahun) dapat dikatakan masih melakukan ”pembiaran” terhadap Pancasila di mana materi Pancasila hanya merupakan bagian dari salah satu mata ajar yaitu Kewarganegaraan sedangkan dalam pelaksanaannya masih menuntut kreativitas masyarakat PT. Kondisi tersebut searah dengan dengan konsep pendidikan berbasis sekolah (PBS) menyebabkan implementasi nilai-nilai Pancasila masuk dalam persaingan antar lembaga pendidikan. Terbitnya SE Dirjen Dikti No. 06/D/T/2010 dengan setengah hati tentang pendidikan Pancasila, dalam rangka memberi kebebasan untuk melaksanakan hak dan kewajiban otonomi PT untuk menunjukkan kompetensi masing-masing dalam melaksanakan pendidikan Pancasila, tak lain adalah bagian dari strategi kaum predator Pancasila agar tidak ada integrasi dalam dunia pendidikan umumnya dan PT khususnya dalam upaya peningkatan akhlak mulia dan pembangunan karakter bangsa.

Jadi pendidikan pengembangan kepribadian dan kebangsaan mahasiswa juga harus mengikuti pola pembangunan PT yang memprioritaskan sektor-sektor dan aspek-aspek lebih konkrit dan teknis baik berupa pengembangan fasilitas sarana dan prasarana (hard ware) maupun kecakapan instrumental (instrumental skill) tenaga pendidik dan kependidikan (SDM) serta kurikulum bidang ilmu (hard skill). Sementara aspek-aspek yang bersifat sosial-kulktural (soft skill) dalam aspek hidup kebersamaan sebagai suatu bangsa (ideological aspect) dalam hal ini yang terkait dengan pendidikan kepribadian dan berkehidupan bermasyarakat di mana nilai-nilai Pancasila seharusnya menjadi unsur utama dalam kurikulum terpaksa harus mendapat perhatian lebih kemudian.

Itulah sebabnya para pelaku pendidikan selama ini terbiasa dengan pembangunan aspek-aspek fisik dan teknis yang konkrit dan mengesampingkan aspek sosial budaya dan moral etika yang abstrak termasuk pada pengembangan kurikulum, sehingga dunia pendidikan rentan terhadap upaya bangsa lain menguasai cara berfikir bangsa Indonesia dan pada gilirannya bangsa Indonesia dengan mudah dikendalikan untuk keuntungan (sosial, politik dan ekonomi) bangsa pemilik budaya asing tersebut.

Selama pendidikan Pancasila masih ”terlantar” sementara paham dan nilai-nilai budaya asing sudah berlalu-lalang secara leluasa dan semakin merajalela melalui sistem informasi dan komunikasi dikhawatirkan menyebabkan masyarakat, termasuk masyarakat pendidikan, mengalami kondisi yang lebih parah lagi yaitu situasi anomi dan schizophrenia (jaman edan) ”kehilangan” jatidiri yang gejalanya telah diuraikan. Untuk itu dalam kondisi mental masyarakat yang mengalami anomi akut sekarang ini dan dalam ancaman penguasaan oleh budaya bangsa lain, masyarakat khususnya masyarakat pendidikan harus segera mengadakan upaya secara serius dan sistematis ”menemukan kembali” jatidiri bangsa dalam proses belajar mengajar dengan konsep kebersamaan sebagai soko gurunya dan nilai-nilai Pancasila  sebagai common denominator. Dengan akselerasi yang tinggi dapat diharapkan masyarakat pada umumnya dan masyarakat pendidikan pada khususnya dapat segera terfilterisasi terhadap nilai-nilai asing dan segera sadar (eling) dan menjadi waspada (waspodo) dan menemukan jatidiri yang sekarang ”terkubur” oleh ”lumpur” nilai-nilai asing.

Jadi dengan uraian di muka adalah suatu angin segar apabila rembug nasional pendidikan yang dihadiri oleh Ketua Komisi X DPR RI mempunyai concern pada ”penguatan peran pendidikan dalam upaya peningkatan akhlak mulia dan pembangunan karakter bangsa sebagai permasalahan krusial yang dihadapi PT khususnya dan dunia pendidikan umumnya di seluruh Indonesia dan bahkan sangat mungkin seluruh sistem pendidikan nasional. Demikian pula hasil Kongres Pancasila di Jogyakarta dan Denpasar yang merekomendasikan akan perlunya kelembagaan yang kompeten untuk mengiplementasikan nilai-nilai Pancasila.

Permasalahanya adalah dalam kondisi bangsa yang sedang terancam oleh kekuatan bangsa lain, bagaimana mengimplementasikan pendidikan Pancasila secara kritis. Karena berdasarkan legalitas yang ada Pendidikan (nilai-nilai) Pancasila masih dalam keadaan terbelenggu oleh peraturan perundangan yang kontra produktif yang memberi ruang terhadap agen-agen pembawa nilai-nilai asing dengan bebas melakukan penetrasi melalui berbagai media. Dengan prinsip lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali dunia pendidikan segera memasukkan pendidikan Pancasila  pada proses kegiatan belajar mengajar dengan melibatkan seluruh pelaku pendidikan menemukan kembali konstruksi karakter bangsa Indonesia yang ”porak poranda” dilanda arus globalisasi dengan merekonstruksi ”puing-puing” yang tersisa menjadi bangunan kokoh jatidiri bangsa melalui proses pendidikan (bagian 6 B dan bagian 8).

PT di Indonesia harus mengadakan kegiatan-kegiatan pendidikan secara terintegrasi serta terorganisasi dengan mengkritisi kondisi bangsa dan bertujuan menghasilkan luaran tentang bagaimana kebijakan yang terkait dengan pendidikan Pancasila diimplementasikan. Dengan merekonstruksi jatidiri bangsa yang rusak dengan peningkatan akhlak mulia pembangunan karakter bangsa sebagai bagian dari usaha pembangunan jatidiri bangsa di era globalisasi. PT yang produknya menjadi tumpuan harapan mencerdaskan kehidupan bangsa dan sebagai center of excellence dalam proses reformasi bangsa Indonesia tentunya secara bersama-sama harus menempati garis depan dalam perjuangan ”kemerdekaan” ini. Apalagi Jawa Timur khususnya Surabaya situasi ”colonization” terhadap bangsa Indonesia sudah mempunyai benih semangat dari peristiwa 10 Nopember 1945 yang dapat menjadi benchmark dan contoh perjuangan bagi PT di seluruh Indonesia. Apalagi di Jawa Timur ada Universitas Airlangga yang sudah lebih dahulu menjadi BHMN tentunya juga harus menjadi pelopor PT dalam mengembangkan corporate culture dan corporate social responsibility (CSR) berdasarkan visi dan misi serta proyeksi pembangunan masing-masing. [11]

Semangat tersebut ternyata sudah menjadi agenda pada empat even nasional yang menjadi rujukan naskah ini. Dalam hal ini KGBI ke-1 yang diselenggarakan Forum Intelektual Indonesia (FII) pada 16-17 Mei 2007 di Jakarta yang dihadiri lebih dari 400 guru besar dari seluruh Indonesia secara eksplisit menyatakan perlunya pengembang lebih sistematis pendidikan Pancasila. Kongres dari guru besar sebagai unsur utama sivitas akademika PT yang selayaknya menjadi pusat keteladanan dan panutan serta yang ”digugu dan ditiru” di kehidupan PT baik dalam upaya mengembangkan IPTEK maupun dalam kehidupan bermasyarakat dalam mewujudkan kebersamaan dengan tema: “Jatidiri Bangsa dalam Ancaman Globalisasi” kiranya sangat layak menjadi rujukan. Banyak guru besar dari Jawa Timur yang terlibat aktif KGBI antara lain dari UA, UNESA, ITS, UNIBRAW, UNM, UNEJ, UIN Malang, IAIN Sunan Ampel, UHT, UWK, UK PETRA, UWM, UNMER, UPN Surabaya, UBHARA, UNTAG, UNIBANG dan lain-lain.

KGBI bertujuan menyiapkan bangsa Indonesia (melalui PT) dalam menerima arus globalisasi dan memantapkan jatidiri bangsa Indonesia untuk memasuki era globalisasi dengan menyusun langkah bersama untuk mengatasi krisis dan berbagai persoalan mendasar bangsa lainnya. Globalisasi telah menyebabkan bangsa Indonesia kehilangan gravitasi untuk mendirikan bangunan keIndonesiaan kontemporer. Yaitu secara komprehensif mengembalikan Pancasila sebagai sandaran dan modal dasar nilai-nilai dalam menyusun bangunan masyarakat demokratis dengan meletakkan Pancasila sebagai kesatuan ontologis yang mengakui pluralitas dalam bangunan kesatuan persatuan (Bhineka Tunggal Ika) dengan menganti model penjabaran (sosialisasi) represif dan ancaman dengan suasana yang lebih partisipatif dan egaliter dalam mengembangkan Pancasila sebagai sign of unity dan sign of solidarity.

3.4. MEMBANGUN SOCIAL CAPITAL SECARA KRITIS – KONSTRUKTIF[12]

Bertolak dari semangat seperti yang telah diuraikan dapat diartikan bahwa PT di Indonesia di era globalisasi dan dalam kemajuan teknologi informasi, komunikasi dan transportasi, sebagai elemen bangsa yang mempunyai kompetensi pendidikan paaripurna dalam mencerdaskan kehidupan bangsa,  mempunyai tugas membangun pemikiran dan mengimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari agar bangsa Indonesia tidak menjadi obyek tak berdaya di era globalisasi yang didominasi dan diancam oleh paham liberalisme dan sektarianisme serta komunisme dalam fenomena hubungan antar bangsa yang diwarnai oleh  semangat persaingan pasar bebas (Francis Fukuyama) dan sekaligus benturan peradaban (Samuel P. Huntington) (Rofiqi, 2005). Dengan kondisi dan situasi demikian PT diharapkan dapat menyusun model dan strategi bagaimana membangun kebersamaan bangsa Indonesia, seperti telah dilakukan oleh para perintis dan pejuang kemerdekaan bersama-samaa rakyat dalam menghadapi penjajah Belanda yang kemudian melahirkan ideologi bangsa Indonesia yaitu Pancasila. Kebersamaan yang sesuai dengan jatidiri bangsa Indonesia agar mampu survive sekaligus menjadi subyek dengan kecerdasan kritis dengan berfikir konstruktif[13] membangun “narasi alternatif tentang globalisasi” yang mempunyai akar histories dalam kebersamaan Indonesia yang dapat menjadi modal sosial (social capital) menghadapi globalisasi (Fukuyama, 1999; Steger, 2005: 22). Lebih operasional lagi bagaimana masyarakat PT Indonesia mampu menciptakan bersama-sama kepandaian kritis menghadapi proyek-proyek neo/liberal yang walaupun sudah dibungkus dengan nilai HAM namun jiwanya tetap kolonial dengan mengkonstruksikan kebersamaan masyarakat Indonesia dengan mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila. Yaitu kebersamaan sebagai faktor kohesif yang dapat mengeliminir efek negatif dari prinsip keterbukaan dan otonomi sebagai prinsip utama paham neo/liberalisme, prinsip yang sangat rentan terhadap disintegrasi bangsa. Kebersamaan yang dapat menjadi social capital dalam memaksimalkan potensi bangsa untuk tidak menjadi loser tetapi menjadi gainer dalam proses globalisasi (Fukuyama, 1999: 11-14).

3.4.1. Pengembangan Social Capital

Huntington  mengatakan bahwa pada era pasca perang dingin identitas-identitas budaya dan kebudayaan mampu membentuk pola kohesif atau perekat  yang mengakomodasi adanya pluralitas masyarakat dalam membangun integrasi atau kebersamaan (togetherness) atau juga sebaliknya menyebabkan disintegrasi. Oleh sebab itu apabila tidak ada kesadaran untuk mengembangkan aspek kohesif tersebut negara nasional yang plural di bidang etnis dan budaya akan menghadapi kekuatan distruktif (Huntington, 2000: 5).

Menurut Putnam nilai perekat yang fungsional dalam membangun kebersamaan masyarakat ditunjukkan pada adanya pola-pola interaksi yang membantu masyarakat dan negara dapat memahami satu sama lain. Yaitu kondisi masyarakat  sebagai social capital yang seharusnya terbangun bersamaan dengan pembangunan fisical capital dan human capital. Putnam mendefinisakan social capital sebagai institusi sosial yang melibatkan jaringan nilai, norma-norma dan kepercayaan sosial yang mendorong pada sebuah kerjasama sosial antara negara dan warganegara yang saling menguntungkan untuk kepentingan bersama dan bermuara pada kemampuan untuk membentuk sistem pemerintahan yang bersih, efektif, efisien, responsif, akomodatif terhadap aspirasi rakyat sebagai prasyarat terbentuknya civil society. Suatu sistem politik yang mengalami perkembangan negatif atau defisit social capitalnya rentan terhadap krisis (Putnam, 1995). Artinya sistem politik yang surplus Social capital akan terintegrasi secara kokoh. Menurut Fukuyama, Social capital dapat ditumbuhkan (cultivated)  dan social capital mempunyai fungsi positif terhadap kehidupan ekonomi dan politik suatu negara (Fukuyama: 1999, 1) karena social capital mampu menciptakan collective afficiency.[14]

Krisis yang kita derita bukan hanya krisis politik dan ekonomi namun juga kebudayaan yang sangat terkait dengan soft power bangsa Indonesia. Salah satu akibat krisis adalah perkembangan “penyakit” ganas yang telah hidup di tubuh bangsa Indonesia yaitu KKN, arogansi sektoral, golonganisme, materialisme, individualisme dan bahkan hedonisme yang mengakibatkan hilangnya saling percaya dan rasa empati atau tepa selira tidak hanya di antara birokrasi tetapi juga sudah menjalar di seluruh lapisan masyarakat dan mempengaruhi motivasi masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga dapat menghambat dalam mengamankan ideologi Pancasila (Sindhunata, 1999; Abdul Gani, 2000).

Akibatnya berkembang eksklusivisme dan saling tidak percaya antar individu (individualisme), antar bidang kehidupan (sektoral),  antar kelompok dan golongan yang terkenal dengan masalah SARA (sektarianisme) sebagai penyebab utama dari krisis.  Padahal menurut Institute of Future Studies for Development di Bangkok saling percaya adalah kunci untuk menyelesaikan krisis. Sementara itu empati adalah jaringan rasa sebagai basis kebudayaan yang memungkinkan terbangunnya kerukunan dan dialog sosial di setiap masyarakat. Dengan saling percaya dan membangun empati masyarakat akan dapat saling tolong menolong dan bekerja sama. Jadi krisis yang terjadi pada bangsa Indonesia juga dapat disebut krisis kepercayaan dan empati (Asia Week, December 1998).

Dijelaskan salah satu cara untuk keluar dari krisis kepercayan dan menemukan rasa empati di antara masyarakat adalah membangun keterbukaan (openess) satu sama lain dengan mengadakan forum dialog atau kosultasi. Dengan keterbukaan atau saling terbuka melalui dialog yang akrab akan terjadi proses saling memberi input berupa segala sesuatu yang perlu dipikirkan tentang nilai-nilai dengan menyerap dan mensarikan segala pemikiran atau gagasan (yang relevan) beserta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Dari sana diharapkan dapat memberi kontribusi model pada pembangunan masyarakat dengan metoda dialektik, eklektik dan sinkretik untuk menemukan konsep-konsep yang fungsional.

Apabila kebersamaan adalah social capital maka pembangunan bangsa ke depan menuntut social capital dengan mengoperasionalkan nilai-nilai ideologi Pancasila sebagai perekat agar kekuatan nasional bangsa Indonesia siap menghadapi globalisasi. Yaitu mempelajari dan mengembangkan lebih operasional nilai-nilai Pancasila dengan paradigma baru yang demokratik. Karena dari sudut pandangan studi ideologi, sistem nilai suatu masyarakat dianggap sebagai ciri yang paling penting masyarakat tersebut. Dalam beberapa hal sistem niali adalah ideologi dan untuk dapat memahami ideologi, khususnya sistem nilainya, kita harus memahami dasar teoritis dan filosofinya. Dengan begitu, banyak analisis ideologi perlu di diberikan dalam suatu uraian bentuk pertanyaan yang biasanya dianggap  sebagai falsafah politik. Karena secara bebas, tujuan-tujuan filosofis politik adalah pemahaman nilai-nilai politik dan norma-norma politik dari suatu negara. Ideologi politik merupakan suatu sistem nilai atau kepercayaan yang diterima sebagai sesuatu yang benar oleh warganegara  (Sargent, 1986: 14).

Pembangunan masyarakat era Orde Baru dengan ideologi Pancasila sebagi nilai perekat masyarakat  yang diimplementasikan melalui BP7 apa yang sebenarnya terjadi di lapangan justru praktek-praktek  yang anti demokrasi dan  otoriterisme termasuk pelaksanaan pendidikan Pancasila yang bersifat indoktrinatif. Fenomena yang berkembang antara lain korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) pada rejim Orde Baru mendapatkan penentangan yang semakin keras dari kekuatan pemikiran kritis kaum cendekiawan dari perguruan tinggi. Karena rejim Orde Baru dinilai gagal menjawab pertanyaan bagaimana mengiplementasikan nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi berbangsa dan bernegara Indonesia. Seperti halnya para penjuang kemerdekaan yang banyak dari unsur perguruan tinggi dengan sikap kritis mereka berdasar pemikiran ”meta Pancasilanya” pada tahun 1945 mendeligitimasi kekuatan penjajah Belanda dan Jepang yang memang menyimpang dari nilai-nilai HAM,  maka perguruan tinggi-perguruan tinggi di Indonesia khususnya mahasiswa dan kaum intelektual yang semakin lengkap penguasaan ilmu pengetahuan modernnya, dengan pemikiran kritis akhirnya tahun 1998 mendeligitamasi sistem pemerintahan Orde baru karena dinilai melakukan penyimpangan di dalam mengiplementasikan ideologi nasional. Kemudian melalui proses reformasi membangun konstruksi masyarakat demokrasi baru berdasarkan nilai-nilai Pancasila untuk melajutkan proses pembangunan dan modernisasi bangsa Indonesia yang sekarang sedang berlangsung.

Namun karena semua negara mempunyai ideologi demokrasinya masing-masing termasuk negara-negara yang berpaham dan berideologi yang mengancam nilai-nilai Pancasila. Oleh sebab itu pemerintah reformasi di dalam membangun masyarakat demokratis pada tempatnya mengembangkan jiwa kebersamaan sebagai social capital menjadi warna krarifan bangsa Indonesia untuk menghadapi ancaman dari ideologi-ideologi bangsa lain dengan memberi kepercayaan kepada PT sebagai pylot project untuk menjadikan nilai-nilai ideologi Pancasila sebagai nilai-nilai perekat rejim (aturan main) baru dengan starategi bottom up dan pendekatan pembangunan masyarakat (community development) yang partisipatif di kampus.[15]

Apabila kembali pada semangat kebersamaan perjuangan mempertahankan kemerdekaan para founding father tahun 1945 yang melahirkan ideologi Pancasila, maka dalam mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila pada era globalisasi sekarang ini usaha membangun kebersamaan sebagai sokoguru jatidiri bangsa harus juga dengan strategi yang sama yaitu menggalang dukungan masyarakat secara partisipatif (bukan mibilisasi). Semangat kebersamaan tersebut sangat bersesuaian (appropriate) dengan konsep yang sudah dikonstruksikan yaitu mengembangkan nilai-nilai kekeluargaan gotong-royong sebagai konsep asli Indonesia yang dirumuskan para founding father. Arti autentik gotong-royong dalam hal ini terkandung di dalam isi pidato ilmiah Ir. Sukarno (sebagai bapak bangsa dan bukan milik suatu partai politik) pada sidang BPUPKI 1Juni 1945 yang antara lain menyebutkan:

“Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya, satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan Gotong Royong. Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong-royong! Alangkah hebatnya! Negara Gotong-royong!

Gotong-royong adalah paham yang dinamis, lebih dinamis dari “kekeluargaan” Saudara-saudara! Kekeluargaan adalah suatu faham yang statis, tetapi gotong-royong menggambarkan suatu usaha, suatu amal, suatu pekerjaan, yang dinamakan anggota yang terhormat Soekarno satu karyo, satu gawe. Marilah kita menyelesaikan karyo, gawe, pekerjaan, amal ini, bersama-sama! Gotong-royong adalah pembanting tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan Bantu-binantu bersama. Amal semua buat semua. Holobis-kontul baris buat kepentingan bersama! Itulah Gotong –royong!

Prinsip Gotong-royong diantara yang kaya dan yang tidak kaya, antara yang Islam dan yang Kristen, antara yang bukan Indonesia tulen dengan peranakan untuk menjadi bangsa Indonesia. Inilah Saudara-saudara yang saya usulkan kepada Saudara-saudara. Pancasila menjadi Trisila. Trisila menjadi Ekasila.” (Depen-RI, 1945: 26; LPPKB, 2005: 54-55)[16]

 

Dengan kata lain proses pendidikan ideologi Pancasila sebagai pendidikan nilai-nilai dasar berbangsa dan bernegara dalam menghadapi krisis dan mengalami dekonstruksi akibat kekuatan distruktif nilai-nilai asing harus merupakan proses revitalisasi, aktualisasi nilai-nilai Pancasila dalam rangka merekonstruksi sistem nilai yang menjadi dasar prilaku kebersamaan dalam konsep gotong-royong (GAMBAR 2). Oleh sebab itu untuk mewujudkan sistem pemerintahan yang baik (good government) salah satu tugas pemerintah adalah mampu mewujudkan bangunan atau konstruksi masyarakat gotong-royong. Yaitu sistem yang mampu mengendalikan dinamika kelompok warganegara yang mengandung potensi konflik baik terbuka maupun tertutup dengan aktualisasi nilai-nilai  Pancasila  sebagai  dasar  social capital baru dengan nilai-nilai kerukunan dan saling percaya dalam mewujudkan kesatuan dan persatuan bangsa dan negara yang sejati (Aminah, 2002).

Pancasila adalah merupakan produk ilmiah dalam semangat intelektual atau ilmuwan kritis sistem PT barat jaman penjajahan, antara lain Ir. Sukarno, Drs. Mohamad Hatta, Prof. Dr. Soepomo, Mr. Muhamad Yamin dan lain-lain, sebagai dasar ideologis dan filsafati untuk mencapai kemerdekaan bangsanya dari penjajahan (golongan non-cooperatif). Pemikiran atau teori-teori dari PT tentunya bersumber dari masyarakat barat baik di jaman perjuangan kemerdekaan (berorientasi ke Eropa/negeri Belanda/Continental) hingga sekarang (berorientasi ke negara-negara Barat Anglo Saxon/Amerika Serikat/Non-continental) sangat besar pengaruhnya dalam proses pembangunan bangsa dan negara Indonesia. Karena menurut cara berfikir kritis ilmu pengetahuan tidak bebas nilai dan ilmuwan harus memihak, maka pengembangan ideologi Pancasila adalah dalam rangka penggalian butir-butir permata ilmiah nilai-nilai Pancasila sebagai falsafah, dasar dan ideologi berbangsa dan bernegara menentang (mengkritisi) penjajahan oleh nilai budaya bangsa asing dan memihak kepada kemerdekaan kepribadian Bangsa Indonesia. Sepertihalnya gerakan banga Indonesia tahun 1945 dan sebelumnya yang dipelopori oleh para cerdik pandai berpendidikan barat dengan tuntutan kemerdekaan dari penjajahan, tuntutan reformasi juga datang dari mahasiswa dan perguruan tinggi.  Oleh sebab itu dari PTlah pada tempatnya dimulai usaha revitalisasi atau memberdayakan nilai-nilai luhur Pancasila secara kritis terhadap situasi ketidak berdayaan bangsa menghadapi nilai-nilai budaya bangsa lain sekaligus menjadikan Pancasila sebagai paradigma IPTEK dengan membangun kembali atau merekonstruksi perilaku kebersamaan bangsa Indonesia, seperti telah terjadi ketikan bangsa Indonesia merebut dan mempertahankan kemerdekaan,  dengan mengiplementasikan konsep Gotong-royong dengan memberikan perspektif baru dalam menuju negara kebangsaan modern, kuat yang berkelanjutan.  (Yudhoyono, 2004: 5).

Pancasila sebagai sistem pemikiran yang dibangun berdasarkan teori-teori kritis oleh para founding fathers juga mempunyai kekuatan teleologis dan sudah siap dioperasionalkan sebagai ideologi modern (Kompas, 2 Juni 2006). Untuk itu agar terhindar dari kesalahan berfikir atau fallacy (Yudhoyono, 2004: 11) diperlukan  kegiatan pendidikan dengan metode dan pendekatan yang sesuai dengan semangat proklamasi yang revolusioner (dari terjajah untuk merdeka) sekaligus reformasi yang evolusioner menuju masyarakat Gotong-royong berakar pada nilai budaya bangsa. Nilai budaya sebagai kearifan lokal untuk menjadi perekat social capital agar reformasi mampu membangun civil society dengan metode perencanaan partisipatif dan pendekatan pendampingan masyarakat (perform, 2004).

3.4.1. Berfikir Kritis – Konstruktif

Pengkajian kebijakan (pembangunan) PT terkait dengan pelaksanaan kebijakan pendidikan nasional (UU No. 20/2003) dapat dimasukkan ke dalam kerangka kajian ilmu kebijakan (politik). Ada dua kubu teoritik ilmuwan pengkaji kebijakan yaitu pertama, penganut filsafat kebijakan kontemporer, positivis-bihavoralis perspektif dan modernis yang banyak dipengaruhi analisis psikologi-sosiologi yaitu antara lain teori-teori neo/realis – dan neo/liberalis (Realis and Liberal Theories). Kedua, ilmuwan pada kubu filsafat kebijakan klasik, postpositivis-normative prespektif dan postmodernis dengan memakai teori-teori budaya dari antropologi budaya yaitu antara lain teori-teori kritis dan konstruktif (critical and konstruktive theoires). Dengan permasalahan yang sama yaitu menghadapi globalisasi, yang selama ini masih memprioritaskan pada pembangunan aspek-aspek fisik di mana filsafat kebijakan kontemporer, positivis-bihavoralis lebih dominan sesuai dengan paradigma negara pendonor dalam rangka kerjasama pembangunan,  maka sebagai bagian dari perjuangan sosio-kultural negara-negara sedang berkembang seperti Indonesia sebagai negara debitor, kegiatan ini menempatkan diri pada cara berfikir teori-teori kritis, konstruktivis dan postmodernis yang memberi tempat bagi manusia untuk bertindak atas kehendak (preferensi) dan pilihan bebas dan tidak dalam kehampaan sosial (voluntaristik) dengan memberi penjelasan social cultural (Bodiardjo, 1996: 32-36; Jackson, 2005: 299-307).

Menurut Michael Tomson kehidupan sosial budaya sebagai cara hidup dirumuskan sebagai interaksi yang saling meneguhkan antara cultural bias (nilai dan norma yang dipahami bersama) dengan social practice (hubungan sosial). Budaya merumuskan bentuk keorganisasian dan persepsi subyektif secara koheren, nilai-nilai dan norma tidak dilihat terpisah dari struktur dan tindakan namun merupakan bagian dari tindakan. Nilai dan norma dipahami dalam kontek sosial yang melingkupinya. Nilai melegitimasi hubungan sosial sedangkan hubungan sosial melahirkan nilai dan norma yang dapat membenarkan hubungan sosial tersebut. Keduanya membentuk suatu tertib sosial atau cara hidup (Budiardjo, 1996: 33-34).

Dengan tujuan untuk membebaskan diri dari penguasaan olah kekuatan dan nilai budaya bangsa asing dengan kegiatan pembangunan jatidiri melalui ”penguatan peran pendidikan dalam upaya peningkatan akhlak mulia dan pembangunan karakter bangsa” maka kegiatan intersubyektif dan membangun keterbukaan (openess) satu sama lain melalui forum dialog atau kosultasi saling percaya dan rasa empati atau tepa selira sangat sesuai dengan asumsi-asumsi dasar teori kritis dan konstruktif. Asumsi dasar kaum teoritisi kritis yang dipakai untuk mendasari kegiatan ini adalah bahwa dalam hubungan antar bangsa, ilmu pengetahuan bukan dan tidak dapat netral baik secara moral maupun secara politik atau ideologi dan ilmuwan adalah instrumen kekuasaan (Jackson, 2005:299-301). Namun kaum terdidik Indonesia dalam memihak pada bangsanya menghadapi persaingan dengan bangsa lain harus merujuk pada praktek hubungan antar negara sesuai dengan jiwa UUD 1945. Kebijakan integrasi bangsa Indonesia ke dalam masyarakat kapitalis liberal yang dengan keunggulan IPTEKnya cenderung serakah dan eksploitatif, kebijakan luarnegeri pemerintah Indonesia mengarah pada sikap kooperatif-moderat kaum toritisi modernis dari pada sikap radikal seperti yang dianjurkan oleh kaum teoritisi kritis postmodernis karena sesuai dengan semangat UUD 1945 bangsa Indonesia harus ikut menciptakan perdamaian dunia yang abadi dan keadilan sosial. Kegiatan juga merujuk pada teori konstruktif yang menyetujui adanya ruang intersubyektif dalam hal ini antara kaum positivis dengan post positivis di mana kaum terdidik Indonesia terpolarisasi yaitu antara nilai-nilai modern sebagai nilai-nilai obyektif dan tolok ukur bersama sedangkan nilai-nilai tradisional perlu dipilah dan dipilih oleh kaum terdidik untuk menjadi bagian dari ideologi sebagai identitas subyektif bangsa dan negara termasuk di bidang IPTEK.[17]

Selain itu sebagai kajian kebijakan pemerintah di bidang pendidikan maka pemikiran ini tidak lepas dari pembicaraan posisi negara.  Untuk itu tentang peranan negara, dipilih tipe negara organis korporatis dengan perspektif neostatis dan pendekatan neo-institusionalis. Kajian  berasumsi bahwa negara adalah aktor otonom yang mempunyai kemandirian dalam menampung kepentingan masyarakat dalam rangka untuk memfasilitasi masyarakat dengan empat karakteristik yaitu 1. fokus kajian adalah kelembagaan, 2. yang harus dijelaskan adalah sejarah kelembagaan, bukan pola-pola perilaku, 3. gejala yang harus dipahami adalah makna dan tindakan, bukan  perilaku, 4. yang menjadi daya pendorong di balik perubahan sosial adalah belajar dan adaptasi, bukan tanggapan buta atas stimulus langsung. Dengan pendekatan ini fungsi fasilitasi negara bukan membuat semua warga negara berbahagia tetapi menciptakan kondisi-kondisi yang dapat mencapai kebahagiaan, dan melindungi hak alami manusia. Sedangkan rekomendasi yang diberikan adalah berdasarkan tujuan nilai terbaik dan sarana dan cara yang paling baik untuk mencapai tujuan (Budiardjo, 1996: 29, 36). Yaitu masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berakhlak mulia, berkarakter, berjatidiri mandiri berdasarkan nilai-nilai Pancasila.

BAB IV ORGANISASI PENDIDIKAN PANCASILA:

Kelembagaan dan Pengelolaan

4.1. PEMBERDAYAAN PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI NASIONAL

Menurut Alfian ideologi adalah sebagai suatu pandangan atau sistem nilai menyeluruh dan mendalam yang dimiliki dan dipegang oleh suatu masyarakat tentang bagaimana cara sebaiknya, yaitu secara moral dianggap benar dan adil, mengatur tingkah laku mereka bersama dalam berbagai segi kehidupan duniawi (Alfian, 1982: 88). Ideologi adalah juga suatu pernyataan dari nilai‑nilai dasar dalam bidang politik, ekonomi dan sosial, sebagai suatu kerangka cita‑cita yang dipakai sebagai dasar bagi suatu sistem sosial atau “way of life” yang dicita‑citakan. Suatu ideologi dihubungkan dengan semacam sistem politik, sistem ekonomi dan sistem sosial serta tujuan‑tujuan masyarakat. Sebagai suatu dasar sistem kepercayaan, suatu ideologi tidak hanya berhubungan dengan satu nilai‑nilai pokok kehidupan masyarakat, tetapi ideologi itu sendiri mempunyai nilai lebih tinggi untuk dipertahankan dan dalam banyak hal berdiri di atas nilai‑nilai pokok di atas. Suatu keistimewaan dari ideologi, keyakinan yang ada dalam ideologi biasanya berhubungan erat dengan kepercayaan, agama atau “nationalistic sentiment”, di mana masing‑masing dapat saling melengkapi  (Plano, Olton, 1968: 105). Dalam proses hubungan antar bangsa, seperti telah disinggung di muka, Ideologi merupakan salah satu elemen kekuatan nasional  penting bagi setiap negara dalam perjuangan kekuasaan sebagai inthangible factor (Morgenthau). Ideologi dapat menjadikan suatu negera sebagai gainer ataupun loser dalam persaingan antar bangsa. Dengan latar belakang yang berbeda baik secara cultural, historical maupun natural hal tersebut tergantung pada kreatifitas dan kecerdasan dari setiap bangsa dalam membentuk atau membangun ideologi masing-masing sebagai soft power (Nye, 2008).

Sejak kemerdekaan bangsa Indonesia telah mempunyai ideologi yaitu Pancasila yang dirumuskan secara kritis terhadap kekuasaan kolonial oleh para founding fathers bangsa yang dirumuskan dalam suatu pidato tanpa teks Ir. Sukarno dihadapan sidang BPUPKI pada 1 juni 1945 yang kemudian menjadi naskah pidato lahirnya Pancasila. Pancasila, sebagai konstruksi dasar negara Indonesia adalah perpaduan yang serasi antara nilai tradisi dengan nilai-nilai modern dan menjadi ideologi resmi sebagai “basic philosophy” atau “philosophische grondslag” dari bangsa Indonesia yang sebetulnya, seperti telah yang disebutkan di muka,  dalam perilaku kebersamaan sebagai bangsa dirumuskan sebagai implementasi nilai-nilai Gotong-royong.

Ideologi Pancasila sebagai landasan sistem berfikir dalam berbangsa dan bernegara dapat ditandai dua unsur penting yaitu  nilai‑nilai tradisional yang sudah tertanam dalam sistem budaya Indonesia dan menjadi identitas nasional bangsa Indonesia dan nilai-nilai modern yang bersesuaian dengan nilai-nilai tradisional tersebut. Ideologi yang digali dan disusun atas dasar kemampuan ilmiah dan intelektual para founding fathers yang sudah terpupuk sejak 1908 dan diyakini mampu menjadi dasar kehidupan berbangsa dan bernegara modern pasca PD II. Pancasila dan UUD 1945 menurut Taufik Abdullah dapat dikatakan merupakan ideologi dan konstitusi modern hasil proses deduksi dari ilmu pengetahuan modern (Barat) oleh para founding fathers (Bahar, 1995). Dengan merevitalisasi ideologi Pancasila yang diyakini sebagai dasar semangat kegotong-royongan bangsa Indonesia dapat dioperasionalkan lebih produktif dan demokratis terutama dalam melaksanakan pembangunan dan modernisasi yang semasa Orde Baru ternyata cederung dimitoskan dan dimanfaatkan oleh pemerintah untuk mempertahankan kekuasaan (Triharso, 2003).

Dalam memahami ideologi Pancasila kiranya bangsa Indonesia dapat merujuk kembali pengalaman bangsa Jepang. Namun berbeda dan bertolak belakang dengan bangsa Jepang yang sudah homogen sejak awal dalam mengkonstrusikan diri di mana ideologi mereka sudah terbangun di masyaraat bersamaan dengan pertumbuhan bangsa Jepang, maka keberadaan Bangsa Indonesia yang bhineka dan baru merdeka pada tahun 1945 dengan ideologi Pancasila saat ini setelah melalui pejuangan yang tak kenal lelah. Yaitu membagun suatu bangsa dengan kondisi masyarakat majemuk dan multy cultural dan masih dalam tatanan masyarakat kolonial untuk mewujudkan emagined community (masyarakat/bangsa yang dibayangkan/dicita-citakan) menjadi realized community berdasarkan cita-cita dan perjanjian luhur yang terkandung dalam Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945 melalui pendidikan kepada  masyarakat dengan karakter dan berjatidiri multi kultural menuju perilaku kekeluargaan Gotong-royong yaitu konsep operasional dari ideologi Pancasila baik di dunia pendidikan maupun di masyarakat. (Kurikulum di PT lihat GAMBAR 3)

Sampai dengan era reformasi  saat ini di mana bangsa kita mencapai situasi krisis pada stadium kritis yaitu tingkat krisis motivasi yang menciptakan situasi revolusioner dan mengancam eksistensi ideologi Pancasila. Pancasila tidak berdaya menghadapi derasnya arus nilai-nilai liberal sekaligus radikal baik dari ekstrim kanan (agama) maupun ekstim kiri (komunis) yang sangat nyata merasuki jiwa masyarakat Indonesia dan justru banyak kaum terpelajar masuk dalam arus negatif  globalisasi. Bangsa Indonesia mendapat ancaman perpecahan yang semakin kronis apabila tidak ada upaya secara serius terhadap aktualisasi nilai-nilai Pancasila. Oleh sebab itu ideologi Pancasila harus segera diselamatkan sekaligus direvitalisasi dan diimplementasikan sebagai proses pemberdayaan.

4.2. PEMBANGUNAN (PEMBERDAYAAN) IDEOLOGI PANCASILA SEBAGAI PROSES PENDIDIKAN

 

Dengan pendekatan analisis budaya dalam memahami pembentukan Ideologi setiap negara harus melalui suatu proses pembentukan ide-ide dan nilai-nilai.[18] Di negara-negara bekas jajahan seperti halnya Indonesia tentunya mempunyai warisan jaman kolonial dan proses tersebut dapat dipercepat dengan menekan elemen-elemen pikiran-pikiran rasional ilmiah dari barat (western) dengan memupuk kedewasaan ontologi. Ideologi rasional ilmiah dengan bias barat  baik dari jaman penjajahan maupun era perang dingin harus dihadapi dengan subkultur setempat, tradisi kebudayaan besar masyarakat jajahan sebagai unsur pemersatu yang paling efektif dalam kebudayaan yang mempunyai kemampuan untuk menyatukan semua pihak yang dapat menyesuaikan diri dengan bahasa, dokomen dan sejarah suatu bangsa.  Hal tersebut sangat terkait dengan keberadaan kaum intelektual yang mempunyai peranan penting di dalam transformasi lembaga-lembaga dan ideologi politik formal dari Barat dengan kecerdasan politik mereka (secara kritis konstruktif) untuk dapat diterapkan sesuai dengan  kepentingan (obyektif) negara mereka (Binder: 1981 131-134).

Ideologi Pancasila, yang secara operasional telah dipilih konsep Gotong-royong, lahir dari proses demikian dan ternyata sekarang menghadapi pergeseran nilai dan kehilangan élan vitalnya. Dengan adanya pegeseran nilai-nilai akibat interaksi lebih lanjut dengan dunia Barat dengan soft power ideologi liberalismenya dan untuk menemukan kembali nilai-nilai ideologi Pancasila maka kaum intelektual dan dunia PT kembali dihadapkan pada tanggung jawabnya untuk merevitalisasi ideologi Pancasila agar mampu menjadi perekat pluralitas masyarakat yang bertambah kompleks akibat pembangunan sekarang ini.

.           Dari sudut pandangan studi ideologi, sistem nilai suatu masyarakat dianggap sebagai unsur yang paling penting. Dalam beberapa hal, sistem niali adalah ideologi. Untuk dapat memahami ideologi suatu negara, khususnya sistem nilainya, kita harus memahami dasar teoritis dan filosofisnya. Dengan begitu, banyak analisis ideologi perlu di diberikan dalam suatu uraian bentuk pertanyaan yang biasanya dianggap  sebagai falsafah politik.

Karena secara bebas, tujuan-tujuan filosofis politik adalah pemahaman nilai-nilai politik dan norma-norma politik. Ideologi politik merupakan suatu sistem nilai atau kepercayaan yang diterima sebagai sesuatu yang benar. Di samping itu, akan berusaha digali ide tertentu tentang sikap-sikap terhadap berbagai lembaga dan proses masyarakat yang terdapat dalam ideologi. Kita dapat menyimak rangkaian masalah apa yang penting bagi setiap ideologi, dan selanjutnya kita dapat menentukan dasar tertentu untuk saling membandingkannya.

Sebelum ini dapat dilakukan, dengan memakai parameter Lyman Tower Sargent kita perlu memahami tentang setiap lembaga yang terkait dengan proses ini yaitu sistem stratifikasi sosial, sistem ekonomi, sistem politik, sistem sosialisasi (Sargent, 1986: 14-17). Jadi dengan demikian yang terkait dengan proses pendidikan adalah bagaimana sistem sosialisasi ideologi Pancasila dilaksanakan.

Sistem sosialisasi merupakan bagian proses yang memungkinkan individu mendapatkan nilai-nilai dari masyarakat sebagai milik mereka sendiri. Sering dianggap bahwa lembaga-lembaga terpenting yang mempengaruhi cara-cara dan tingkat dengan mana para individu mendapatkan nilai-nilai ini adalah 1. sistem keluarga, 2. sistem pendidikan, 3. sistem agama, dan 4. berbagai pengaruh lain seperti media masa, kelompok-kelompok sebaya, dan sebagainya.

Kita tidak selalu yakin tentang mekanisme dengan mana berbagai lembaga sosialisasi beroperasi. Harus pula diakui bahwa pandangan seorang anak tentang dunia secara keseluruhan sangat dipengaruhi oleh lingkungan keluarga dan paling tidak pada tahun-tahun awal sekolahnya juga lembaga-lembaga sosialisasi lainnya mempengaruhi pandangan seorang individu tentang kehidupan. Kita bisa menganggap bahwa pesan yang sama yang diulang-ulang dalam lembaga-lembaga yang mengajarkan individu untuk menghormati, seperti sistem-sistem agama dan pendidikan, bisa melahirkan akibat yang kumulatif dan akhirnya menjadi bagian dari sistem nilai individu dan barangkali juga media massa bekerja dengan cara yang sama (Sargent, 1986: 14-15).

Jadi sesuai dengan uraian di muka sistim sosialisasi yang pertama kali harus dikembangkan dan dianggap sesuai dengan kondisi bangsa Indonesia adalah pada system pendidikan umum (public school). Yaitu sosialisasi implementasi ideologi Pancasila melalui sistem pendidikan umum yang target utamanya adalah generasi muda peserta didik baik murid (sekolah menengah) maupun mahasiswa (PT) dan metode implementasinya terstruktur dalam kurikulum dan kegiatan belajar mengajar yang tidak indoktrinatif namun partisipatif. Dari sana dapat diharapkan proses sosialisasi ke masyarakat yang lebih luas akan menjadi efektif. Sedangkan di masyarakat dikembangkan melalui semua jalur baik formal, non formal maupun informal secara terintegrasi sebagai kegiatan masyarakat di dalam merumuskan dan mengejawantahkan di dalam perilaku sebagai bagian dari karakter dan jati diri bangsa Indonesia yang difasilitasi oleh pemerintah. 

4.3. PENDIDIKAN PANCASILA PARTISIPATIF (P3)[19]

Apabila mengikuti pemikiran yang telah diuraikan membangun kerangka dasar jatidiri bangsa adalah membangun sosial kapital bangsa dengan berfikir kritis-konstruktif menumbuhkan rasa saling percaya dan empati dengan mengembangkan forum dialog berdasar nilai-nilai Pancasila menuju masyarakat gotong-royong. Sebagai suatu proses pendidikan atau sosialisasi ideologi yang tidak bersifat indoktrinatif namun partisipatif. Pendidikan yang menjadikan peserta didik partisipan yang aktif dan mandiri oleh sebab itu disebut Pendidikan Pancasila Partisipatif (P3). Peserta didik P3 adalah masyarakat warganegara marjinal tentang falsafah dan ideologi Pancasila yaitu masyarakat, termasuk masyarakat PT, yang saat ini mengalami transisi kebudayaan, ideologi, nilai selama reformasi termasuk generasi muda dan mahasiswa.

Dalam P3 diperlukan tenaga pendamping atau fasilitator untuk melakukan pendampingan terhadap masyarakat marjinal untuk proses transformasi dari dalam dan oleh masyrakat warganegara marjinal sendiri ke arah kehidupan yang Pancasilais. Yaitu masyarakat warganegara yang berketuhanan, berperikamanusiaan, bernasionalisme, berdemokrasi dan berkeadilan sosial dalam bingkai suprastruktur UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, NKRI. Proses pendampingan terhadap masyarakat warganegara marjinal dalam P3 pada hakikatnya dilakukan melalui proses pendidikan. Proses pendidikan yang dipahami adalah dalam arti belajar bersama dengan menggunakan metode yang partisipatif. Dalam menyelenggarakan proses pendidikan itu sebagai forum dialog menumbuhkan rasa saling percaya dan empati, maka pendidikan tersebut harus dikembangkan berdasarkan nilai-nilai yang berakar dalam masyarakat warganegara sendiri. Berdasarkan berbagai pengalaman dalam melakukan pendampingan terhadap kaum marjinal, ternyata metode pendidikan yang partisipatif tersebut telah ada di dalam kehidupan komunitas asli kita sendiri, yaitu musyawarah[20].

Musyawarah sebagai proses dan karya bersama atau gotong royong sebagai hasil ibarat dua sisi dari mata uang yang sama adalah nilai-nilai manusiawi yang sudah ada dan berakar pada komunitas sendiri; terutama di pedesaan. Musyawarah itu sendiri merupakan akar dan tradisi dari kehidupan demokrasi di masyarakat. Ditinjau dari kebutuhan kaum marjinal, maka pendidikan musyawarah sebenarnya adalah sebuah model pendidikan alternatif. Dari segi metodenya adalah sebuah model pendidikan partisipatif. Musyawarah, dialog rakyat atau dialog kehidupan (dialogue of life) merupakan ruh atau nyawa dari seluruh proses belajar bersama. Ditinjau dari tujuan diadakannya musyawarah dalam P3 maka musyawarah adalah proses penyadaran bersama. Bila dilihat dari kondisi masyarakat warganegara pinggiran atau kaum marjinal yang serba kekurangan pengetahuan tentang ideologi nasional Pancasila dan terbatas serta posisinya yang terbelenggu oleh ajaran-ajaran lama dan ajaran-ajaran asing dari luar negeri yang bertentangan dengan asas kehidupan bersama sebagai bangsa dan semangat Proklamasi Kemerdekaan 1945, maka proses musyawarah dalam P3 sebenarnya merupakan pendidikan yang membebaskan. Dengan demikian musyawarah dalam P3 pada hakekatnya adalah: pendidikan demokrasi, pendidikan pembangunan transformatif, pendidikan politik rakyat, dan pendidikan yang membebaskan dari pengaruh nilai-nilai asing.

Misi utama P3 adalah penguatan komunitas akar rumput (kaum marjinal), yang meliputi penguatan kesadaran transformatif, penguatan organisasi, penguatan jaringan kerjasama, penguatan ekonomi dan penguatan advokasi. Misi tersebut satu sama lainnya merupakan kesatuan yang saling berkaitan dengan konsep Gotong-royong. P3 akan disempurnakan dari waktu ke waktu melalui pengkayaan dengan pengalaman praktek, masukan dari fasilitator dan masyarakat dan bahan-bahan banding dari pengalaman lembaga-lembaga lain melalui bahan-bahan bacaan.

4.3.1. Pengertian  P3 sebagai model Pendidikan Ideologi

Apabila Pancasila dengan konsep operasional Ekasila atau Gotong-royong sebagai ideologi barbangsa dan bernegara bangsa Indonesia diyakini oleh para founding fathers merupakan ideologi besar dunia dapat menjadi pedoman hidup manusia di seluruh dunia, maka P3 dapat diselenggarakan tidak hanya pada manusia warganegara Indonesia saja. Namun karena Pancasila digali di bumi Indonesia maka pemahaman dasar tentang hakekat menusia Indonesia menjadi penting dalam memahami hakekat P3 sebelum menjadi bagian dari bangsa-bangsa lain. Makna dalam Pembukaan UUD 1945 manusia warganegara Indonesia dan manusia-manusia yang tergabung dalam ikatan kebangsaan di negara-negara lain di seluruh dunia pada hakekatnya adalah hasil karya yang paling sempurna dari Sang Pencipta. Karena kesempurnaannya itu, manusia dipercaya dan diberi tugas menjadi pengelola alam semesta atau sebagai subyek pembaharuan. Realitas yang sama, dalam hal ini hubungan sebagai sesama anggota suatu bangsa dan hubungannya dengan bangsa lain, mempertemukan manusia untuk melakukan musyawarah.

Musyawarah tentang kesadaran bersama manusia akan realitas merupakan inti terjadinya pembaharuan. Dan manusia selain sebagai anggota kelompok atau makhluk sosial adalah juga makhluk yang ditugasi sang pencipta untuk melestarikan alam semesta ini demi kelestarian kehidupan manusia itu sendiri. Dengan demikian manusia warganegara Indonesia adalah makhluk yang mempunyai jati diri sebagai pribadi dan sebagai anggota suatu bangsa (identitas) dalam pergaulan antar bangsa di planit bumi dalam proses globalisasi.[21]

Jadi P3 merupakan proses penyadaran manusia warganegara Indonesia sebagai anggota komunitas dari yang paling mikro yaitu keluarga, suku, pemeluk suatu agama hingga sebagai bagian dari makro kosmos yaitu sebagai anggota suatu bangsa dan makhluk di planet bumi dari alam semesta.

4.3.2. Pemahaman Dasar tentang Musyawarah dalam P3

Hakekat dasar dari musyawarah adalah: media pengambilan keputusan; sebuah metodologi dan alat; perwujudan kedaulatan dan potensi rakyat; salah satu dasar negara; peserta musyawarah setara; materi musyawarah ditentukan bersama; dan realitas sebagai obyek musyawarah.

Pendidikan pada hakekatnya adalah proses yang tidak dibatasi oleh ruang, waktu dan umur; alam semesta dan pengalaman merupakan guru; sumber belajar dicari dan disepakti bersama; peserta pendidikan dari golongan yang homogen; dan materi pendidikan berdasarkan kebutuhan.

4.3.3. Hakekat Dasar P3

Hakekat dasar dari P3 adalah:

  1. Meletakkan manusia sebagai subyek pendidikan Pancasila.
  2. Meletakkan realitas sebagai obyek pendidikan Pancasila.
  3. Tidak tergantung pada waktu dan tempat.
  4. Berpihak pada kaum marjinal.
  5. Mempermasalahkan masalah atau hadap masalah.
  6. Dialogis.
  7. Materi dan obyek pendidikan berdasarkan kebutuahan dan realitas.
  8. Apa yang ada di alam sekitar merupakan sumber belajar.

4.3.4. Visi, Misi dan Prinsip P3

Visi atau wawasan dari P3 adalah terwujudnya kehidupan komunitas Bhineka Tunggal Ika.

Misi dari P3 adalah membangun sikap dan perilaku kehidupan Gotong-royong.

4.3.5. Prinsip-Prinsip Dasar P3.

a)     Semua kegiatan harus bertitik tolak dari realitas komunitas yang ada.

b)     Pendidikan harus berhasil membebaskan komunitas dari situasi keterbatasan, ketertutupan, dogmatisme dan menciptakan  saling terbuka untuk dialog.

c)      Semua proses harus bersifat dialogis (hubungan antara subyek-subyek yang setara dan saling terbuka untuk dialog).

d)     Kegiatan pendidikan tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, karena proses pendidikan berjalan sepanjang umur/seumur hidup. Kegiatan pendidikan pada dasarnya bisa dilakukan dimana saja (tidak harus didalam kelas atau didalam ruangan).

Dalam pendidikan ini tidak ada guru dan tidak ada murid.

4.3.6. Metodologi (GAMBAR 4 dan 5)

Metode P3 adalah People/Student Center Learning (P/SCL), Problem Base Learning (PBL) yaitu membangun Kegotong-royongan sebagai social capital dengan pendekatan Community development (Comdev) menuju pada civil society atau masyarakat madani dan Good Government. Sebagai upaya  membangun masyarakat dalam rangka mengejawantahkan 4 konsensus dasar yang mendasari berdirinya bangsa Indonesia yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Usaha  revitalisasi dan operasionalisai nilai-nilai ideologi Pancasila dalam P3 sebagi proses pengkajian menggunakan metode kualitatif-partisipatif dengan informan dan partisipan adalah kelompok-kelompok yang merepresentasikan  stratifikasi dan pluralitas masyarakat. Metoda P3 mengutamakan pada kegiatan pendampingan oleh fasilitator-fasilitator yang terlatif melalui training of facilitator (TOF).

Pedekatan community development – comdev. partisipatif memang sudah menjadi pendekatan utama dalam proses pemberdayaan masyarakat berkelanjutan dan telah menjadi kebijakan pemerintah antara lain dengan SE – Mendagri No. 050/1307/II/Bangda dan No. 050/987/SJ tahun 2003 yang dilaksanakan oleh Perform Project pada berbagai program pemberdayaan.

BAB V    PENDIDIKAN PANCASILA : MELEMBAGAKAN

GOTONG-ROYONG DI UA SUATU ANCANGAN

Uraian pada bab-bab terdahulu menunjukkan bahwa pembangunan bangsa khususnya bidang pendidikan bertujuan membangun IPTEK dan SDM yang mampu mendukung perjuangan bangsa dalam menghadapi globalisasi di mana secara ideologis sedang menjadi penetrasi paham neo/liberalisme dan sekaligus sektarianisme serta komunisme. Semangat tersebut merupakan kehendak bersama mencari kebebasan seperti halnya pada era perjuangan kemerdekaan untuk membangun kebersamaan menghadapi ancaman kekuatan eksploitatif dari bangsa lain. Maka hal tersebut, seperti telah diuraikan di muka, bersesuaian dengan perspektif dan pendekatan teori kritis, konstruktif, melalui musyawarah yang bersifat dialektis dan kontemplatif.

Jadi kegiatan dalam rangka pembangunan jatidiri PT dilaksanakan searah dengan perspektif teori kritis dan pendekatan Konstruktif. Konstrusivisme berasumsi bahwa dunia sosial merupakan konstruksi intersubyektif manusia, yang sangat berarti bagi masyarakat yang membuatnya dan hidup di dalamnya serta memahami pada waktu dan tempat tertentu serta menekankan peran pemikiran dan pengetahuan bersama atas dunia sosial yang menciptakan aktor-aktor dalam struktur dan sifat hubungan masyarakatnya.

Musyawarah dalam arti sistem dan struktur sosial yang dipahami dan dijelaskan oleh pengetahuan dan harapan bersama atas dunia sosial  di mana PT dan bangsa Indonesia meghadapi  permasalahan tentang konflik multikultural kronis yang harus dipahami bersama (subyektif) dan membangun kebersamaan  sebagai suatu bangsa agar mampu survive menghadapi globalisasi (obyektif).

Konstruktivisme memiliki pandangan idealis (orang pemikir) dan kontemplatif tentang struktur yang terdiri dari pengetahuan bersama di mana setiap aktor percaya satu sama lain untuk menyelesaikan masalah tanpa konflik. Diskursus atau musyawarah yang terjadi memandang kebersamaan bukan sebagai dilema siapa bersama siapa (bersatu – unified) melainkan bagaimana menjadikan komunitas sebagai struktur yang terpadu (kebersamaan – togetherness) (Jackson: 2005, 308; Wendt: 1992, 73).

Jadi kegiatan yang diselenggarakan secara simultan oleh Direktorat Pendidikan UA dan direktorat Kemahasiswaan bersama-sama seluruh fakultas dan dibantu oleh KPJK-UA menyelenggarakan PPKMB dan Brain Storming adalah bagian dari kebijakan PT dalam pengembangan Jatidiri PT di masing-masing dan bersama-sama bagian dan atau departemen dalam rangka mengkonstrusikan kebersamaan dalam wujud kegotong-royongan di PT sebagai perilaku bermasyarakat berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Kegiatan yang diselenggarakan PT sebagai bagian dari proses pendidikan dengan metode partisipatif dan pendekatan community development (CD) dalam konsep P3. Pengembangan jatidiri dalam rangkaian kegiatan brainsorming Guru Gesar, dosen dan mahasiswa di mana  pada tahap ini Guru Gesar, dosen dan mahasiswa sebagai aktor-aktor yang mempunyai pemahaman dan harapan (subyektif) dan pemikiran dan pengetahuan (obyektif) difasilitasi dalam forum dialog atas dunia sosial atau masyarakat dengan nilai-nilai budaya dan local wisdom daerah dimana PT diselenggarakan dengan melalukan hubungan komunikasi intersubyektif yang bersifat informatif, dialektis, sinergis.

Kegiatan tersebut kiranya sangat terkait dengan implementasi MPK dan MBB karena sesuai dengan visi dan misinya juga merupakan bagian dari kurikulum setiap program studi dalam rangka membangun perilaku mahasiswa yang terkait dengan sikap kritis dan konstruktif berdasarkan nilai-nilai Pancasila terhadap efek negatif dari globalisasi. Oleh sebab itu harus disadari oleh para pemangku ilmu di setiap program studi, khususnya yang menjadi fasilitator pengembangan kehidupan kebersamaan terutama Guru Besar  bahwa MPK dan MBB merupakan kurikulum wajib dari setiap program studi khususnya dalam membangun kepribadian dalam bermasyarakat sekaligus paradigma keilmuan mahasiswa dan sivitas akademika lainnya. Untuk itu para fasilitator harus menguasai seluruh materi bahan ajar matakuliah MKP dan MBB yang berisi konsep-konsep dasar kepribadian dan berkehidupan bermasyarakat sebagai bahan konstruksi bangunan jatidiri UA bagi mahasiswa dan alumninya. Karena kebersamaan yang dibangun selain menjadi paradigma dalam hidup bermasyarakat di PT juga merupakan paradigma IPTEK yang dihasilkan oleh setiap PT. Pendidikan Pancasila sebagai bagian dari proses pengembangan paradigma IPTEK dan kebersamaan masyarakat PT maka implementasi MPK dan MBB yang benar sebagai soft skill sama pentingnya dengan implementasi kurikulum setiap departemen atau program studi masing-masing adalah juga di bawah tanggung jawab para pemangkunya terutama para Guru Besar.

Implementasi MPK dan MBB tersebut tentunya menuntut kreativitas dan inovasi masing-masing PT sesuaikan dengan kondisi dan potensi (termasuk anggaran) dan kompetensi (bidang ilmu, kepakaran dan IPTEK) masing PT dan daerah (kearifan lokal)  di mana PT berada. Sehingga dengan 15 sks yang diwajibkan dan ditambah dengan beberapa SKS kegiatan akademik lainnya yang relevan (pasal 12 MPK dan MBB di mana di UA ada Filsafat Ilmu, Filsafat Sosial, Etika, Kewirausahaan dll.) sebagai Mtakuliah Wajib Universitas (MAWU) mampu menghasilkan proses pendidikan dan pengajaran secara komprehensif kepada mahasiswa dalam mengembangkan IPTEK serta kepribadian dan berkehidupan bermasyarakat yang excelence dan bermoral agama sesuai dengan visi, misi dan tujuan kedua SK serta statuta UA.

Dengan konsideran dan beberapa pasal pelaksanaan yang rerlatif sama (pasal 5 s/d 14), kedua SK Dirjen juga mengharapkan setiap PT dapat melaksanakan kedua SK tersebut secara sistematis dan integratif (termasuk penyusunan buku ajar dan sistem fasilitasinya) dengan mendayagunakan segenap potensi dan kompetensi (kurikulum berbasis kompetensi – KBK) agar IPTEK dan kepribadian dan berkehidupan bermasyarakat mahasiswa berkembang secara simultan dan komplementer serta fungsional dalam proses pendidikan keilmuan dan profesi mahasiswa di departemen masing-masing. Dalam kelompok MPK, MPK Pendidikan Agama (SK Dirjen Dikti 43 pasal 4 ayat 1) misalnya, dengan mendaya gunakan para sivitas akademika yang mempunyai ilmu agama tinggi, walaupun di rumah dan di sekolah menengah pendidikan agama mahasiswa sudah diajarkan atau difasilitasi, di SK Dirjen Dikti pendidikan agama diwajibkan di PT tentunya bertujuan lebih spesifik yaitu agar di dalam menuntut ilmu dan setelah lulus menjadi ilmuwan dan masuk ke dalam kehidupan bermasyarakat mahasiswa juga mampu menjadi intelektual dan profesional yang dalam amalannya didasari nilai-nilai agama yang positif terhadap kehidupan barbangsa dan bernegara serta umat manusia.

MPK PPKn (SK Dirjen Dikti 43 pasal 4 ayat 2), dengan mendaya gunakan kompetensi FH khususnya prodi Hukum Tata Negara, FISIP khusunya jurusan Ilmu Politik serta sivitas akademika yang concern pada implementasi konstitusi, filsafat dan ideologi bangsa dan negara, betujuan agar mahasiswa jauh-jauh hari mampu memahami (empati) pada kehidupan (nasip) bangsa dan negaranya dan melaksanakan hak dan kewajibannya sebagai warganegara berdasarkan filsafat dan ideologi nasional Pancasila. Sedangkan MPK Bahasa (SK Dirjen Dikti 43 pasal 4 ayat 3), dengan mendaya gunakan selain program studi Bahasa Indonesia dan Bahasa asing di FIB-UA juga para “sastrawan dan budayawan” sivitas akademika, memberi materi agar mahasiswa calon intelektual bangsa mampu bertutur sapa dan bertutur data baik lisan maupun tulisan dengan excelent pula. Dalam hal ini penulis setuju dengan prinsip Prof. Dr. Liek Wilardjo yang mengatakan urusan kosakata bidang IPTEK bukan hanya urusan  linguis saja namun justru harus menjadi urusan dari pengampu bidang-bidang keilmuan (Kompas, 04 Oktober 2009).

Demikian pula Kelompok matakuliah berkehidupan bermasyarakat (MBB) yang terdiri dari Mataajar Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (ISBD) dan Ilmu Kealaman Dasar (IAD). MBB ISBD (SK Dirjen Dikti 44 pasal 4 bagian I) tentunya memberi materi konsep-konsep dasar kehidupan sosial dan budaya yang terkait dengan kehidupan bermasyarakat baik nasional maupun daerah; sedangkan MBB IAD (SK Dirjen Dikti 44 pasal 4 bagian II) memberi materi konsep-konsep dasar kealaman yang terkait dengan kehidupan bermasyrakat (dengan mendaya gunakan selain program studi di FIB, FISIP dan FST juga para pegiat sosial, budaya dan lingkungan). Satu sama lain apabila UA mampu mengalokasikan 15 SKS secara efektif dan efisien serta kreatif dan inovatif dengan membangun dan menyusun sistem, metode dan pendekatan yang tepat dalam mengimplentasikan rambu-rambu kedua kelompok mataajar tersebut, tentunya akan terbangun baik individual maupun kolektif kepribadian dan berkehidupan bermasyarakat mahasiswa yang excellent with morality secara maksimal (GAMBAR 3).

Pada tingkat implementasi di lapangan dalam posisi bukan matakuliah inti keahlian (hard skill) dan tidak terkait langsung dengan pendidikan keilmuan dan profesi dari setiap departemen jumlah sks tersebut, apalagi harus ditambah dengan mataajar MAWU lainnya, kurikulum MPK dan MBB sudah dirasa membebani jurusan-jurusan atau departemen karena salah satu tuntutan dari PT terhadap setiap Jurusan adalah kecepatan kelulusan dan dalam mendapatkan pekerjaan mahasiswa dan alumni. Karena mataajar-mataajar tersebut juga bukan merupakan kurikulum dan soft  skill inti dari jurusan-jurusan atau departemen-departemen namun oleh undang-undang diwajibkan sehingga banyak perbedaan sikap dan “perlakuan” jurusan dan atau fakultas bahkan universitas terhadap MPK dan MBB dan kegiatan akademik yang relevan. Namun karena saat ini bangsa dan negara Indonesia sedang menghadapi krisis moral dan ideologi nasional di segala bidang, sedangkan mahasiswa mempunyai posisi strategis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka pada tempatnya kegiatan pendidikan MPK dan MBB khususnya dalam mewujudkan atau mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila dengan kegiatan pendidikan tambahan baik ekstra maupun co kurikuler untuk kurikulum pengembangan kepribadian dan berkehidupan bermasyarakat secara kkolektif dalam mewujudkan jatidiri mahasiswa sedikit mendapat perhatian lebih serius  dari PT dengan kegiatan-kegiatan dalam ranah soft skill dan Sistem Kredit Prestasi (SKP)[22].

Karena kelompok dosen pengampu matakuliah MPK, MBB khususnya dan MAWU pada umumnya merupakan wakil dari jurusan-jurusan atau program studi-program studi yang ada di UA  yang harus bekerjasama mewujudkan tujuan MAWU dan sebagai peer group difasilitasi dalam wadah KPJK di LPKM–UA (GAMBAR 6). Sehingga fakultas atau jurusan yang selama ini  hanya memfokuskan pada pengembangan kurikulum hard skill menjadi lebih komprehensif bertanggung jawab kepada stakeholders apabila juga menjadi pemangku (induk semang pengampu mataajar) paradigma IPTEK jurusan masing-masing karena matakuliah MAWU yang diampunya merupakan bagian dari kurikulum soft skill wajib di jurusan-jurusan di UA peer group interdisipliner.

Sebagai usulan penyelenggaraan kelompok matakuliah MPK dan MBB di mana materi tentang Pancasila diintegrasikan, 5 mata kulih “seharga” a 3 sks dan dengan visi dan misi serta standar kompetensi seperti diuraikan di muka dapat dialokasikan dengan kegiatan kelas masing-masing 2 sks dan 5 sks dilaksanakan secara kolektif dan koordinatif intra dan antar jurusan-jurusan dari mana mahasiswa berasal dengan dikelola sebagai proses laboratorium berupa kegiatan praktikum yang menghasilkan mahasiswa dan lulusan individual maupun kolektif yang berkepribadian dan berkehidupan bermasyarakat dengan Pancasila sebagai Paradigma IPTEK dan dasar perilaku dalam berkepribadian dan bermasyarakat. Outcome yang dihasilkan adalah merupakan soft skill lulusan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dari setiap bidang ilmu dengan memfasilitasi secara komprehensif berkembangnya kemampuan PT dalam membentuk watak peserta didik untuk menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab – UU 20/2003 Pasal 3 (Dalam Suatu Komisi Kerja – GAMBAR 7, 8 dan 9).

Konsep kebersamaan yang harus dibangun di Indonesia dan di UA tentunya harus merujuk pada konsep yang telah dikonstruksikan secara serius oleh bangsa Indonesia sendiri. Konsep Gotong-royong, seperti telah dikutip di muka, tak lain adalah konsep operasional dari Pancasila yang terkandung pada pidato Ir. Sukarno pada sidang BPUPKI 1 Juni 1945 yang terkenal sebagai pidato lahirnya Pancasila kiranya pilihan yang sahih. Karena konsep Gotong-royong tersebut merupakan hasil diskursus nasional yang panjang yang diucapkan oleh seorang akademisi tokoh dan aktor pejuang kemerdekaan dengan pengalaman dan pengorbanan tanpa pamrih sebagai bukti keseriusan yang dapat dimaknai secara historis, cultural dan sosiologis.

Dengan latar belakang demikian konsep Gotong-royong juga mempunyai kekuatan teleologis masa depan bangsa yaitu gotong-royong antara yang kaya dan tidak kaya, antara Islam dan Kristen (antar umat beragama) dan antara Indonesia tulen (antar suku) dan peranakan (keturunan asing). Karena ketegangan hubungan antara masyarakat dalam tiga kategori tersebut ternyata memang mewarnai kehidupan bangsa Indonesia setelah merdeka dari penjajahan hingga sekarang. Konsep operasional hasil diskursus yang alot dan lama serta penuh pengorbanan baik sebelum dan terutama pada sidang BPUPKI 1945 dari para tokoh atau aktor bangsa yang  terpilih secara alami menjadi subyek mewakili bangsanya untuk mengkonstruksikan kemerdekaan bangsanya.

Permasalahannya adalah bagaimana penerapan di masyarakat kampus UA sebagai kelanjutan dari cara berfikir kritis Direktorat Pendidikan UA dalam membangun jatidiri dengan harapan UA dapat menjadi pylot project pembangunan kebersamaan di PT? Yaitu mengkostruksi kehidupan kebersamaan dalam konsep Gotong-royong di PT dan dunia pendidikan khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya dalam rangka membangun social capital sebagai pola-pola interaksi yang membantu masyarakat dan negara dapat memahami satu sama lain sebagai institusi sosial yang melibatkan jaringan nilai, norma-norma dan kepercayaan sosial yang bersumber dari sila-sila Pancasila yang mendorong pada sebuah kerjasama sosial antara negara dan warganegara yang saling menguntungkan. Menumbuhkan saling percaya dan rasa empati atau tepa selira sebagai jaringan rasa sebagai basis kebudayaan yang memungkinkan terbangunnya kerukunan dan dialog sosial melalui sikap  keterbukaan (openess) dengan mengadakan forum dialog atau kosultasi menuju UA yang World Class University yang nasionalis dan patriotis serta bermoral agama.

UA telah menjadi BHMN sejak tahun 2006 dengan PP No. 30/2006[23] dan masyarakat UA atau biasa disebut sivitas akademika UA sebagai subyek-subyek yang terdiri dari mahasiswa, tenaga pendidik (dosen dan Guru Besar) dan tenaga kependidikan yang terwadahi ke dalam organisasi-organisasi kelembagaan universitas. Ketiga kategori sivitas akademika tersebut baik ke dalam (internal) maupun keluar (eksternal) tentunya juga masuk dalam pembagian dalam tiga diversivikasi kelompok dalam kategorisasi dari pidato lahirnya Pancasila Ir. Sukarno yaitu perbedaan kekayaan (antara yang kaya dan yang tidak kaya), agama (antara yang Islam dan yang Kristen) dan perbedaan suku dan ras (atara yang bukan Indonesia tulen dan peranakan).

Program PMDK terutama PMDK umum sebagai implementasi BHMN secara tidak langsung adalah diperuntukkan bagi mahasiswa dengan latar belakan kemampuan ekonomi yang kuat. Dari mahasiswa PMDK inilah salah satu sumber kekayaan UA berkembang sehingga semakin mampu mandiri  menyejahterakan diri, termasuk kepada mahasiswa hasil Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN), membangun sarana dan prasarana pendidikan serta meningkatkan kesejahteraan tenaga pendidik dan kependidikan yang memadai.

Pada praktek kehidupan di kampus ke dalam, mahasiswa UA sebagai salah satu PT yang prestisius tentunya datang dari seluruh Indonesia dengan perbedaan suku dan agama serta dari strata ekonomi yang berbeda pula. Diversivikasi mahasiswa mengejawantah pada perbedaan kemampuan mahasiswa dalam memiliki fasilitas sebagai mahasiswa antara lain tempat pemukiman, alat trasportasi, komputer, pengadaan bahan ajar dan lain-lain. Sedangkan antara tenaga pendidik dan kependidikan sebagai sama-sama SDM yang mengabdi pada UA terjadi perbedaan pendapatan antara lain  perbedaan masa kerja (pensiun), gajih dan tunjangan. Perbedaan antara pendidik yaitu antara guru besar dan dosen biasa antara lain dalam pembangian kerja (dan rejeki) akademik.

Hubungan ke luar kampus, perkembangan pendapatan yang diperoleh dari program PMDK sudah bukan rahasia lagi menjadi sorotan karena  berkembangnya kekayaan UA adalah dianggap merebut ”lahan” yang selama ini menjadi bagian dari PTS. Semetara itu dari masyarakat lingkungan UA tentunya menumbuhkan harapan baru terhadap UA secara material. Satu sama lain menuntut UA mampu membangun konsep kebersamaan yang komprehensif. Oleh sebab itu UA selain harus menjadi teladan di dalam membangun jatidiri juga harus menjadi fasilitator di dalam pengembangan hubungan kebersamaan antar PT dan dengan masyarakat antara lain membangun jaringan dan  mengembangkan corporate social responcibility (CSR). Lebih luas lagi pembangunan UA sebagai bagian dari pembangunan nasional dengan kemapuan yang ada, juga harus memberikan sumbangsihnya dalam menciptakan kesatuan dan persatuan bangsa.

Sebagai langkah awal UA, melalui kegiatan brainstorming guru besar, dosen dan mahasiswa yang telah dilaksanan merupakan usaha merekonstruksi kebersamaan UA yang dikonsepsikan sebagai soko guru jatidiri UA dan Indonesia. Walaupun hasilnya sebagai diskursus masih merupakan uraian-uraian umum dan terpisah-pisah namun dapat dipakai untuk membangun atau mengkonstruksi pola hubungan yang lebih komprehensif antar sivitas akademika dan antar sivitas akademika dengan masyarakat di luar kampus. Dari pola yang dirumuskan dapat dipakai untuk merekonstruksi lebih lanjut kelembagaan yang terbentuk dengan nilai-nilai Pancasila dalam mewujudkan psikomotorik Gotong-royong.

Konsep pelaksanaan pembangunan jatidiri yang diusulkan oleh Komisi II pada kegiatan brainstorming Guru Besar harus partisipatoris dan egaliter serta searah dengan konsep Student Center Learning (SCL) yaitu pendekatan Community Development (Comdev.). Jadi materi yang harus disosialisasi dan didiseminasikan baik kepada Guru Besar, dosen dan mahasiswa serta tenaga kependidikan yang menjadi fasilitator maupun bagi Guru Besar, dosen dan mahasiswa serta tenaga kependidikan yang difasilitasi (era BP7 namanya  penatar dan petatar) harus merujuk pada hasil Komisi I dan Komisi III yang membahas ontologi dan aksiologi pembangunan jatidiri sebagai bahan dasar materi yang harus dituangkan dalam modul-modul. Buku ajar kegiatan kurikuler yang terkait dengan pembangunan jatidiri khususnya MPK dan MBB dimana konsep-konsep tentang kehidupan beragama (Pendidikan Agama), menjadi warga negara (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan), berbahasa (Pendidikan Bahasa Indonesia), barmasyarakat dan berbudaya (Pendidikan ISBD) dan tentang lingkungan hidup (Pendidikan IAD) dan kegiatan akademik yang relevan (pasal 12 SK Dirjen Dikti 43 dan 44/2006) jelas merupakan bagian dari materi sosialisasi dalam Comdev. Terakhir tetapi tak kalah pentingnya adalah hasil Komisi IV karena kegiatan pembangunan jatidiri merupakan kegiatan yang sistematis dan terus menerus dan mencakup seluruh sivitas akademika maka merekomendasikan untuk dibentuknya suatu Komisi langsung dibawah Rektor dimana kegiatan perencanaan, pengembangan dan evaluasi dilaksanakan secara terintegrasi (GAMBAR 8 dan 11).

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

Komisi 4 yang dibentuk hasil dari Rembug Nasional Pendidikan yang diselenggarakan oleh Mendiknas sangat terkait dengan pembangunan jatiditi bangsa. Yaitu melaksanakan penguatan peran pendidikan dalam upaya peningkatan akhlak mulia dan pembangunan karakter bangsa. Suatu kesadaran yang baru muncul secara sungguh-sungguh dari bidang pendidikan (Kemendiknas-Kantor Wakil Presiden) tentang bagaimana mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila sebagai dasar jiwa kebangsaan yang kokoh melalui dunia pendidikan yang oleh KGBI 1 di sebut sebagai Pembangunan Jatidiri. Suatu kondisi yang selama ini sudah dicari jawabannya oleh departemen dan kementerian yang terkait dengan pembangunan kerukunan dan persatuan dan kesatuan  bangsa (Menkopolhukam-Kantor Presiden). Yaitu kondisi sebagai akibat dari gagalnya mewujudkan Ekasila dalam menghadapi tiga kategorisasi diversivikasi kelompok yang terkandung dalam Pidato Ir. Sukarno yaitu perbedaan kekayaan (antara yang kaya dan yang tidak kaya), perbedaan agama (antara yang Islam dan yang Kristen) dan perbedaan suku dan ras (atara yang bukan Indonesia tulen dan peranakan).

Untuk itu Pancasila harus di revitalisasi dan nilai-nilainya harus diaktualisasikan dengan metoda pendidikan yang benar. Salah satu konsep yang dihasilkan oleh pertemuan-pertemuan yang diselenggarakan oleh Menkopolhukam adalah mewujudkan masyarakat Gotong-royong dengan metoda pendidikan partisipatif (tidak indoktrinatif). Dalam pembahasan ini, sepeti diuraikan pada paragraf 4.3., diusulkan metoda pendidikan dengan pendekatan pembangunan masyarakat (Community Development) yang disebut P3 di mana tidak ada perbedaan antara P3 di dunia pendidikan formal dan di masyarakat. Tujuannya adalah membangun kerukunan, kekeluargaan yang dinamis di masyarakat baik di dunia pendidikan (potensi tawuran pelajar dan mahasiswa dihilangkan) maupun masyarakat (potensi konflik SARA).

Demi terlaksananya pemikiran tersebut perlu dibentuk kelembagaan sejenis BP7 yang terkait erat dengan dunia pendidikan (BP7 sangat erat dengan dunia politik – Orde Baru) dan yang paling pas adalah dalam bentuk  Komisi (yang berhubungan erat dengan pelaksanaan pendidikan Pancasila) baik secara nasional maupun daerah  di mana pembangunan konsep masyarakat Gotong-royong difasilitasi serta para fasilitator dibina dan dikoordinasi. Oleh sebab itu apa yang sedang dikembangkan di UA kiranya dapat menjadi salah satu proyek percontohan atau  percobaan  secara nasional (GAMBAR 9, 10, 12, 13, 14, 15, 16).

 

Universitas Airlangga, 1 Juni 2010


[1]Prof. Dr. Puruhito, at al.,  Jati Diri Bangsa dalam Ancaman Globalisasi, Airlangga University Press, Surabaya, 2008.

[2]Isnaini, Suhartono Taat Putra, Ida Bagus Putra Manuaba Nurul Hartini, (Ed.), Excellence With Morality Bagi Dunia Pendidikan,  Airlangga University Press, 2009.

[3]Komisi Pengkajian Jatidiri Dan Kebangsaan (KPJK), Pembangunan Kebersamaan  dan Jatidiri Universitas Airlangga UA: Pendekatan Community Development Dan Metoda Pendidikan Partisipatif, Lembaga Penelitian Dan Pengabdian Masyarakat Universitas Airlangga, 2009.

[4]Naya Sujana, Jatidiri Universitas Airlangga, Makalah, 2009.

[5]Masyarakat Pendidikan Jawa Timur dipelopori Unair, ITS, Unesa, Unibraw, UNEJ  yang tergabung dalam  Public University Link System of East Java (PULSE) dan beberapa PTS pada tahun 2004 telah membentuk Lembaga Pembudayaan Pancasila dan Pembangunan Jawa Timur (LP3-Jatim) yang didukung oleh Bakesbang Jawa Timur, dan pada tahun 2006 dibentuk Asosiasi Guru dan Dosen Pendidikan Pancasila (AGDPP) atas dukungan  Komisi E-DPRD Jawa Timur (Surat-surat terkait terlampir).

 

[6]Prof. Dr. Puruhito, at al.,  Jati Diri Bangsa dalam Ancaman Globalisasi, Airlangga University Press, Surabaya, 2008.

[7]Penjelasan dari Warek I UA dan Wadek I Fakultas Filsafat UGM dan dan Pusat Studi Pancasila UGM. Dalam rangkan kesepakatan tersebut Unair telah membentuk Komisi Pengkajian Jatidiri Dan Kebangsaan, (KPJK), Lembaga Penelitian Dan Pengabdian Masyarakat Universitas Airlangga, 2009.

[8]Web Depdiknas http://www.depdiknas.id

 

[9]Kegiatan-kegiatan Menkopolhukam-RI yang selalu mengikutsertakan kalangan PT antar lain, Saresehan Nasional Pancasila: Memelihara dan Menjaga Kemajemukan Dalam NKRI, 2005. Hasil nya diterbitkan dalam buku LPPKB, Pedoman Umum Implementasi Pancasila Dalam Kehidupan Bernegara, PT. Cipta Prima Budaya, Jakarta, 2005; Program Peningkatan Komitmen Persatuan dan Kesatuan Nasional: Sosialisasi Wawasan Kebangsaan Membangun Kemandirian dan Keberagaman Bangsa dalam Semangat Kebangsaan, 2008; Sosialisasi Pancasila, 2009.

[10]Prof. Dr. H. Muhammad Zainuddin, at al., Melejitkan Soft Skill Mahasiswa, Direktorat Pendidikan Universitas Airlangga, 2009.

[11]Pidato pada pengukuhan Guru Besar Sosiologi Universitas Airlangga Prof. Dr. Musta’in, 2005.

[12]Bagian teoritik ini diilhami oleh buku bunga rampai yang diterbitkan oleh Dinas Kepemudaan dan Keolahragaan Provinsi Jawa Timur tahun 2008, dengan penulis Prof. Soetandyo Wignjosoebroto, MPA dan kawan-kawan (at al.), berjudul Pemuda dan Nasionalisme: Modal Sosial Bagi Pembangunan Provinsi Jawa Timur.

[13]Prof. Dr. H. Muhammad Zainuddin, at al., op.cit., hal. 31-36.

[14]Kacung Marijan, “Pancasila dan Negara Bangsa yang Berubah, Kongres Pancasila ke 2, 31 Mei – 1 Juni 2010, Unud, Denpasar, Bali, p. 9.

[15]Isbandi Rukminto Adi, Intervensi Komunitas Pengembangan Masyarakat Sebagai Upaya Pemberdayaan Masyarakat, Rajawali Press, Jakarta, 2008; Jim Ife, Frank Tesoriero, Community Development: Alternatif Pengembangan Masyarakat di Era Globalisasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008; Soetomo, Pembangunan Masyarakat: Merangkai Sebuah Kerangka, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009.

 

[16]LPPKB, Pedoman Umum Implementasi Pancasila Dalam Kehidupan Bernegara, Dengan Kata Pengatar dari Menkopolhukam Kabinet Bersatu I, PT. Cipta Prima Budaya, Jakarta, 2005. Hal. 54-55.

[17]Pemahaman subyektif, obyektif dan intersubyektif dalam hal ini baca Soetandyo Wignjosoebroto, “Paham ‘Nasionalisme baru’ untuk Indonesia” dalam Soetandyo Wignjosoebroto at al., op. Cit.  (p. 5-)

[18]Rujukan pembahasan ini adalah laporan hasil Proyek Harvard Academy for International and Area Studies dalam buku Lawrence E. Harrison, Amuel P. Huntington (Ed.), Kebangkitan Peran Budaya: Bagaimana Nilai-nilai Membentuk Kamajuan Manusia, Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta, 2006.

[19]Bagian ini merupakan elaborasi dari berbagai konsep dalam rangka memfasilitasi pendidikan karakter dan ideologi bangsa Indonesia yang diuraikan dalam bab pengantar naskah ini antara lain Prof. Dr. M. Noor Syam: “Negara berkewajiban membentuk kelembagaan”; Prof. Dr. Kaelan: “Negara … cukup menjamin secara yuridis dan memfasilitasi agar warga negara dapat menjalankan agama dan beribadah dengan rasa aman, tenteram dan damai”; Deklarasi Bulaksumur, Prof. RM.A.B. Kusuma, Prof Suhartono W.P.: “Mentransformasi Pancasila dengan cara nonindoktrinatif”. Kemudian dari Buku Soetandyo at al. op.cit.: Dr. Edi Purwinarto: “Pembentukan Forum Lembaga Lintas Generasi”; Bagong Suyanto: “… gerakan civil society … diwadahi dalam forum-forum yang terlembaga”; Basis Susilo: “ … memfasilitasi proses pemikiran kritis melalui diskusi terus menerus inter kaum muda dan antar kaum mudan dan kaum dewasa .. “.

 

[20]Pengertian kensep Musyawarah terkait dengan pendidikan karakter dan ideologi bangsa antara lain dalam Proceeding Simposium Lemhannas, LIPI, UGM, tanggal 14-15 Agustus 2006 “ … komitmen “citizenship” dengan kemampuan penalaran publik (public reasoning) yang kuat dan keadaban demokrasi yang diwujudkan melalui pengembangan struktur dan mekanisme demokrasi dalam kehidupan politik, ekonomi, sosial dan budaya”; Kongres Pancasila 1 UGM – MK 30 Mei – 01 Juni 2009 Dr. AA GN Ari Dwipayana “ … sebagai kehadiran komunitas kewargaan yang bersifat sukarela, mengatur dirinya sendiri dan tidak tergantung pada Negara. Bisa menjadi wadah bagi masyarakat mengatasi persoalan bersama, memperjuangkan kepentingan bersama serta sekaligus bisa berperan sebagai instrument control warga (independent eye of society) terhadap Negara dalam penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari”. Saresehan Pancasila PSP-UGM 19-20 Mei 2010: Dr. Sindung Tjahyadi “pembangunan karakter bangsa melalui model demokrasi deliberasi”; Gunawan Mohammad  “ … proses negosiasi terus menerus  dari sebuah bangsa yang tidak pernah tunggal, tak sepenuhnya bisa eka, dan tak bisa sepenuhnya meyakinkan bahwa dirinya, kaumnya, mewakili sesuatu yang maha benar, kita membutuhkan Pancasila kembali sebab kita hidup di sebuah zaman yang makin menyadari ketidak sempurnaan nasib manusia”.

[21]Untuk memahami globalisasi baca tulisan-tulisan Prof. Dr. Zamaluddin Maliki, M.Si. dan Joko Susanto dalam Soetandyo at al., op. Cit. (pp. 33-42; 55-77)

[22]Direktorat Kemahasiswaan Universitas Airlangga Pedoman Pelaksanaan Sistem Kredit Prestasi (SKP), 2009.

[23]Sebagai masukan awal gagasan Unair BHMN, Ajar Triharso, Konsep Kemandirian Universitas Airlangga Menuju BHMN: Pendekatan Masalah dari Hubungan antara Dunia Usaha dan Dunia Kerja dengan Dunia Pendidikan, Pidato Ilmiah Dies Natalis ke-49, Universitas Airlangga, 2003.

 


[1]Nama Komisi 4 yang dibentuk sebagai implementasi salah satu isu pokok pembangunan pendidikan nasional  pada Rembuk Nasional Pendidikan 2010 yang diselenggarakan Mendiknas pada 02 -04 Maret 2010.

[2]Proceeding Simposium dan Saresehan Memperingati Hari Lahirnya Pancasila yang diselenggarakan Lemhannas, LIPI, UGM, tanggal 14-15 Agustus 2006: Pancasila Sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan dan Pembangunan Bangsa (p. xlii-xliii).

[3]Op.cit., (p. 170-171)

[4]Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Proceeding Kongres Pancasila UGM-MK, 30 Mei – 01 Juni 2009: Pancasila dalam berbagai Perspektif.

[5]Op.cit. (p.13-14)

[6]Op.cit. (p. 75-104)

[7]Op.cit. (p. 173-183)

[8]Op.cit. (p 187-203)

[9]Op.cit., (p. 235-268)

[10]Op.cit., (p. 263-275)

[11]Op.cit., (p. 289-309)

[12]Op.cit., (p. 351-385)

[13]Op.cit., (p. 387-415)

[14]Op.cit., (p. 38)

[15]Saresehan Pancasila dalam Kegiatan Peringatan Hari Kebangkitan Nasional dan Hari Lahirnya Pancasila 19-20 Mei 2010, Pusat Studi Pancasila UGM: Nasionalisme dan Pembangunan Karakter Bangsa. (p. 8)

 

[16]Kongres Pancasila 2    31 Mei-1 Juni 2010 Univ. Udayana  – MPR RI

DAFTAR PUSTAKA

Abdulgani, Ruslan, “Tantangan dan Ujian terhadap Pancasila”, Surabaya Past, 7 Juni 2000.

Akhmadi, Heri, “Revitalisasi dan implementasi Pancasila dalam proses demokratisasi”, Makalah pada Semiloka Revitalisasi dan Implementasi Pancasila 26 September 2006, DPRD Propinsi Jawa Timur.

Alfian, “Ideologi Idealisme dan  Integrasi Nasional”. Yahya Muhaimin, Mac Andrews, Colin, Masalah-masalah  Pembangunan  Politik.  Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1984.

Aminah, Siti, Social Capital dan Pemberadaban Negara, dalam Masyarakat Kebudayaan dan Politik, FISIP-UNAIR,Tahun XV, Nomor , Oktober 2002.

Anderson, Benedict ROG, Imagined Communities: Reflection on the Origin and Spread of Nationalism, Cornel University Press, Itaca, New York, 1982.

Anderson, Benedict ROG, Kuasa Kata, Jelajah Budaya-budaya Politik di Indonesia, Cornel University Press, Itaca, New York, 1990.

Bahar, Safroedin, at al., Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI 28 Mei – 22 Agustus 1945, Sekretariat Negara RI, Jakarta, 1995.

Binder, Leonard, “Ideologi dan Pembangunan Politik”. Weiner, Myron,  Ed.,  Modernisa Modernisasi,  Dinamika  dan Pertumbuhan, Gadjah Mada University Press,  Yogyakarta, 1974.

Budiardjo, Miriam, Pudjiastuti, Tri Nuke, Teori-Teori Politik Dewasa Ini, Rajawali Perss, Jakarta, 1996.

Chen Guidi dan Wu Chentao, China Undercover: “Rahasia” di Balik Kemajuan China, PT Cahaya Insan Suci, Jakarta, 2007.

Depdikbud,  Link  and Match, Panitia Rapat  Kerja  Nasional Depdigbud, 1993.

Departemen Penerangan RI, Naskah Lahirnya Pancasila, 1945.

Direktorat Kemahasiswaan Universitas Airlangga Pedoman Pelaksanaan Sistem Kredit Prestasi (SKP), 2009.

Donoseputro, Marsetyo, ‘Peranan Perguruan Tinggi dalam  Era Globalisasi’,  Diskusi  Nasional Peran Masyarakat  Kampus  Dalam Menunjang Pembangunan Nasional Pada Era Globalisasi, Dies Natalis XXXVIII – Universitas Airlangga, 21 Nopember 1992.

Feith, Herbert, “Pemikiran Politik Indonesia  1945-1965: Suatu pengantar”. Miriam  Budiardjo, Partisipasi  dan Partai Politik, PT. Gramedia,  Jakarta, 1982.

Fukuyama, Francis, Social Capital and Civil Society, The Institute of Public Policy, George Mason University. http://www.imf.org/ external/pubs/ ft/seminar/ 1999/reform/ fukuyama.htm

Fukuyama, Francis, Second Thoughts,The National Interest, Summer 1999.

Hamid, Edy Suandi, at al., Memperkokoh Otoda, Kebijakan, Evaluasi dan Saran, UII Press, Yogyakarta, 2004.

Hermana, Dr., ”Pendidikan Pancasila dalam Kurikulum Nasional”, Makalah pada Semiloka Revitalisasi dan Implementasi Pancasila 26 September 2006, DPRD Propinsi Jawa Timur.

Huntington, Samuel P., 2000, Benturan Antarperadaban dan Masa Depan Politik Dunia, terjemahan, Qalam, Yogyakarta.

Huseini, Martini, “Menata-Ulang Strategi Pemasaran Internasional Indonesia”, Jurnal Reformasi Ekonomi, Vol. I, No. 1, Jan-Mar 2000 12-25.

Hutagalung, Batara R., 10 Nopember ’45 Mengapa Inggris Membom Surabaya? Analisis Latar Belakang Agresi Militer Inggris, Millenium Publisher, Jakarta, 2001.

Ife, Jim; Tesoriero, Frank, Community Development: Alternatif Pengembangan Masyarakat di Era Globalisasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008.

Isnaini, Suhartono Taat Putra, Ida Bagus Putra Manuaba Nurul Hartini, (Ed.), Excellence With Morality Bagi Dunia Pendidikan,  Airlangga University Press, 2009.

Kaelan, MS., Dr., Pendidikan Pancasila, Paradigma, Yogyakarta, 2004.

Komisi Pengkajian Jatidiri Dan Kebangsaan (KPJK), Pembangunan Kebersamaan  dan Jatidiri Universitas Airlangga UA: Pendekatan Community Development Dan Metoda Pendidikan Partisipatif, Lembaga Penelitian Dan Pengabdian Masyarakat Universitas Airlangga, 2009.

Kohn, Hans,  “Nationalism”. Sills, David L., International Encyclopedia of  the  Social Sciences. The Macmillan Company & The Free Press, New York. 1972

LPPKB, Pedoman Umum Implementasi Pancasila Dalam Kehidupan Bernegara, PT. Cipta Prima Budaya, Jakarta, 2005.

Mahardika, Timur, 2001, Pendidikan Politik: Pemberdayaan Desa – Sebuah Panduan, Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta.

Marzuki, Peter Mahmud, Arti penting Hermeneutik Dalam Penerapan Hukum, Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 2005.

Mas’oed, Mohtar, Ekonomi-Politik Internasional dan Pambangunan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003.

Maxon, Yale Candee, 1957,  Control of Japanese Foreign Policy, A Study of Civil – Military Rivalry, University of Calofornia Press, Berkeley and Los Angeles.

Menkopolhukam-RI, Saresehan Nasional Pancasila: Memelihara dan Menjaga Kemajemukan Dalam NKRI, 2005.

Morgenthau, Hans J., Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace. Alfred A. Knopf, New York, 1978.

Naya Sujana, I Nyoman, Askandar, Lasmono, (Ed.), Pembangunan Jatidiri Bangsa Indonesia, DHD 45 JATIM, Surabaya, 2004.

Noor syam, Mohammad, Filsafat Pancasila Sebagai Ideologi Nasional, Makalah pada Semiloka Revitalisasi dan Implementasi Pancasila 26 September 2006, DPRD Propinsi Jawa Timur.

Nye, Joseph S. Jr., The Powers to Lead, Oxford University Press, New York, 2008.

Perform,  “Program Dasar Pembangunan Partisipatif  (PDPP)”, USAID, Research Triangle Institute, 2004.

Proceeding Simposium dan Saresehan Memperingati Hari Lahirnya Pancasila yang diselenggarakan Lemhannas, LIPI, UGM, tanggal 14-15 Agustus 2006: Pancasila Sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan dan Pembangunan Bangsa.

Puruhito, Prof. Dr.at al.,  Jati Diri Bangsa dalam Ancaman Globalisasi, Airlangga University Press, Surabaya, 2008.

Putnam, Robert D., 1995, “Bowling Alone: America’s Declining Social Capital”, dalam Journal of Democracy, Vol. 6, No. 1, January.

Putnam, Robert D., “Building Social Capital and Growing Civil Society, Paper on Winter Monday Night Lecture Series, 2001.

Putranto, Dwi, Kontroversi Konsep Ratu Adil dan Satrio Piningit: Saya Percaya, Saya Dapat, Grasindo, Jakarta, 2002.

Rahardjo, M. Dawam “Etika Bisnis Menghadapi Globalisasi dalam PJP II”, Prisma, No. 2, Februari 1995.

Reischauer, Edwin O., The United States and Japan, Harvard Univearsity Press, Cambridge, 1951.

RHP, Mason; JG, Caiger, A History of Japan, Charles E. Tuttle Company, Tokyo, 1977.

Rofiqi, A. Zaini (Ed.), Amerika dan Dunia, Yayasan Obor, Jakarta, 2005.

Rukminto Adi, Isbandi,  Intervensi Komunitas Pengembangan Masyarakat Sebagai Upaya Pemberdayaan Masyarakat, Rajawali Press, Jakarta, 2008..

Samawi, Idam, HM., Pancasila dan Kesejahteraan Rakyar, Kedaulatan Rakyat, 5 Desember, 2005.

Sambutan Gubernur Jatim pada Konferensi Internet dan Penmgembangan UKM di Indonesia, Hotel Mojopahit, 12 Maret 2002.

Santoso, Listiyono, at al., (de) Konstruksi Ideologi Negara, Suatu Upaya Membaca Ulang Pancasila, ning-Rat, Jogjakarta, 2003.

Sargent, Lyman Tower, Ideologi

Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Proceeding Kongres Pancasila UGM-MK, 30 Mei – 01 Juni 2009: Pancasila dalam berbagai Perspektif.

Sindhunata, “Krisis Kebudayaan Jawa”, Kompas, 10 Mei 1999.

Steger, Manfred B., Globalisasi: Bangkitnya Ideologi Pasar, Lafadl, Yogyakarta, 2005.

Sudarmadi, WS., Deputi VI Menkopolhukam, Revitalisasi dan Implementasi Pancasila dalam rangka Meningkatkan Tannas di bidang ideologi, Makalah pada Semiloka Revitalisasi dan Implementasi Pancasila 26 September 2006, DPRD Propinsi Jawa Timur.

Sulistomo, Bambang, Pancasila, penegakkan hukum dan kedaulatan rakyat, Makalah dalam Semiloka Revitalisasi dan Implementasi Pancasila 26 September 2006, DPRD Propinsi Jawa Timur.

Suprijadi, Bambang, Drs., Msi., Ed., Pendidikan Pancasila Untuk Mahasiswa, LP3JATIM – Universitas Wijaya Kusuma, 2004.

Susetyo, Cahyono, 2003, “Pengembangan Masyarakat Berbasis Kelompok”, Makalah.

Ted C. Fishman, China Inc.: Bagaimana Kedigdayaan China Menantang Amerika dan Dunia, PT. Gramedia, Jakarta, 2006.

Triharso, Ajar, Konsep Kemandirian Universitas Airlangga Menuju BHMN: Pendekatan Masalah dari Hubungan antara Dunia Usaha dan Dunia Kerja dengan Dunia Pendidikan, Pidato Ilmiah Dies Natalis ke-49, Universitas Airlangga, 2003.

Triharso, Ajar, “Etika Politik dan Indonesia Baru, dalam Bangsa yang Berdarah: Jawa Timur dan Potensi Konflik 2004, LP3Jatim, Surabaya, 2004.

Triharso, Ajar, 2006, Menyelamatkan Pancasila Dari  “Virus Ganas” Neo Liberalisme, Jurnal Karakter Bangsa, TPB Universitas Airlangga, Vol. 2, 2006.

Triharso, Ajar, “Pembangnan Ideologi, Pendidikan Pancasila dan Masyarakat Gotong Royong”, Pelangi Ilmu, Unesa, Vol. 2,  No. 1, Januari-Juni, 2008.

Triharso, Ajar, “Pemikiran Tentang Pemberdayaan Masyarakat Desa dan Peranan Pendidikan Tinggi: Implementasi Dari Kebijakan Pro Konglomerasi ke Pro UKM”, Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, FISIP-UNAIR, Tahun XXII, No. 4, Oktober-Desember, 2009.

UGM, KAGAMA, LIPI, LEMHANAS, Simposium dan Saresehan, Peringatan Hari Lahirnya Pancasila, Pancasila sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan dan Pembangunan Bangsa, 14-15 Agustus 2006.

United  Nations  Commission on Interntional  Trade  Law  – International Chamber  of  Commerce, The  Uniform   Customs  and Practice  for Documentary Credits, Publication No. 500,  1993.

United Nation Convention on the  Carriage  of Goods by Sea  – 1978 (HAMBURG RULES).

United Nations of International Bill of Exchange and Inter­national Promisory Notes, Oxford University Press, New York, tth.

United Nations Economic and Social Council (ECOSOC), Development and international cooperation in the twenty-first century: the role of information technology in the context of  knowledge, Report of the the Secretary General, 15 May 2000.

United Nation Education, Science and Cultural Organization (UNESCO), “Universal Access to Information and Informatics for Human Development”, 10 May 2000.

Wignjosoebroto, Soetandyo,  Perguruan Tinggi  di  Indonesia Menyongsong  Pembangunan  Nasional Jangka  Panjang  Tahap  Kedua: Kritik  Tentang  Peran  dan Prospeknya,  Diskusi  Nasional  Peran Masyarakat  Kampus Dalam Menunjang Pembangunan Nasional Pada  Era Globalisasi,  Dies  Natalis XXXVIII – Universitas  Airlangga,  21 Nopember 1992.

Wignjosoebroto, Soetandyo, at al., Pemuda dan Nasionalisme: Modal Sosial Bagi Pembangunan Jawa Timur, Dinas Kepemudaan dan Keolahragaan Jawa Timur, 2008.

Winarno, Budi, Prof. Dr. MA., Globalisasi dan Krisis Pembangunan: Bagaimana Dengan Indonesia, Pidato Pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, 2005.

Yudo Husodo, Siswono, Revitalisasi Pancasila: Kebutuhan Obyektif bagi NKRI ditengah dunia yang sedang berubah dengan dinamis, Makalah pada Semiloka Revitalisasi dan Implementasi Pancasila 26 September 2006, DPRD Propinsi Jawa Timur.

 3GAMBAR POWER POINT PEMBANGUNAN JATIDIRI BANGSA DPR-MPR 2010

MAKANAN DAN MINUMAN AMERTA SUDAH HADIR

April 5, 2009

AIRLANGGA, DEWA WISNU DAN BOGA AMERTA

Universitas Airlangga (UA) tentunya tidak lepas dari keberadaan Prabu Airlangga raja kerajaan Kahuripan dengan ibu kota di Ujung Galuh atau Surabaya. Prabu Airlangga merupakan pemimpin Indonesia pertama di mana dewa Wisnu menitis dalam rangka menyelamatkan dunia (jagad raya). Dalam ceritera epos Mahabharata dan Ramayana dikisahkan mitos tentang tiga serangkai dewa (trimurti) pembantu Tuhan Yang Maha Esa dan Kuasa (YMEK) atau Sang Yang Wenang yang mempunyai tugas berbeda di dalam mengelola proses perubahan (change) pembangunan (development) jagad raya. Yaitu dewa Brahma sebagai dewa yang bertugas dalam proses penciptaan (creator), dewa Siwa bertugas dalam proses perusakan (destroiyer) dan dewa Wisnu adalah dewa yang bertugas sebagai penjaga keberlanjutan dan keteraturan (continuity and order).

Dalam proses perubahan jagad raya tersebut umat manusia harus dilindungi dari sifat perusak dewa Siwa agar tidak “kebablasan” menuju kehacuran (disaster). Dewa Wisnu harus menyelamatkan jagad raya dari kerja dewa Siwa dengan Air Amerta (Amrita Woter). Sang Yang Wenang menciptakan Air Amerta atau air kehidupan (kahuripan) yang menjadikan sakti dan hidup abadi (eternal) bagi siapa yang meminumnya. Untuk itu dewa Wisnu harus mencari Air Amerta dan setelah berhasil, dengan naik burung Garuda diikuti dan berbagi tugas dengan istrinya Dewi Lakshmi atau di Indonesia di sebut Dewi Sri yang di kenal sebagai Dewi Padi (Goddess of Rice), datang ke Indonesia (Jawa Dwipa) yang terpilih menjadi bangsa yang kelak bertugas menyelamatkan jagad raya dengan menitis pada diri Prabu Airlangga sebagai pemimpin Indonesia waktu itu.

Dikisahkan air Amerta tersembunyi di dalam lautan susu Ksira (sea of milk) dan untuk memperolehnya lautan susu harus diaduk melalui kerjasama yang baik antara dewa Wisnu dengan makhluk-makhluk sahabat para dewa. Kesepakatan terjadi antara dewa Wisnu, raksasa Daitya dan ular naga Vasuki dengan memilih gunung Mandara sebagai belahan pengaduk. Untuk mengangkat gunung Mandara ke tepi laut Dewa Wisnu kemudian menjelma menjadi kura-kura raksasa bernama Akupa sedangkan naga Vasuki/Basuki bertugas sebagai tali pengaduk dan raksasa Daitya membantu mengaduknya.

Pengertian apa yang ada di balik mitos tersebut adalah ibarat seluruh IPTEK yang telah ditemukan di dunia sebagai lautan susu dan UA sebagai lembaga pemroses IPTEK nasional dengan nama besar Prabu Airlangga harus mampu meneruskan misi dewa Wisnu menemukan IPTEK ”sakti” bak Air Amerta agar bangsa Indonesia yang sudah mengikrarkan dalam Pembukaan UUD 1945 untuk menjadi penyelamat dunia yaitu “ikut menciptakan perdamaian dunia yang abadi dan keadilan sosial” (Alinea IV). IPTEK yang berdaya dan berhasil guna bagi pembangunan masyarakat Indonesia menuju bangsa dan negara yang “tata tentrem karta raharja” sebagai modal melaksanakan tugas globalnya “memayuhayuning buwana”.

Seperti diuraikan di muka tugas Dewi Sri adalah melengkapi tugas dewa Wisnu menyebarkan Air Amerta dengan fokus pada pengembangan makanan yaitu agar hasil petani dan nelayan Indonesia dapat menjadi Boga Amerta. Untuk itu dengan memakai kriteria kelembagaan LPPM–UA di antara sivitas akademika UA sudah terbentuk peer group ”sahabat dewa Wisnu” yaitu di RS Graha Amerta. Peer Group berikutnya adalah dalam rangka membantu dewi Sri menyiapkan ”makanan sakti” tersebut. Peer group yang berkembang dibawah vocasional interdisipliner dengan kompetensi di bidang boga yaitu D3 Pariwisata UA dan dibantu oleh jurusan-jurusan di UA dengan kompetensi terkait. Satu sama lain kemudian disinergikan serta diramu dengan penemuan-penemuan Dr. Gustavo serta Dr. Adamo untuk menjadi suatu unit usaha jasa di bidang boga.


Ir. Sukarno: Gotong-royong itu Hebat

Mei 9, 2008

Pada Pidato 1 Juni 1945 konsep Operasional Pancasila disebutkan:

“Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya, satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan Gotong Royong. Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong-royong! Alangkah hebatnya! Negara Gotong-royong!

Gotong-royong adalah paham yang dinamis, lebih dinamis dari “kekeluargaan” Saudara-saudara! Kekeluargaan adalah suatu faham yang statis, tetapi gotong-royong menggambarkan suatu usaha, suatu amal, suatu pekerjaan, yang dinamakan anggota yang terhormat Soekarno satu karyo, satu gawe. Marilah kita menyelesaikan karyo, gawe, pekerjaan, amal ini, bersama-sama! Gotong-royong adalah pembanting tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan Bantu-binantu bersama. Amal semua buat semua. Holobis-kontul baris buat kepentingan bersama! Itulah Gotong –royong!

Prinsip Gotong-royong diantara yang kaya dan yang tidak kaya, antara yang Islam dan yang Kristen, antara yang bukan Indonesia tulen dengan peranakan untuk menjadi bangsa Indonesia. Inilah Saudara-saudara yang saya usulkan kepada Saudara-saudara. Pancasila menjadi Trisila. Trisila menjadi Ekasila.” (Depen-RI, 1945: 26; LPPKB, 2005: 54-55)

Jadi ada tiga variabel yang menjadi pilar kegotong-ropyongan bangsa Indonesia yatu: Gotong-royong diantara yang kaya dan yang tidak kaya atau dalam konsep operasional sekarang antara kaya dan miskin, Gotong-royong antara yang Islam dan yang Kristen atau antar umat beragama dan Gotong-royong antara yang bukan Indonesia tulen dengan peranakan atau pilar kegotong-ropyongan atar suku dan ras yang secara keseluruhan disebut masalah SARA.

Agar bangsa Indonesia menjadi Hebat maka sebagai generasi penerus kita harus segera mengoperasionalkan perilaku Gotong-royong dalam kehidupan nyata. Apabila kita menentukan dari unit-unit mana dimulainya kehidupan Gotong-royong, memakai konsep barat yang sesuai adalah konsep Ivan Illich “Kecil Itu Indah” tentang masyarakat.

Melalui program pembangunan masyarakat /Community Development (Comdev.) dengan tenaga-tenaga pendamping (fasilitator) yang telah dipersiapkan. Yaitu mereka yang telah menguasai tentang NKRI, Bhineka Tunggal Ika, ideologi negara Pancasila, ketrampilan pendampingan masyarakat dll., masyarakat Gotong-royong dapat diharapkan akan segera terwujud dan bangsa Indonesia akan segera terhindar dari ancaman nilai-nilai individualisme, sektarianisme, hedonisme, sadisme, separatisme dll. yang membahayakan persatuan dan kesatuan. Dan pada gilirannya siap dengan kompak “holobis kuntul baris” menghadapi globalisasi.

Bagaimana caranya?

Maka sesuai dengan semangat Otonomi Daerah urutan terkecil dimulai dari RT sebagai unit Gotong-royong terkecil untuk kemudian melalui kader-kader RT membentuk kehidupan Gotong-royong di tingkat RW. Kader-kader RW membentuk kegotong-royongan Desa, kader-kader kelurahan/desa membentuk kegotongroyongan di tingkat Kecamatan dan kader-kader di tingkat Kecamatan membangun pola kegotongroyongan di tingkat Kabupaten/Kota sebagai ujung tombak Otonomi Daerah.

Sebagai ujung tombak Otonomi Daerah artinya Kabupaten/Kota sebagai unit Gotong-royong yang mandiri mempunyai kebebasan berkreasi dan dari sana kegotong-royongan Propinsi sebagai proses koordinasi untuk kemudian menjadi bagian dari unit terbesar Negara Kebangsaan NKRI. Mari dipikirkan bersama untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang gotong-royong!

Hello world!

Mei 7, 2008

Welcome to WordPress.com. This is your first post. Edit or delete it and start blogging!